Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali/Bab 3

BAB III

BENTUK KOMUNITAS KECIL


CIRI - CIRI SEBUAH KOMUNITAS

Seperti telah disinggung dalam BAB I di depan, bahwa bentuk komunitas kecil atau kesatuan hidup setempat pada masyarakat Bali yang terpenting adalah desa. Dalam pandangan orang Bali konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu : pertama, desa sebagai suatu kesatuan wilayah tempat para warganya secara bersama-sama mengonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara dan berbagai kegiatan sosial yang ditata oleh suatu sistem budaya dengan nama desa adat dan kedua, desa sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dinas.

Untuk kepentingan inventarisasi dan dokumentasi ini, sebagai lingkup operasional ditetapkan desa adat. Dalam kehidupan masyarakat yang nyata, walaupun kedua bentuk komunitas ini pada hakekatnya menangani bidang-bidang tertentu (desa adat terfokus pada bidang adat dan agama, desa dinas terfokus pada bidang administrasi kepemerintahan formal atau kedinasan serta bidang pembangunan umum), yang satu dengan yang lain juga tampak saling terjalin secara fungsional-struktual, baik melalui pola konsentris maupun pola terkupas (13, 350).

Dari segi kesatuan wilayah, pada umumnya satu desa dinas mencakup beberapa desa adat. Dikatakan pada umumnya, karena dalam kenyataannya tidak terdapat satu pola yang seragam. Variasinya cukup beraneka ragam dan komplek,antara lain:

  1. Satu desa dinas mencakup beberapa desa adat;
  2. Satu desa dinas terdiri dari satu desa adat;
  3. Satu desa adat mencakup beberapa desa dinas;
  4. Satu desa adat terbagi ke dalam beberapa desa dinas;

Melihat dari jumlah desa dinas dan jumlah desa adat yang ada di daerah Bali, memang ada kecendrungan bahwa variasi jenis pertama yang paling banyak kemungkinannya.

Tabel XIX memperlihatkan keadaan jumlah desa dinas dan desa adat di daerah Bali menurut kecamatan dan kabupaten.

Tabel XIX

Keadaan Jumlah Desa Adat dan Desa Dinas di Bali Menurut Kecamatan dan Kabupaten

No. Kabupaten Kecamatan Desa Dinas Desa Adat
1. Badung 6 51 132
2. Bangli 4 69 151
3. Buleleng 9 145 155
4. Gianyar 7 51 269
5. Jembrana 4 49 41
6. Karangasem 8 44 217
7. Kelungkung 4 56 291
8. Tabanan 8 99 254
Jumlah 50 564 1.610
Sumber : Angka Desa Adat diperoleh dari Majelis Pembina Lembaga Adat, tahun 1980. Menurut Repelita III Daerah Bali, Jumlah Desa Adat tercatat 1456 buah.

Sebelum diuraikan tentang ciri-ciri sebuah komunitas kecil pada masyarakat Bali, agaknya ada baiknya diketengahkan gambaran tentang ciri-ciri kehidupan komunitas kecil di Indonesia pada umumnya, karena ciri-ciri umum seperti itu sering juga tampak dalam kehidupan komunitas-komunitas kecil, pada masyarakat daerah yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Bayangan orang tentang ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya adalah sebagai berikut: Kehidupan agraris yang bercorak religius dengan dipertahankannya pola-pola kehidupan tradisional. Karena relatif kecilnya bentuk masyarakat pedesaan, maka ciri-ciri itu dilengkapi lagi dengan beberapa ciri lain, seperti: hubungan sosial yang bersifat personal, ciri warga desa yang bersifat homogin dengan jenis solidaritas mekanis.

Prof. Koentjaraningrat yang pernah mengabtraksikan ciri-ciri penting dari kehidupan masyarakat desa di Indonesia melalui metoda perbandingan (13, 354 - 366), mengemukakan ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Kehidupan dengan konplik dan persaingan.
  2. Adanya kegiatan dalam bekerja.
  3. Berkembangnya sistem gotong-royong tolong - menolong.
  4. Berkembangnya sistem gotong - royong kerja bakti.


45

  1. Berkembangnya sistem musyawarah dan jiwa musyawarat.
  2. Adanya sistem stratifikasi sosial tertentu.
  3. Adanya pola pemerintahan tertentu.

Untuk memperoleh pengertian tentang komunitas pada masyarakat Bali, maka penggambaran tentang ciri-cirinya akan diperinci menurut sistematika sebagai berikut : Batas-batas wilayah suatu komunitas, Legitimasinya, Atribut-atribut, dan ciri-ciri khusus.

