Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/103

Halaman ini tervalidasi

Sekarang mahligai itu kaubiarkan runtuh,
Aku, aku telah tinggal dalam kedinginan malam, kau tak perduli
     lagi.

Kau telah didik hatiku dalam kemanjaan,
Kau telah ajar jantungku dalam pengharapan,
Ah, itu dian yang padam, itu bunga yang tercabut,
Itu mahligai yang telah runtuh ....

(Sunyi Puja, 1948)

Larik-larik sajak Hamka tadi memperlihatkan pada kita citra manusia yang luruh semangat hidupnya karena ditinggal kekasihnya. Tanpa kekasihnya, seolah-olah ia hidup dalam kesendirian dan terkurung dalam kenestapaan. Sekaligus ini menunjukkan kepada kita, betapa konflik dalam suatu hubungan antarpribadi akan memporak-porandakan salah satu pihak: salah satu akan menjadi korban. Atau barangkali itu sekadar gambaran diri yang tidak siap menjadi korban, gambaran diri yang tidak siap ditinggalkan, sehingga secara tidak langsung menghadirkan citra manusia yang kurang tegar dalam perjuangan hidupnya.

Citra manusia serupa terdapat juga dalam sajak Yogi, "Di Mana Hatiku Tak Kan Pilu": aku lirik yang berlarut-larut dalam kepiluannya karena ditinggal kekasihnya, seperti terungkap dalam larik-larik berikut.

....

Bintang di langit berkilap-kilapan,
Pungguk merindu di pohon kayu;
Adinda membantu-patung pujaan,
Di mana hatiku tak kan pilu.

Dari jauh beta kemari,
Menurutkan hati disayat rindu;
Tuan melengos berdiam diri,
Di mana hatiku tak kan pilu.

Keluh kesah mendayung sampan,
Mengharap jiwa hendak bersatu;
Arah tuan memutuskan harapan,
Di mana hatiku tak kan pilu.

94

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960