Halaman:Aku Ini Binatang Jalang.pdf/23

Halaman ini telah diuji baca

menyatakan Tuhan, tentulah juga membangkitkan minat para penyair lain untuk melukis-Nya dengan cara yang belum pernah terbayangkan sebelumnya; kita baca, misalnya, “masih terdengar sampai di sini / duka-Mu abadi” (Sapardi)[1]; “Tuhan, kenapa kita bisa / bahagia?” (Goenawan)[2]; “maut menabung-Ku / segobang-segobang,” (Sutardji).[3]

 Chairil Anwar bukanlah sebuah monumen, melainkan situasi, yakni situasi yang membuat kita, untuk menggunakan kata-katanya sendiri, “menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang”—dan ini tentu ber­laku bilamana kita membaca puisi Chairil sendiri. Yakni bahwa tidak seluruh sajaknya berhasil atau hangat-dibaca di zaman kita,[4] tapi dari kompleks kekaryaannyalah para penyair dan pengupas—juga kita, pembaca—selalu bisa memilih model mana untuk diperihalkan, ditandingi, bahkan ditolak: melalui Chairil kita tahu apa-apa yang belum dikerjakan sastra Indonesia. Saya sendiri ingin berkata bahwa sejumlah sajaknya masih terasa sulit hingga hari ini—dan inilah kesulitan yang justru menggarisbawahi bahwa puisi memang hendak mengatakan apa-apa yang mustahil dikatakan oleh bahasa. Chairil Anwar menularkan kesulitan itu kepada kita semua: yakni bahwa penyair harus memiliki, untuk mengutip ungkapan W.B. Yeats, fascination with the difficult[5] untuk mencapai tenaga bahasa yang belum terbayangkan sebelumnya. Seorang penyair yang unggul menempuh kesulitan tersebut bukan hanya untuk menguji keterampilan dan kegandrungannya akan bahasa, tapi juga untuk memperkaya cara pandang kita terhadap dunia. Situasi Chairil Anwar juga memungkinkan kita bersikap



  1. Sajak “Prologue”. Sapardi Djoko Damono, Duka-Mu Abadi, cetakan kedua (Jakarta: Pustaka Jaya, 1975).
  2. Sajak “Dingin Tak Tercatat”. Goenawan Mohamad, Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 (Jakarta: Metafor, 2001).
  3. Sajak “Hemat”. Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981).
  4. Nilai puisi Chairil Anwar seringkali bergantung kepada aspirasi sang pembahas. Sapardi Djoko Damono memilih sajak-sajak Chairil yang berbentuk kuatrin dan sonet, dan mengecam sajak-sajak bebasnya; baca esai Sapardi “Chairil Anwar: Perjuangan Menguasai Konvensi” dalam kumpulan esainya Sihir Rendra: Permainan Makna (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999). Sebaliknya, A. Teeuw dan Goenawan Mohamad menghargai tinggi-tinggi puisi bebasnya; baca, misalnya, esai Teeuw “Sudah Larut Sekali” dalam kumpulan esainya Tergantung Pada Kata, cetakan kedua (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983); dan esai Goenawan “Isa dan Beberapa Metamorfosis” dalam kumpulan usainya Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002).
  5. Saya kutip dari pengantar Seamus Heaney untuk sajak-sajak W.B. Yeats yang dipilihnya, Poems Selected (London: Faber and Faber, 2000).

xxiv