Citra manusia yang hampir serupa terdapat juga dalam sajak Or. Mandank, "Aku Belum Hendak Diam." Dalam sajak ini kita jumpai sosok manusia yang ingin melibatkan diri dalam gemuruh perjuangan hidup, biarpun baginya menawarkan diri suatu kehidupan yang tenteram, seperti terbaca di bait pertama:
O, saya tahu tempat yang tenteram
Tetapi saya belum hendak mengeram
Kuingin dahulu melalui jeram
Supaya kupersaksikan gemuruh riam
Arti hidup yang bukan diam
Sungguh, aku belum hendak diam!
- (Pedoman Masyarakat II/24, 23 Juli 1936)
Melalui larik-larik sajak Or. Mandank itu sampai juga pada kita sosok manusia yang tidak lekas puas, yang tidak gampang tergelincir dalam kemapanan hidup.
Citra manusia yang berjuang dalam hidupnya terdapat pula dalam sajak Samadi, "Kepada Ibuku". Dalam sajak Samadi ini kita temukan sosok manusia yang menyadari bahwa perjuangan hidupnya belum apa-apa. Ia belum sampai di puncak, dan ia pun belum sepenuhnya menjalankan amanat ibunya, seperti terungkap dalam larik-larik ini.
Ibuku!
Gunung yang ibu suruh daki sudah kudaki,
Sekarang aku baru sampai di lerengnya,
Duduk sebentar di atas tunggul pohon mati,
Memandang ke bawah ke lembah yang telah kulalui.
Ah, alangkah dekatnya baru kiranya perjalananku
Kalau dibandingkan dengan puncak yang harus kucapai;
Tapi alangkah banyaknya sudah yang kuderita
Dalam hidup yang masih muda ...
Ya, ya ibuku, aku akan turut segala petuamu,
Aku tidak akan kecewa, aku tidak akan berputus asa;
Hanyalah puncak bukit yang tak dapat bertemu dengan lembah,
Tapi bukankah gunung yang tinggi boleh didaki?
Ibuku, sekarang aku baru sampai di lerengnya.
112
Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960