orang teman, Nona Fanny Blood, jang djuga mengalami penghidupan jang sengsara dirumah. Tetapi jang amat sangat ialah ketika ia menjaksikan, bagaimana saudaranja kawin dengan seorang laki-laki, jang dalam segala hal boleh dikatakan berlaku durdjana (bangsat) terhadap sang isteri. Saudaranja jang melarat itu, jang sedang menderita sakit urat sjaraf, sesudah melahirkan seorang anak, diadjaknja meninggalkan suaminja jang bengis itu.
Sekaranglah baru Mary insjaf benar-benar, bahwa kebanjakan kaum wanita hidup sebagai budak sang suami dengan tidak berdaja apa-apa. Keadaan ini akan diberantasnja! Kaum wanita hanja mempeladjari satu hal sadja, jakni: tjara bagaimana membangunkan rasa gembira kaum laki-laki — demikianlah ditulisnja dalam bukunja. Dan ditambahnja lagi: „Wanita jang selama hidupnja hanja membuang-buang waktu dengan menghias diri sadja, supaja dapat mengisi waktu dan membantu melupakan kesusahan hidup sesama manusia, jang suka beriang-gembira melihat senjum dan ketjantikannja, setelah menjelesaikan segala pekerdjaan jang penting-penting, wanita sematjam itu tidaklah berdjiwa kekal." Sebab ketjantikan bukanlah barang jang kekal dan kemudian wanita itu akan menjadi machluk jang tak berguna, jang tidak tahu bagaimana mendidik anak-anaknja. Dengan penuh semangat Mary membela tjita-tjitanja: didikan jang sama bagi anak laki-laki dan perempuan. Apabila wanita diberi kesempatan untuk mempertadjam ketjerdasannja, maka dalam segala perbuatannja ia pasti akan memakai otaknja pula. Dengan djalan demikian wanita dapat memerdekakan dirinja. Inilah jang oleh Mary dianggap terpenting. Anggapan ini mudahlah kita mengerti, kalau kita ingat, bahwa ia seorang wanita jang banjak melihat penderitaan kaum wanita oleh sebab keganasan kaum lelaki.
14