Aku malu dengan aku-ku ini
jemu sudah ... Tapi
kepada siapa hendak kuserahkan
Tidak, tidak, itu hak semata
yang harus kupertahankan.
karena aku-ku itu membawa
sinar kesadaran
diri priangga.
- (Jassin, 1959: 184)
Seperti halnya aku lirik sajak Chairil Anwar, aku lirik sajak Mahatmanto juga menunjukkan pertanggungjawaban pribadi, 'Tidak, tidak, itu hak semata/yang harus kupertahankan/karena aku-ku itu membawa/sinar kesadaran/diri priangga'.
Di samping pernyataan pribadi sebagai pandangan individualisme, terdapat juga pernyataan yang berkaitan dengan pandangan hidup atau pernyataan pikiran lain seperti yang terbaca dalam sajak "Aku" Chairil Anwar berikut.
AKU
Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak
Cumbu-buatan satu biduan
Kujauhi ahli agama serta lembing katanya.
Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak bergerak
Dengan cacar melebar, darah bernanah
Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga.
- (Kerikil Tajam, 1959)
Dalam sajak di atas si aku lirik menyatakan bahwa hidup tidak hanya digerakkan oleh nafsu duniawi, 'tuak' dan 'cumbuan satu biduan', atau hanya dipenuhi oleh angan-angan tentang sorga saja, 'Kujauhi ahli agama serta lembing katanya.', tetapi hidup harus dipandang sebagai suatu kenyataan yang kadang-kadang penuh penderitaan walaupun ada juga kenikmatan duniawinya. Hal seperti itu diungkapkan Chairil Anwar juga dalam sajaknya yang lain, "Sorga", yang mempertanyakan sungguhkah di sorga ada sungai susu dan bidadari beribu, yang sesungguhnya merupakan angan-angan duniawi yang penuh nafsu badaniah.
Dalam sajak Mahatmanto "Rizki Jiwa" yang dimuat dalam Gema Tanah Air (hlm. 186) si aku lirik beranggapan bahwa semua keberuntungan manusia di
Manusia dan Diri Sendiri131