Seri Pahlawan: Abdul Moeis/Bab 7

ABDUL MOEIS SEBAGAI SASTRAWAN

Abdul Moeis tidak hanya dikenal sebagai seorang politikus. Ia dikenal pula sebagai seorang sastrawan. Malahan, di bidang sastra ia dianggap sebagai perintis Pujangga Baru. Banyak buku yang telah dikarangnya. Banyak pula buku berbahasa asing yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Minat untuk mengarang buku timbul waktu ia hidup dalam pengasingan. Desa Cicangtu adalah desa yang sepi. Udaranya nyaman. Pemandangan alamnya indah. Tempat seperti itu sangat baik bagi orang yang berbakat mengarang. Abdul Moeis ternyata mempunyai bakat itu. Karangan-karangan yang bersifat politik sudah banyak dibuatnya waktu ia aktif di bidang jurnalistik. Rasanya tidak akan berat kalau ia mengarang buku. Lagi pula waktunya banyak yang terluang.

Hidupnya terasa tertekan akibat tindakan Pemerintah Belanda. Rasa tertekan dan hidup di tempat yang sepi, seringkali mengundang orang untuk mengarang sebagai tempat penyaluran kesusahan hati.Begitu pula halnya dengan Abdul Moeis.

Bila ia duduk seorang diri, maka ia teringat kembali kepada perjalanan hidupnya. Terbayang di matanya bagaimana kasih sayang orang tuanya kepadanya. Terbayang pula bagaimana ia bermain-main di waktu kecil dengan kawan-kawannya di kampung. Hatinya sedih ketika ia mengingat bagaimana ia tidak tahan melihat darah. Dan ... tiba-tiba ia teringat kepada sesuatu yang indah dalam hidupnya.

Pengalaman indah itu ialah ketika ia jatuh cinta kepada seorang gadis Belanda. Waktu itu ia masih muda remaja, masih duduk sebagai pelajar di Stovia. Gadis itu pun cinta pula kepada Abdul Moeis.

Tetapi percintaannya dengan gadis Belanda itu putus di tengah jalan. Adat dan kebiasaan keduanya sangat berbeda. Orang tua gadis itu tidak mengizinkan anaknya menikah dengan seorang anak jajahan, apalagi tidak berkulitputih.

Kegagalan cinta itu tidak menghancurkan semangat Abdul Moeis. Malahan sebaliknya, hal itu menjadi dorongan baginya untuk lebih maju. Tetapi bagi gadis Belanda itu kegagalan cinta itu berakibat sangat buruk.

Kisah itu dituangkan Abdul Moeis dalam buku Salah Asuhan. Gaya bahasanya halus dan memikat hati pembacanya. Buku itu kemudian menjadi buku roman yang sangat terkenal dalam kesusasteraan Indonesia. Berkali-kali buku itu dicetak ulang. Bahkan pernah menjadi buku yang wajib dibaca oleh pelajar-pelajar sekolah menengah dan mahasiswa fakultas sastra.

Salah Asuhan tidak hanya terkenal di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan bahasa Cina. Sejak buku itu beredar, Abdul Moeis dianggap sebagai tokoh terkemuka dalam kesusasteraan Angkatan Tahun 20-an atau pra Pujangga Baru.

Sebenarnya isi buku itu agak berbeda dengan naskah aslinya. Perubahan itu terdapat di bagian akhir. Perubahan itu sengaja dilakukan oleh redaksi Balai Pustaka. Maksudnya ialah untuk menjaga nama baik bangsa Belanda. Bagian yang diubah itu ialah mengenai nasib Corry, si gadis Belanda. Dalam buku Salah Asuhan diceritakan Corry meninggal karena sakit setelah cintanya putus. Tetapi yang sebenarnya, ia meninggal karena bunuh diri setelah menjadi pelacur akibat kegagalan cintanya.

Dalam Salah Asuhan Moeis menggambarkan, bahwa antara golongan tua dengan golongan muda kadang-kadang terdapat salah faham. Golongan tua kurang memahami cita-cita golongan muda. Sebaliknya golongan muda sering pula kurang memahami maksud baik golongan tua.

Golongan muda ingin mencapai kemajuan. Cara yang mereka lakukan adakalanya tidak disetujui oleh golongan tua. Mereka menganggap bahwa cara-cara itu berlawanan dengan adat kebiasaan. Golongan tua takut melanggar kebiasaan yang sudah ada.

Abdul Moeis ingin agar antara golongan tua dengan golongan muda terdapat saling mengerti. Kepada anak-anak muda dianjurkannya agar menghormati yang tua-tua. Yang tua dihormati, yang kecil dikasihi, sesama besar seia sekata. Itulah yang hendak disampaikan Abdul Moeis dalam bukunya, sebab ia tak dapat lagi mengasuh anak-anak muda secara langsung dalam dunia politik.

Karena buku itu sangat digemari masyarakat, maka terbitlah minat Abdul Moeis untuk terus mengarang buku. Ceritanya tidak hanya mengenai adat yang dijalin dalam kisah cinta, tetapi dicarinya pula tema yang lain. Ditulisnya kisah-kisah yang bersifat komedi, roman sejarah dan pengetahuan populer.

Ada tiga belas buah buku yang dikarangnya. Di antaranya ialah Pertemuan Jodoh, Daman Brandal Anak Gudang, Robert Anak Surapati, Sabai Nan Aluih dan Contoh Surat Menyurat. Selain itu banyak pula buku berbahasa asing yang diterjemahkannya. Antara lain ialah Sebatang Kara, Pangeran Kornel, Tom Sawyer, Suku Mohawk Tumpas, dan Cut Nyak Dien. Sebuah buku mengenai sejarah pergerakan nasional Indonesia diterjemahkannya pula. Buku itu adalah karangan D.M.G. Koch. Judul aslinya Om de Vrijheid diterjemahkan Abdul Moeis menjadi Menuju Kemerdekaan.

Karangan-karangan Abdul Moeis tidak hanya berpengaruh terhadap para sastrawan, tetapi juga terhadap masyarakat.