Batas-batas wilayah :

Batas-batas wilayah suatu komunitas pada masyarakat Bali dengan segala aspek kehidupan dari para warga komunitas yang bersangkutan dapat diperinci sekurang-kurangnya ke dalam empat bagian, sebagai berikut:

  1. Batas wilayah geografis.

    Apabila dihubungkan luas pulau Bali, yaitu sekitar 5632,86 km2 dengan jumlah seluruh desa adat di pulau itu sebanyak 1610 buah, maka luas sebuah desa adat sebagai komunitas rata-rata sekitar 3,5 km2. Dalam kenyataannya, maka ada desa adat dengan ukuran luas yang kecil (kurang dari 1 km2) dan desa adat dengan ukuran luas yang besar (lebih dari 10 km2). Wilayah suatu komunitas mencakup wilayah untuk pemukiman para warga komunitas d an wilayah bukan sebagai pemukiman yang meliputi:persawahan, perkebunan, sungai-sungai, danau, jalan dan lain-lain.

    Di Bali, batas wilayah geografis suatu desa adat pada umumnya adalah batas alam, seperti:sawah, sungai, bukit, gunung, garis pantai, lautan jalan dan sebagainya. Namun demikian ada pula beberapa desa adat, seperti misalnya desa adat Tenganan Pegringsingan, yang ikut menjadi lokasi inventarisasi ini, maka batas pemukiman para warga desa adalah merupakan batas buatan yang terwujud sebagai tembok desa.

  2. Batas pemerintahan adat.

    Suatu desa adat di Bali memiliki aturan adat tersendiri yang tertuang dalam awig-awig desa. Aturan-aturan yang tertera dalam awig-awig desa itu dijadikan pedoman dan mengatur segala pri kehidupan warga desa yang tinggal dalam wilayah desa yang bersangkutan dengan disertai sanksi-sanksi tertentu. We-

wenang dari aturan-aturan tersebut berada ditangan pemerintahan adat, yang secara konkrit dilaksanakan oleh para pemimpin adat. Dalam segi pemerintahan adat ini masing-masing desa adat bersifat otonomus, dalam arti masing-masing desa adat mempunyai aturan-aturan tersendiri yang hanya berlaku bagi para warga desa di wilayah desa adat bersangkutan. Atas dasar inilah maka batas pemerintahan adat dapat dipandang sebagai batas wilayah suatu komunitas di Bali.

  1. Batas administratif.

    Sejumlah desa adat di Bali wilayahnya ada yang sama dengan wilayah desa dinas. Karena desa dinas adalah desa yang menangani urusan administrasi, maka batas administratif, dalam kasus desa adat seperti tersebut ini adalah juga merupakan batas suatu komunitas.


Legitimasi :

Legitimasi dalam arti syahnya eksistensi suatu komunitas kecil dalam bentuk desa adat di Bali diakui dan ditetapkan melalui peraturan Daerah. Disamping adanya pengakuan yang bersifat suatu formal seperti itu, maka menurut persepsi dikalangan komunitas yang bersangkutan (desa adat) berkembang pula ciri-ciri seperti :

  1. Adanya perasaan cinta dan terikat kepada wilayah tersebut
  2. Adanya rasa kepribadian kelompok.
  3. Adanya pola hubungan yang bersifat intim dan cendrung bersifat serba rela.
  4. Adanya suatu tingkat penghayatan dari sebagian besar lapangan kehidupannya secara bulat.

Disamping ciri-ciri pengenalan yang bersifat dari sebagian dalam seperti itu syarat-syarat pokok untuk ayahnya suatu desa adat di Bali adalah sebagai berikut:

  1. Adanya wilayah dengan batas-batas tertentu yang disebut pelemahan desa atau tanah desa.
  2. Adanya warga desa yang disebut pawongan desa.
  3. Adanya sejumlah pura sebagai pusat-pusat pemujaan para warga desa yang disebut Kahyangan desa.
  4. Adanya suatu pemerintahan adat yang berlandaskan pada aturan-aturan adat tertentu (awig-awig desa).

Atribut-atribut:

Atribut pokok dari suatu komunitas kecil yang terwujud sebagai desa adat di Bali adalah tersimpul dalam konsepsi Tri Hita

Karana. Secara etimologis, istilah itu tersusun dari tiga kata, yaitu: tri artinya tiga, hita artinya kemakmuran, dan karana artinya sebab. Dengan demikian istilah tersebut berarti tiga sebab kemakmuran. Ketiga unsur penyebab kemakmuran itu yang merupakan atribut suatu desa adat adalah :

  1. Kahyangan Tiga, yang terdiri dari tiga pura sebagai pusat pemujaan warga desa, yaitu pura puseh (tempat pemujaan Brahma, yang menciptakan alam beserta isinya); pura Desa dan Bale Agung (tempat pemujaan Wisnu yang memelihara); dan pura Dalem (tempat pemujaan Siwa, yang mengembalikan kepada asalnya.
  2. Palemahan Desa, yaitu tanah ulayat milik desa yang merupakan tempat pemukiman warga desa yang bersangkutan.
  3. Pawongan Desa, yaitu seluruh warga desa yang bersangkutan. Sebagai warga inti adalah setiap pasangan suami-istri yang telah berkeluarga.

