— 126 —
aken bisa memboedjoek soepaia anaknja djangan terlaloe kesel, ia tida bisa dapetin.
Ah brapatah kedjem sebetoelnja kadang-kadang perkatahan bisa berarti, zonder mengambil perdoeli, pegimana orang poenja prangsahan, kasian en djengkel. En apatah sekarang moeti di bikin, njang anaknja soeda taoe dari kehebatan penjakitnja? Ah ia soenggoe tida taoe, tida abis mengarti.
Setelah ia lagi bengong sadja, soearanja HOK OEN njang lemah memanggil padanja en plahan sekali ia samperin anaknja.
„Pa,” berkata sang anak (ah saja soenggoe tida bisa loekisin pegimana ngenes itoe soeara telah di kloearin). „Itoe toch tida bener ja? Och, bilang dong njang itoe semoea ada djoesta!”
Semoea perkatahan boeat mengiboer, semoea ingetan aken entengken djengkelnja sang anak telah tida terdenger, en disitoelah sekarang, di depan satoe bangkoe, berdiri sang ajah seperti lidanja sama djoega tertempel.
„Ia slamanja kata njang tida menjenangken sadja," berkata sang anak sembari menarik napas en pelok papanja; „ia kaga boleh begitoe, boekan? Kau diam sadja, pa! Pa, kenapatah kau tida bilang apa-apa, kenapatah kau tida bilang lantes, njang itoe semoea bohong adanja?”
En oleh kerna takoetnja semingkin bertamba, makalah soearanja sekarang terdenger seperti di tahan-tahan en polok ia papanja terlebi kentjeng.
„Djawab akoe ― pa ― kenapatah kau ― tida kata apa-apa?”
,,Ah HOK OEN, anak koe!”