Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 3.pdf/22

Halaman ini tervalidasi
Sisa-sisa dari ”Astamo”, Muara Jambi

untuk menyaksikan keadaan di Senamat sendiri (kl. 24 km. dari Muara Bungo).

Pk. 6 kami tiba di Senamat. Ternyata di sini dan juga di seberang ada beberapa kendaraan yang katanya sejak pagi hari menunggu kesempatan untuk melayang, di antaranya otobis dan truk. Memang air agak besar, namun kami ingin terus juga. Tinggal kesanggupan mandor Pelayangan, dapat ataukah tidak menyeberangkan kami. Pembicaraan dengan mandor berlangsung lama sekali. Keberatan-keberatan daripadanya, mengingat bahwa tanggung jawab terletak di atas bahunya, hampir menghabiskan harapan kami. Tak urung kami akan harus tidur di tepi kali juga, karena di Senamat tak ada tempat penginapan! Ketegasan-ketegasan dari fihak kami bahwa mobil Landrover dapat meloncat dan dapat masuk air, usaha kami untuk membangkitkan perasaan kurang pada tempatnya untuk membiarkan seorang "doktor Wanita" dan mahasiswa wanita yang jauh dari Jakarta diutus oleh Pemerintah, dan bantuan dari berbagai orang yang menyatakan untuk mencoba juga akhirnya melunturkan hati sang mandor...."Perahu Kabel" dikirim ke seberang untuk keperluan kami. Dengan hati berdebar-debar kami melihat ketangkasan supir R. Usman dan kemampuan Landrover untuk memasuki air dan kemudian naik di perahu dengan papan-papan yang kl. 60° tegaknya. Setelah Landrover dan Usman sekali memperlihatkan "stunt" yang mengagumkan untuk turun dari perahu, dengan disaksikan oleh berpuluh-puluh orang, maka sampailah kami di seberang dengan selamat.

Suatu Tempat ”pelayangan”

Dengan badan lemas karena besamnya "spanning" yang telah kami alami, pk. 7 kami meluncur ke arah Bangko, menerobos rimba raya yang gelap gulita.

Pk. 8 kami untuk ke-5 kalinya menyeberang di Rantaupanjang. Dengan tiada sedikit kesusahan kali Tabir kami lintasi.

Pk. 9 kami tiba di Bangko, tempat bertemunya sungai Mesumai dan Merangin, setelah menempuh jarak 430 km. Kami langsung menemui Patih, A. Laman (Bupati sedang pergi ke Bukit Tinggi). Penerimaan beliau sangat memuaskan, dan dari beliau kami mendapat kabar bahwa di rumah mentua beliau di Mandiangin tersimpan 9 keping logam bersuiat, di antaranya satu telah hilang. Pun ada satu tombak cabang tiga (tricula) dan sebuah kitab kuno. Terutama logam-logam bersurat itu memberi putusan pada kami untuk pergi ke Mandiangin di samping tugas kami ke Karang Brahi. Tentang batu Karang Brahi kami mendapat kabar, bahwa batu itu dalam th. 1940 diangkut ke Bangko dan dipasang di halaman rumah Controleur (sesuai dengan keterangan dalam Oudheidkundig Verslag 1940, hal. 32), tetapi sesudah Jepang menyerah beramai-ramai diangkut kembali oleh rakyat Karang Brahi dengan rakit, dan kini keadaannya terpelihara baik-baik. Diberitahukan pula oleh beliau, bahwa tempat menginap sudah disediakan di pesanggrahan. Dan tak lama kemudian kami minta diri.

Di pesanggrahan tak dapatlah kami terus merebahkan diri, meskipun sangat letih. Kami harus makan dahulu! Kira-kira pk. 10 kami mencari "bekal tidur" di sebuah warung.

15