Di samping atribut pokok tersebut, masih perlu dikemukakan beberapa bangunan dan kekhususan lainnya yang menjadi simbul suatu komunitas masyarakat Bali yang terwujud sebagai desa adat, yaitu:

  1. Balai pertemuan tempat terselenggaranya rapat-rapat desa. Kuburan, yang biasanya terletak berdekatan dengan pura Dalem.
  2. Perempatan desa, merupakan tempat yang dianggap keramat dan juga sebagai tempat upacara, seperti misalnya bhuta yadnya.
  3. Tata susunan yang menuruti konsepsi tri angga, artinya susunan yang terdiri dari tiga tingkatan: utama (tinggi dan hulu), madya (tengah) dan nista (rendah dan bawah).

Ciri-ciri khusus:

Ketiga hal diatas (batas wilayah, legitimasi dan atribut) telah memberikan ciri umum tentang suatu komunitas kecil di Bali yang terwujud sebagai desa adat. Sesuai dengan pandangan masyarakat Bali, bahwa adanya variasi selalu diakui sesuai dengan adagium: desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Untuk melihat ciri-ciri khusus yang memberikan variasi terhadap komunitas di Bali, agaknya indikator-indikator berikut ini dapat dipakai pangkal tolak yaitu : sistem ekonomi dan ekologi, sistem kemasyarakatan dan gelombang pengaruh luar. Indikator pertama, me

nimbulkan ciri-ciri khusus misalnya bagi desa pertanian yang berbeda dengan desa perkebunan, desa nelayan, desa perdagangan dan sebagainya dengan ciri-ciri khusus dalam berbagai segi kehidupannya. Indikator kedua, menimbulkan ciri-ciri khusus bagi desa-desa pegunungan yang berbeda dengan desa-desa Bali dataran. Desa-desa pegunungan misalnya lebih mengikuti pola konsentris, tidak terbagi-bagi ke dalam banjar dan sistem kasta tidak penting atau bahkan pada beberapa desa tidak dikenal. Indikator ketiga misalnya dari segi pengaruh agama, maka dibedakan desa-desa yang kurang dipengaruhi agama Hindu dan yang kuat dipengaruhi agama Hindu : Juga ke dalam indikator ini dapat dikemukakan arti pengaruh modernisasi yang membedakan ciri desa satu dengan desa lain, sesuai dengan tingkat identitas pengaruh modernisasi tersebut.

Atas dasar hal-hal diatas, maka ciri khusus suatu komunitas tampak kentara dalam beberapa unsur, antara lain:

  1. Dalam unsur upacara adat dan agama.
  2. Dalam unsur pakaian adat.
  3. Dalam unsur pola menetap.
  4. Dalam unsur stratifikasi sosial.
  5. Dalam unsur keanggotaan desa dan pimpinan masyarakat.

STRUKTUR KOMUNITAS KECIL

Gambaran tentang struktur komunitas kecil yang terwujud sebagai desa adat, dalam bagian ini akan dilihat keadaannya, baik pada masa lalu maupun pada masa kini. Dengan adanya penguraian yang berdimensi historis ini, diharapkan akan lebih diperoleh kejelasan kedudukan desa adat sebagai suatu lembaga sosial berkaitan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya. Hasil studi kepustakaan dan pengamatan memberikan data, bahwa eksistensi desa adat pada masyarakat Bali secara struktural adalah merupakan induk dari komunitas lain dan secara fungsional, lembaga itu banyak terjalin dengan lembaga-lembaga lain secara saling tumpang tindih. Uraian berikut akan menggambarkan hal itu.

Desa adat sebagai induk dari komunikasi lain :

Sejak masa lalu sampai dengan masa kini, desa adat adalah suatu komunitas kecil dengan fokus fungsinya di bidang adat dan agama. Dalam menjalankan fungsinya itu, tiap-tiap desa adat mempunyai keudukan yang bersifat otonom, dalam arti tiap-tiap desa adat berdiri sendiri menuruti aturan-aturan (awig-awig desa) yang dirumuskan, dilaksanakan dan dijadikan pedoman bertindak

oleh segenap warga desa bersangkutan yang berdomisili dalam suatu wilayah desa tertentu. Dalam hal seperti itu, desa adat secara struktural membawahi banjar adat (pada umumnya lebih dari satu) sebagai sub kumunitas yang berorientasi kepada desa adat sebagai induknya. Orientasi kepada desa adat sebagai induk itu, tampak terutama berkaitan dengan konsepsi tri hi ta karana yaitu: Kahyangan desa (pura desa), palemahan desa (tanah desa), dan pawongan desa (warga desa).

