gunakan di Keraton Jogjakarta), berhasil mentjipta beksan „LANGENDRIJA” jang diambilkan dari lakon-lakon wajang klitik tjeritera Damar Wulan. Tari ini merupakan tari djengkeng, dengan mempergunakan tembang matjapat sebagai dialoog. Tentang tertjiptanja tari Langendrija ditjeriterakan, bahwa mula-mula hanja merupakan pembatjaan dengan lagu tembang matjapat dari buku Damar Wulan oleh seorang ḍalang, jang sedjak tahun 1882, dilakukan dalam bentuk tari berdjongkok atau djengkeng. Sewafatnja Pengeran Adipati Aria Mangkubumi ke IV di Jogja tari Langendrija itu sudah tidak pernah dipertundjukkan lagi.
Di Surakarta terutama di Istana Mangkunegaran sebaliknja tari Langendrija itu mendapat perhatian jang sangat besar. Pelaku-pelakunja adalah wanita-wanita abdi-dalem istana Mangkunegaran.
Pada tahun 1890 di Jogja oleh K.P.A. Adipati Danuredja (masih K.R.T. Judonegoro) ditjiptakan sebuah beksan djengkeng djuga mempergunakan tembang matjapat pula sebagai dialoognja, dan tjeritera mengambil dari serat „RAMAYANA” dinamakan „LANGEN MANDRA WENARA”. Ketjuali itu beliau telah mentjiptakan beksan djengkeng jang serupa itu mengambil tjeritera dari serat MENAK dinamakan „SEMARA SUPI”.
Djuga Pangeran Prabuwidjaja berhasil menggubah beksa „LANGEN ASMARA” mengambil dari tjeritera „MENAK”.
Pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII kesenian tari mendapat perhatian besar, banjak lakon-lakon wajang-orang digubah pada waktu itu. Djaman itu pakaiannja wajang-orang belum mempergunakan djamang, dan baru djaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII diberi berpakaian djamang atau irah-irahan menurutkan wajang-kulit.
Pada tahun 1914—1918 karena perang Dunia ke I petjah di Eropa, mempengaruhi djuga keadaan perkembangan seni tari di Djawa, chususnja di Jogjakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1918 oleh Pengéran Surjadiningrat dan adiknja, ialah Pangéran Tédjakusuma dengan bantuan para ahli dari Keraton didirikan perkumpulan kesenian „Krida Beksa Wirama” jang mendapat subsidi dari Keraton berupa biaja dan pindjaman-pindjaman pakaian wajang. Sedjak itulah tari gaja Jogja mulai berkembang diluar istana dan mulai dikenal oleh masjarakat jang lebih lama. Tentu sadja didalam djalan perkembangannja banjak ide-ide jang masuk dalam seni-tari itu, terutama dalam teknik pemberian peladjaran Krida Beksa Wirama merupakan pelopornja jang utama.
Pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII merupakan klimax kemadjuan dan perkembangan seni bceksa di Keraton Jogjakarta. Pertundjukan-pertundjukanwajang-orang sampai tiga atau empat hari malam kerap kali diadakan, dimana ratusan penari turut serta mengambil bagian. Empu-empu jang terkenal waktu itu antara lain:
K.R.T. Purbaningrat, K.R.T. Djajadipura, dan masih banjak lagi jang tidak disebut-sebut namanja.
SEKEDAR PERKEMBANGAN SENITARI SEDJAK BERDIRINJA
KRIDA BEKSA WIRAMA.
Dorongan untuk mendirikan perkumpulan seni tari Krida Beksa Wirama, adalah karena sedjak berachirnja Perang Dunia ke I pada tahun 1918 tidak ada seorangpun jang berniat memberi peladjaran seni beksa itu. Atas desakan dari Pergerakan Pemuda
„JONG JAVA” jang minta diberi peladjaran tari dan gamelan jang mengirimkan
141