3. Sedjak zaman Sinuhun Radja ini tidak banjak perkembangan pedalangan akan tetapi dimana-mana terus hidup.
Keturunan Kjahi Pakuwadja itu banjak dan berkeliling untuk mendalang. Jang meneruskan mengabdi hanjalah seorang sadja, jang bernama Dalang Somaguna. Ia mengabdi sebagai tradisi, jalah mengganti ajahnja.
4. Oleh karena zaman itu adalah zaman belum tenteram sampai pada saat bertachtanja Sri Sultan Hamengku Buwono IV. (Sultan Timur) dan geger Diponegaran, maka tak dapat diterangkan kemadjuannja.
Sehabis perang Diponegaran, maka mulailah orang memperhatikan peri hal kemadjuan seni pedalangan. Sri Sultan Hamengku Buwono ke V mulai mengadakan pembangunan. Pada zaman ini pulalah tertjiptanja „Serat Purwakanda” atas inisiatif Sri Sultan H.B. V jang ditulis oleh seorang Pangéran bernama Kandjeng Gusti Pangéran Adhipati Mangkubumi di Jogjakarta, putera dari Sri Sultan VI dan tjutju dari Sri Sultan V. (B.R.A. Adipati Mangkubumi itu putera puteri Sri Sultan H.B. ke V).
Sedjak itu pulalah djumlah keturunan dalang mendjadi banjak karena kader-kader dari Dalang Pantjakaki, berbésanan antara ḍalang dengan ḍalang.
Diantara ḍalang, jang terpilih, diangkat mendjadi habdi dalem, sedang jang tidak menḍalang dimana-mana tempat.
Ḍalang-ḍalang pada zaman itu ditjeriterakan banjak jang memiliki kemahiran
jang istimewa, misalnja:
a. Ki Rediguna di Sanasèwu, panah wajang dapat terpaku di tiang rumah, pula
dapat mendatangkan hudjan. Hingga sudah lumpuh masih laku, kalau pergi majang
dipikul.
b. Ki Djajengtarjana dalang Paku Alaman, termashur bagus pakelirannja.
c. Ki Somataruna Dagen, termashur lutjunja.
d. Ki Lurah Girisa :I: termashur keseluruhan pedalangannja.
e. Ki Sapawira Sambilegi temrashur dengan ilmu kebatinannja.
f. Ki Somakarija termashur bila” menjanggit adegan pertjintaan, mendjalankan wajang puteri.
g. Ki Tjitramengeng termashur dengan bagusnja tehnik pakelirannja.
h. Ki Gandapawira (Mantup) sabetannja tak ada jang melawan bagusnja.
Dan masih banjak lagi ḍalang-ḍalang jang belum tersebut, Gandasana, Wikridita dll. Perlu dikemukakan disini bahwa ḍalang tersebut pada alinea f. g. h. adalah ḍalang pada zaman Sri Sultan ke: VIII: Sesudah Gandapawira tak mendjalankan majang, dan ḍalang Tjitramengeng serta Ki Lurah Girisa (semuanja abdi dalem) wafat, maka Sri Sultan mentjari ḍalang jang bagus dan memuaskan seperti ḍalang-ḍalang jang terdahulu, akan tetapi telah ditjobanja dari dalang seluruh Jogjakarta tidak ada jang memuaskannja. Maklumlah Sri Sultan ke: VIII, adalah ahli tentang hal ini.
Setelah itu, maka diangkat sebagai dalang jang agak lumajan:
1. Ki Suradjiwandana jang tadinja djadjar Pasinden, ditetapkan mendjadi dalang Keraton dengan pangkat Bekel, dan diberi sebutan R.B. Tjermawitjara, karena beliau adalah dalang jang bagus bahasanja. Keistimewaan Ki Tjermawitjara ini bilamana mendjalankan djaranan. Beliau banjak membantu pembuatan dokumen ini.