Halaman:Aku Ini Binatang Jalang.pdf/146

Halaman ini telah diuji baca

semacam mitos; kita suka lupa bahwa sajak-sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap meskipun umurnya baru 26 tahun. Kita umumnya lebih suka membayangkan semangat hidup penyair ini seperti yang terungkap dalam sajak-sajaknya “Semangat” dan “Kepada Kawan”, padahal dekat-dekat kematiannya ia menulis larik-larik sebagai berikut:

DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh,
terasa hari jadi akan malam,
ada beberapa dahan di tingkap merapuh,
dipukul angin yang terpendam.

aku sekarang orangnya bisa tahan,
sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan,
yang bukan dasar perhitungan kini.

hidup hanya menunda kekalahan,
tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah.

 Penyair yang pada usia 20 tahun meneriakkan keinginan untuk “hidup seribu tahun lagi” ini, pada usia 26 tahun menyadari bahwa “hidup hanya menunda kekalahan... sebe­lum pada akhirnya kita menyerah”. Sajak ini merupakan semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. Proses itu begitu cepat, sehingga “ada yang tetap tidak diucapkan” — sesuatu yang tentunya mengganjal di tenggorokan — “sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Pengutaraan sajak ini pun tertib dan tenang: masing-masing bait terdiri dari empat larik yang sepenuhnya mempergunakan rima a-b-a-b. Citraan alam yang

dipergunakan Chairil Anwar pun menampilkan ketenangan itu: suara deraian cemara sampai di kejauhan yang menyebabkan hari terasa akan menjadi malam, dan dahan yang di tingkap merapuh

121