Suasana makin tambah djernih, setelah Kepala dan Wakil Kepala Negara kita, Bung Karno dan Bung Hatta pulang kembali ke Ibukota kita dari pengasingan, bersama-sama para Pembesar-pembesar kita, pada tanggal 6 Djuli 1949. Tidak lama dari itu, disusul pula datangnja para pemimpin-pemimpin kita jang mengambil bagian dalam lapangan Gerilja, diantaranja termasuk Mr. Susanto Tirtoprodjo, Dr. Sukiman, marhum Djendral Besar Sudirman, I.J. Kasimo dan lain-lain tokoh-tokoh besar. (1).
Setelah itu, peranan-peranan penting, didalam perkembangan politik kembali berpusat di Ibukota kita, diantaranja jang sangat penting adalah terdjadinja Konperensi Antar Indonesia, jang antara lain memutuskan ,,bentuk Negara kita” dirubah dari ,,kesatuan” mendjadi ,,Negara Sarekat”, dan dalam Konperensinja wakil-wakil dari Negara bagian, dengan suara bulat, memilih Bung Karno sebagai Presiden R.I.S., jang sebagai pada bagian atas telah dikatakan bahwa peresmiannja pengangkatan itu telah dilakukan pada tanggal 17 Nopember 1949 di Bangsal Witana, Sitinggil, jang dahulu dibangun atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono I, dan di Bangsal itu pula dahulu beliau duduk jang pertama, sebagai Radja Ngajogjakarta-Adiningrat.
Rupanja dharma Ibukota kita belum tjukup sampai dibatas itu sadja, sebab meskipun sedjak tanggal 28 Desember 1949, P.J.M. Presiden Soekarno, P.J.M. Wakil Presiden Moh. Hatta dan lain-lain Pembesar R.I.S. sama meninggalkan Ibukota kita, . tetapi Ibukota kita masih tetap mendjadi Ibukota Negara bagian. Mr. Assaat jang di pilih sebagai acting Kepala Negara R.I. masih tetap tinggal di Ibukota kita. Dan barulah status Jogjakarta kembali mendjadi Kotapradja lagi, setelah sidang D.P.R.S. mengambil putusan, mengembalikan bentuk Negara kita, tidak lagi mendjadi ,,Negara Sarckat”, tetapi ,,Negara kesatuan”.
KOTA PERGURUAN.
DENGAN kepindahannja Pemerintah Pusat dari Jogjakarta ke Djakarta, semula orang menduga bahwa penuh sesaknja Kotapradja ini akan berubah mendjadi longgar, sebab menurut perhitungan, berhubung dengan pemindahan Pemerintah Pusat itu, Ik. 3000 keluarga para Pegawai Negeri turut berpindah djuga, tetapi ternjata dugaan itu tidak benar, sebab setelah Kotapradja kita tidak lagi mendjadi arena politik, kedudukannja telah berubah mendjadi ,,Kota perguruan”, karenanja dengan sendirinja merupakan penampungan Siswa-siswa dari segala pendjuru, baik dari dalam, maupun dari luar Djawa, jang sama meneruskan peladjarannja kesekolah landjutan sampai ke Universitas Negeri Gadjah Mada. Djumlah mereka semua tidak kurang dari 80.000 orang.
Inilah sebabnja segala kesulitan jang dirasakan semasa Jogjakarta masih mendjadi Ibukota R.I., tinggal tetap kita rasakan djuga, kekurangan perumahan, kekurangan penerangan, kekurangan air, kekurangan asrama peladjar, dan masih banjak lagi matjamnja kekurangan, sampai hari, djam dan saat ini masih belum berubah.
Dan semuanja, ini, tanggung djawabnja ada pada pundak Kotapradja Jogjakarta.
Satu tanggung djawab jang sangat berat! Sampai sekarang usaha-usaha untuk memadjukan lapangan-lapangan perekonomian didalam Kotapradja Jogjakarta masih belum mendapatkan hasil sebagai jang diharapkan. Akibat pendudukan Djepang dan blokade Belanda sedjak clash pertama dan kedua, sampai sekarang masih dirasakan. Ini
(l). Menteri Negara bagian Pemuda dan Pembangunan Supeno jang turut bergerelia, telah dibunuh oleh tentara Keradjaan Belanda didesa Sawahan, Ngandjuk.
36