jang lazim disebut topeng Kutai, jang mentjeriterakan raden Putera atau Satrya Pandji Waning Pati memimpikan Galuh meminang. Topeng ini masih diadakan dalam istana dan keraton djika ada upatjara.
Tari-tarian jang ada hingga dewasa ini dalam daerah Kutai, ialah tari Ngedjiak, Ngedjek, Ngewai, Ngeridjot, Ngantar dan lain-lain, dan dalam upatjara di Keraton ada pula sematjam tari, Kandjar, Gandjur, jang ditarikan oleh keluarga bangsawan dan orang-orang hartawan, Menilik sifat dan tari-menari, maka tampaklah persamaannja dengan tari-tarian daerah di Sumatera, karena tjara dan iramanja tidak djauh bedanja. Seperti tari Ngewai tidak berapa bedanja dengan tari randai di Sumatera Barat. Tari orang Nias, orang Kubu dan Redjing bersamaan pula dengan tari- tari orang Dajak Bahau didaerah Kutai jang bernama tari Ngedjiak.
Dalam bahasa sehari-hari, orang Kutai bertutur kata, baik tentang ragam lagunja, maupun kata-katanja dari golongan atas dan oleh golongan bawahan tidak bedanja dengan bahasa didaerah Sumatera dan Semenanjung Malaka. Demikian djuga bahasa Kutai kuno, misalnja djika membatja do'a, bahasa belian, pudjangga, taki banjak persamaannja dengan bahasa jang terdapat di Sumatera Barat seperti dalam tjeritera Tjindur Mata. Bahasa Kutai kuno banjak kata perumpamaan, amsal, pepatah, peribahasa jang sering satu perkataan disebutkan dua kali , tapi jang berlainan sebutannja, djustru mempunjai arti jang sama. Dalam ragam bahasanja, naik bertangga, turun berdjendjang, jang lebih banjak mempergunakan kata- kata sadjak jang berirama, madah bergurindam.
Sudah sedjak dalam abad ke-17 bahasa Kutai telah bertjampur dengan bahasa Bugis dan bahasa Melaju, djuga dengan bahasa Djawa kromo. Tetapi jang lebih populair ialah bahasa Melaju , sedang bahasa Kutai kuno djarang dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari, hanja dalam upatjara-upatjara diistana sadja. Adat dan tjara dalam pergaulan sehari-hari banjak pula persamaannja dengan suku Djawa. Demikian djuga raut dan bentuk paras muka, sedang pakainja mengiring zaman sekarang. Tetapi dalam tjara mematut diri, berdandan dan berpakaian kaum wanitanja hampir sama sadja dengan dandanan dari kaum wanita Solo dan Jogja pada beberapa tahun jang lalu.
Dan Kutai sekarang dalam perkembangan kebudajaannja, baik seni tari, maupun seni-seni lainnja, mengukir dan melukis, sekalipun belum sempurna telah mendjelma pula dalam masjarakat suku Dajak, sebagian besar adalah bekasbekas peninggalan dari pertjampuran kebudajaan radja Salendra dan Sendjaja. Bersamaan itu lebih dekat lagi, apabila diperhatikan lagu-lagu mereka dengan gong dan rebananja, maka seakan -akan orang melihat sendiri gamelan jang terdapat di Djawa Tengah. Dalam hubungan ini riwajat jang lebih tua dan pandjang menjebutkan, bahwa Adji Maharadja Sultan dengan saudaranja Adji Maharadja Sakti pergi ke Djawa dalam zaman pemerintahan Radjanegara - Hajam Wuruk jang lazim djuga disebut keradjaan Brawidjaja, dengan demikian njatalah sudah, bahwa Radja-radja dalam daerah Kutai adalah radja-radja dari keturunan Djawa. Dalam kisahnja radja Kutai mendjadi tamu dari Rakrian Mapatih Gadjah Mada, dan mempeladjari ilmu pengetahuan tentang adat-istiadat tata-kerama keradjaan jang akan dibawanja pulang kedaerahnja. Tetapi karena keradjaan Madjapahit hanja mengakui keradjaan Kutai Lama, dan tidak kepada keradjaan Martapura, maka kepergiannja ke Djawa itu sia-sia belaka.
416