Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/135

Halaman ini tervalidasi

Dibawa arus hiliran kenang,
Jangan sangkakan tempat itu tenang,
Gemuruh serasah di tebing rindu,
Ombak memecah di pantai kalbu,
Gelombang datang dari haluan,
Adakah nampak di mata tolan?

(Pujangga Baru I/1, Juli 1933)

Citra manusia yang sendiri, tak berdaya dalam rindu dan cintanya kembali terbaca dalam sajak Hamka, "Burungku". Dalam sajak itu, si aku lirik meratapi nasibnya yang dalam kegelapan dan kesunyian karena ditinggalkan kekasihnya, seperti terbaca dalam larik-larik ini.

....

Itu hari akan berganti hari,
Itu saat akan bersilih saat,
Engkau akan terbang dari pohon ke pohon,
Engkau akan bertengger dari dahan ke dahan,
Kesunyian 'alam terpecah oleh nyanyianmu yang merdu,
Oh, engkau akan mandi ke telaga yang sejuk, berdua ....
Tapi, aku sendiri, o burungku yang indah!

Itu kegembiraan telah hilang dibawa 'mentari turun,
Pelitamu telah lama padam,
Itu cahaya telah pudar,
Segala sesuatu telah menjadi gelap gulita,

Hatiku telah lama patah,
Bernyanyilah, aku 'ndak dengarkan nyanyianmu yang
penghabisan, dan aku

Biarlah daku tinggal seorang diri,
meratapi nasib dalam kesunyianku.

(Sunyi Puja, 1948)

Sajak Fatimah H. Delais, "Berpisah", masih memperlihatkan citra manusia yang tak berdaya. Dalam sajak ini, si aku lirik yang berpisah dengan kekasihnya merasa sendiri, resah, dan larut dalam kesunyiannya, seperti terungkap dalam larik-larik ini.

126

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960