pajan, jakni mereka jang mengawininja kalau ia tidak mendapat anak sendiri atau belum pernah bersuami atau beristeri. Pemberian ini dimaksudkan sebagai suatu pengakuan, bahwa anak dari isteri atau suami sebagai anak kandungnja sendiri. Seorang wanita kalau dahulu bersuami dari kakaknja, maka ia diharuskan membajar „panangkalau” - pesalin berupa kain dan sarung kepada kakaknja - seakan-akan suatu permintaan izin untuk berumah tangga lebih dahulu dari saudaranja jang lebih tua dari dia.
Karena ada pemberiannja menurut adat itu, kakaknja tidak akan berketjil hati, bahkan memberikan izinnja. Kemudian kepada bibinja, saudara perempuan ajah atau ibu diberi pula hadiah kain sehelai jang lazim disebut djuga „sindjang ”, sebagai pembalas djasa sang bibi waktu melajaninja ketika masih baji. Kalau ia mempunjai nenek, akan diberikan pula hadiah kain serupa itu dengan wudjud jang sama. Biasanja segala matjam pemberian itu diminta dari bakal suami gadis itu, dibitjarakan pada hari pertunangannja, waktu membitjarakan djumlah uang antaran dan lain-lain sebagainja.
Pada masjarakat Dajak terdapat djuga suatu kebiasaan atau suatu tjara untuk mengekalkan tali persaudaraan. Maksudnja, ialah saudara angkat, bapak angkat atau ibu angkat. Hal ini bisa berlaku diantara mereka dimana orang asing sekalipun dapat dianggap saudara kandung atau ajah-ibu kandungnja sendiri dengan djalan „hakuman daha", jaitu masing-masing kedua belah pihak menggoris badannja sedikit sekedar untuk mengeluarkan darah. Darah itu ditampung dan ditjampur djadi satu lalu diminum oleh mereka. Dengan demikian telah bersambunglah tali persaudaraan mereka, karena darahnja telah bertjampur. Sedjak itu kedua belah pihaknja tidak menganggap orang lain lagi. Kalau jang bertukar darah itu, laki-laki dan perempuan tidak diperkenankan kawin, andaikata pada suatu ketika mereka ingin mendjadi suami-istri. Harta pusaka saudara jang diperoleh dengan djalan demikian dianggap sjah pula diwarisinja menurut adat.
Salah satu adat kebiasaan dalam masjarakat Dajak jang amat mengerikan dan membahajakan ialah kebiasaan mengajau - memotong kepala -. Dahulukala sebelum bangsa Belanda teratur masuknja ke Kalimantan, adat-istiadat mengajau kepala masih didjalankan oleh suku Dajak, terutama oleh orang-orang bangsawan, bangsa pemberani dan panakawan orang kaja. Hal ini rapat pertaliannja dengan kepertjajaan keagamaan, karena mereka jakin, bahwa dalam alam nirwana kehidupan roh-roh tidak ada bedanja dengan keadaan didunia, jakni siapa jang banjak hamba-budaknja senang dan agunglah keadaan hidupnja.
Segala korban jang diperoleh mereka dalam pengajauan, terutama hambabudaknja jang akan dikorbankannja, setelah mereka meninggal dunia kelak. Ditindjau dari sudut kepertjajaan ini, perbuatan mengajau itu sekali-kali tidak termasuk pekerdjaan jang kedjam dan djahat, melainkan suatu perbuatan jang harus dihormati dan dipudji, menurut sepandjang anggapan mereka sendiri. Dan bagaimana penglaksanaannja? Orang tua-tua jang mengetahui adat dan upatjara mengajau harus tinggal tetap dikampungnja, sementara pemuda -pemudanja pergi untuk mentjari kepala orang jang akan didjadikan korban . Didalam perdjalanan mengajau mereka menahan nafsu, tidak boleh makan garam, ketjuali nasi dan buah-buahan sadja.
341