melalui larik-larik tadi juga terbayang pada kita citra manusia yang tidak serakah, yang tidak memupuk harta duniawi secara berlebihan karena adanya kesadaran bahwa semua itu ada batasnya. Bahkan, ia akan selalu ingat akan kampung halaman, yang kemudian oleh aku lirik lain dari penyair yang sama dalam sajak "Permintaan" diharapkan menjadi tanah kuburnya:
Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku.
Sebelah Timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku.
Di mana laut debur mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mula bertabur.
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku terkubur.
- (Jong Sumatra, IV/6, Juni 1921)
Larik-larik di atas memperlihatkan pada kita sosok manusia yang cinta kepada kampung halamannya. Demikian cinta ia pada kampung halamannya sehingga menganggap tanah airnya adalah kampung halamannya. Dengan demikian, dalam sajak "Permintaan" Muhammad Yamin di atas kita dapatkan citra manusia yang masih sempit wawasan nasionalnya.
Sajak berikut, "Kusangka Dulu" karya Asmara Hadi menampilkan sosok manusia yang menyadari bahwa nasib manusia mungkin berubah dalam perjalanan waktu. Dulu, diri si aku lirik berputus asa karena patah cinta, kini kembali semangat hidupnya karena sadar bahwa luka lama tak menganga lagi, bahkan di atas luka lama yang telah menutup itu berkembang cintanya:
Kusangka dulu luka jiwaku
Tiada kan dapat sembuh lagi
Kusangka ku akan selalu
Putus harapan, ingin mati
Manusia dan Diri Sendiri
119