Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 3.pdf/14

Halaman ini tervalidasi
Melihat Palembang dari Air Musi

di tengah rawa-rawa (alluvium), lebih-lebih ketika kami berputar-putar untuk naik ke 400 kaki. Dengan tinggi ini kami kemudian terbang ke arah baratlaut melintasi daerah tertier. Di sebelah kanan dan kiri kami dapat melihat di mana tertier beralih menjadi kuarter (tanah tertier merupakan jazirah, yang ujungnya di kota Palembang). Setelah liwat daerah Lubuklancang kami terbang kembali ke Palembang, di mana kami turun lagi sampai 700 kaki. Jarak antara Bukit Siguntang dan Menara Air kota Palembang kami terbangi beberapa kali, dan di sini nampaklah jelas bahwa dari Bukit Siguntang tanahnya melandai ke arah kota dan seakan-akan tiba-tiba "terjun" di sebelah barat menara air (kira-kira di tempat Gereja Ayam di jalan Merdeka).

Dengan ini maka dapatlah disimpulkan, bahwa Palembang dahulu letaknya kira-kira sama dengan Singapura sekarang (di tepi laut pada ujung jazirah).

Pk. 5.40 kami mendarat di Talangbetutu.

Kamis, 4 Maret 1954

Pagi hari kami pergi ke kantor Perwakilan Jawatan Kebudayaan di mana kami diperlihatkan sejumlah besar negatif-negatif foto yang dibuat Sdr. Saleh mengenai kesenian Sumatra Selatan pada umumnya dan mengenai ukiran-ukiran pada khususnya. Sayang sekali bahwa afdruknya tidak ada, sehingga untuk melihat saja diperlukan banyak waktu, sedangkan kesannya kurang memuaskan. Menurut Sdr. Saleh negatif-negatif itu tidak dicetak, karena anggaran belanja tidak mengizinkan.

Pk. 10.30 kami pergi ke kelompok Gedingsuro. Dengan seorang petunjuk jalan kami mula-mula mengunjungi keramat "Panembahan" yang ternyata tertutup sama sekali oleh alang-alang setinggi pinggang.

Kemudian kami menuju "Gedeh ing Suro," segugusan makam-makam, yang ternyata tidak pula terpelihara. Ada juga bagian yang alang-alangnya baru saja dipotong, tetapi seorang pekerja pun tidak nampak. Apakah sisa-sisa bangunan di sini betul-betul makam dan bagaimana situasi yang sebenarnya, harus menunggu penyelidikan lebih lanjut. Untuk sementara kita hanya dapat bersandar kepada hasil-hasil yang diperoleh Schnitger (Oudheidkundige Vondsten in Palembang dan The Archaeology of Hindoo Sumatra).

Dari sini kami mengunjungi keramat Mangkubumi, yang sebenarnya tak seberapa jauhnya di sebelah utara Gedingsuro, akan tetapi karena mula-mula tak ada yang mengantarkan harus mencari-cari dan berputar-putar lama sekali. Keramat ini hanya terdiri atas satu makam biasa di atas bukit kecil. Dari batu-batu lama yang nampak di sana-sini dapat kami simpulkan bahwa tentunya di sini pun ada peninggalan purbakala.

Arca Batu dan Perunggu yang Tersimpan dalam Rumah Bari, Palembang.

Kemudian kami mencari Telagabatu. Nama ini rupa-rupanya kurang dikenal penduduk. Setelah tanya kian kemari, akhirnya ada pula yang dapat menunjukkan tempatnya, yaitu di sebelah utara kelompok Gedingsuro itu sebelum sampai keramat Sabokingking. Tempat ditemukannya "Batu Naga" (kini di museum Jakarta No. D. 155) terle-

9