Anak dara tegak termangu,
Mendengar seruling bagai menyeru;
Darah di dada berdebar-debar,
Hati terpikat bagai dijantur.
Setelah tiba muda belia,
Malu sangat rupanya dara;
Tersenyum sipu muka berseri,
Memandang ke lambaian daun padi.
Sama bingung muda teruna,
Dipanah Amor tegak terlena;
Had kedua bersabung cinta,
Gemuruh perjuangan iman di dada.
- (Pujangga Baru, III/10, April 1936)
Dari larik-larik di atas tampak pada kita bahwa si aku lirik adalah sosok manusia, yang ketika sedang dilanda kasmaran, lemah, tak berdaya tanpa kehadiran kekasihnya. la begitu bergantung pada curahan sayang kekasihnya, yang mampu memberinya gairah hidup, tetapi belum juga kunjung datang.
Sosok manusia yaiig melankolik ketika sedang daiam kasmaran terbaca juga daiam sajak Amir Hamzah, "Buah Rindu II". Kekasih yang dipuja-puja tetapi tak ketahiian ujung pangkalnya menjadikan si aku lirik berpaling pada maut (’Datanglah engkau wahai maut/Lepaskan aku dari nestapa/Engkau lagi tempatku berpaut/Di waktu ini gelap gulita.’). Akan tetapi, maut tak juga mengakhiri derita asmaranya. Kekasih yang dipuja-puja, dirindui siang malam, tetapi tak juga kunjung jumpa, mengakibatkan si aku lirik tersiksa dan terbakar dalam api cintanya, seperti terungkap dalam larik-larik ini.
Sesa'at sekejap mata beta berpesan
Padamu tuan aduhai awan
Arab manatah tuan berjalan
Di negeri manatah tiian bertahan?
Sampaikan rinduku pada adinda
Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana.
Serupa beta menieluk dia.
92
Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960