Halaman:Aku Ini Binatang Jalang.pdf/144

Halaman ini telah diuji baca

KATA PENUTUP


CHAIRIL ANWAR KITA

Oleh Sapardi Djoko Damono


“Aku mau hidup seribu tahun lagi”, tulis Chairil Anwar dalam sajak “Aku” atau “Semangat” pada tahun 1943, ketika ia berumur 20 tahun. Enam tahun kemudian ia meninggal dunia, dimakamkan di Karet, yang disebutnya sebagai “daerahku y.a.d.” dalam “Yang Terampas dan Yang Putus” — sajak yang ditulisnya beberapa waktu menjelang kematiannya pada tahun 1949. Sejak itu, sajak-sajaknya hidup di tengah-tengah kita.

 Beberapa larik puisinya telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara: “hidup hanya menunda kekalahan”, “Sekali berarti sudah itu mati”, “Kami cuma tulang-tulang berserakan”, dan terutama larik yang dikutip di awal tulisan ini. Secara lisan maupun tertulis, larik-larik tersebut kadang-kadang dikutip terlepas dari makna-utuh masing-masing sajak; kenyataan ini tentu tidak membuktikan bahwa kebanyakan anggota masyarakat kita telah menekuni puisi Chairil Anwar, juga belum menunjukkan bahwa pemahaman dan penghargaan masyarakat kita terhadap sastra telah tinggi. Namun, setidaknya ia mengungkapkan bahwa beberapa larik puisi Chairil Anwar sudah dianggap menjadi milik masyarakat, bukan lagi milik pribadi penyair itu.

 Ia dianggap pelopor Angkatan 45; oleh karenanya beberapa sajaknya dikenal siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menengah. Dalam kelas, Chairil Anwar biasanya diperkenalkan sebagai penyair yang memiliki vitalitas, yang terutama terungkap dalam “Aku”. Sajak yang larik terakhirnya mengawali tulisan ini mengandung antara lain bait-bait berikut:

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang.

119