Bengalon. Kemudian puteri ini diambil mendjadi permaisuri oleh Adji Batara Agung, dan setelah kawin permaisuri itu diganti namanja dengan Mahasuri, karena tempat kawin mereka didesa Bengalon . Maka dengan terdjadinja perkawinan ini, mulailah pertjampuran darah antara dua keluarga besar diseluruh Nusantara jang mendjadi keturunan pada radja Kutai dewasa ini. Keturunan radja Selendera jang ke- 19 kawin dengan keluarga Sendjaja radja Kutai Kartanegara jang kedua.
Sedjak waktu itu peperangan antara dua keradjaan terus-menerus berlangsung sampai beberapa tahun lamanja. Sekalipun demikian keradjaan Martapura masih tetap utuh dan dapat mempertahankan kotanja dari serangan-serangan musuhnja. Meskipun daerah keradjaannja masih jang telah direbut oleh Radja Kutai Lama radja Martapura tidak hendak menjerah. Dalam abad ke- 16 keradjaan Martapura diperintah oleh radja Guna Perana Tungga, adik kandung Indra Perwati. Karena radja itu masih dibawah umur, maka kendali pemerintahan dipegang oleh Madjelis Keradjaan. Para pemangku Keradjaan itu terdiri dari Nala Duta, Nala Pati, Nala Pardana, dan Nala Donjang. Akan tetapi antara mereka jang memimpin madjelis keradjaan itu telah timbul perselisihan dan perpetjahan jang membawa akibat buruk bagi rakjat. Pertentangan dan perpetjahan itu dapat dihindarkan, dan karenanja tidak membawa akibat jang merugikan pada kedudukan mereka, tapi rakjat merasakan akibat pertentangan itu dan perpetjahan di kalangan rakjat sendiri tidak dapat dihindarkan. Pihak pertama mengakui kekuasaan Nala Duta , sebagai pemangku kerajaan jang utama, sedang jang lainnja mengakui kekuasaan Puteri Indra Perwati, karena dialah jang berhak mendjadi radja, setelah orang tuanja meninggal dunia. Akan tetapi oleh karena ia seorang perempuan, maka sikapnja itu ditentang oleh sebagian anggauta Madjelis dan sebagian oleh golongan-golongan dalam masjarakat.
Pertentangan jang penuh mengandung politik ini agaknja diatur sendiri oleh Adji Batara Agung, Sultan Keradjaan Kutai Lama, dan ialah jang mempengaruhi Puteri Indra Perwati, isterinja sendiri untuk merebut kekuasaan itu. Tetapi ia ditentang oleh Madjelis Keradjaan, terutama oleh Nala Duta sendiri jang tidak ingin melihat kerajaan Martapura djatuh ditangannja Adji Batara Agung, sekalipun ia mengetahui, bahwa Puteri Indra Perwati adalah anak dari radja Martapura . Kekatjauan -kekatjauan mulai terasa, karena bukan sadja diantara kaum radja-radja jang berselisih, melainkan djuga rakjatnja terpetjah-belah, dan karenanja banjak jang pindah kedalam keradjaan Kutai Lama dimana Adji Batara Agung duduk bertachta.
Makin lama makin sengit dan hebat pertentangan dan kekatjauan itu. Madjelis Keradjaan sudah tidak sanggup mengendalikan keadaan lagi, karena masing-masing pihak diantara mereka sendiri menuntut dan mendakwa, bahwa dialah jang sebenarnja berhak untuk menduduki singgasana Keradjaan Martapura. Demikian djuga seorang Kepala Daerah bagian, seorang Adipati telah berani menamakan dirinja radja dalam daerah pemerintahannja sendiri. Perebutan kekuasaan itu tidak sadja terdjadi dalam keradjaan Martapura, akan tetapi djuga dalam keradjaan Kutai Lama . Dengan tidak diketahui asal mulanja keradjaan ini telah diombang - ambing oleh sementara golongan jang ingin pula merampas kekuasaan Adji Batara Agung . Diluar pengetahuannja beberapa go-
413