Kalau diperhatikan perkembangan sejarah Bali seperti tercantum dalam BAB II di atas, maka agaknya desa-desa itu telah terwujud sejak masa Neolithicum dalam jaman prasejarah, tatkala manusia telah melakukan kehidupan bercocok tanam dan dengan pola pemukiman yang telah bersifat menetap. Dalam jaman Bali Asli dan seterusnya, eksistensi desa lebih kentara lagi dengan terungkap akan adanya pola-pola kehidupan komunal yang terwujud sebagai desa adat.


Pada jaman kerajaan-kerajaan Hindu di Bali desa adat secara fungsional berada di bawah kerajaan. Agaknya pada masa-masa tersebut, terbentuklah lembaga desa yang mengurusi masalah-masalah yang berhubungan dengan struktur pemerintahan kerajaan dalam bentuk desa keprebekelan.

Pada jaman penjajahan Belanda, desa keprebekelan itu secara struktural juga beradadi bawah sistem pemerintahan jajahan. Pada jaman Republik Indonesia masa kini, desa keprebekelan itu adalah merupakan desa dinas yang secara struktutal merupakan bagian yang paling bawah dan sistem pemerintahan Republik. Semua kegiatan dan program pemerintahan masa kini terkomunikasi dan tersalur melalui desa dinas tersebut.

Desa adat dalam rangka sistem pemerintahan Republik tidak terjalin secara struktural. Juga dalam kaitannya terhadap desa dinas, desa adat tersebut hanya terjalin secara fungsional dan tidak secara struktural. Jalinan fungsional itu terfokus pada fungsi pokok dari desa adat yaitu pada bidang adat dan keagamaan. Pada bidang-bidang kedinasan, yang mencakup berbagai bidang, seperti misalnya: pendidikan formal, kesehatan, keluarga berencana, transmigrasi dan lain-lain, desa adat tidak terkait dalam jalinan struktural. Bidang-bidang kedinasan seperti tersebut di atas itu, berada ditangan urusan desa dinas. Dalam hal kedinasan itu, desa dinas membawahi sejumlah banjar dinas. Hubungan struktural dan fungsional antara desa dinas, desa adat dan banjar adat adalah seperti terlihat dalam bagan di bawah. Di samping desa adat dan banjar adat, pada masyarakat Bali dikenal lagi berbagai jenis lembaga sosial, seperti: sekeha dan subak. Kalau desa adat dengan banjar banjar adat berhubungan terjalin secara struktural, maka sekeha dan subak tidak terkait secara struktural dengan desa adat, melainkan terjalin secara fungsional dan saling tumpang tindih satu sama lain. (8, 171 - 172).

BAGAN STRUKTUR DESA *):

Hubungan Struktural dan Fungsional antara Desa dinas - Desa adat - Banjar dinas - Banjar adat.
KETERANGAN: *) = Struktur desa yang mewakili pola mayoritas.
DD = Desa Dinas
DA= Desa Adat.
BD= Banjar Dinas
BA = Banjar Adat

— = Hubungan Struktural.
- - - = Hubungan Fungsional.

PEMERINTAHAN DALAM KOMUNITAS KECIL

Sejarah Pertumbuhan Pemerintahan:

Sejarah pertumbuhan pemerintahan yang dimaksudkan di sini adalah perkembangan bentuk pemerintahan yang pemah diterapkan dalam komunitas itu. Bentuk pemerintahan daerah di daerah Bali, telah mengalami berbagai perubahan sesuai dengan perkembangan jaman. Seperti telah diuraikan di depan, bahwa komunitas kecil pada masyarakat Bali yang terwujud sebagai desa adat adalah bersifat otonomus dan tidak terkait secara struktural dengan sistem pemerintahan kerajaan sistem pemerintahan jajahan, maupun sistem pemerintahan republik. Perubahan yang terjalin dalam sistem pemerintahan kerajaan ke pemerintahan jajahan dan akhirnya ke pemerintahan Republik, tidak mempengaruhi dan tidak membawa perubahan dalam bentuk pemerintahan desa adat.
Di bawah ini adalah suatu illustrasi tentang pertumbuhan pemerintahan di daerah Bali, tetapi pertumbuhan itu sendiri agaknya tidak mempengaruhi bentuk pemerintahan desa adat. Dengan instelling zelfbestuur" tanggal 1 Juli 1938, delapan Onderafdeling di Bali yakni: Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Kelungkung dan Karangasem, masing-masing menjadi zelfbestuured lanschap" (kerajaan). Tiap-tiap kerajaan berdiri sendiri, lepas dari yang lain. Kerjasama dilakukan melalui badan Paruman Agung, satu dewan yang diketuai oleh Residen. Sewaktu pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) dibentuklah undang-undang pembentukan gabungan kerajaan-kerajaan Bali dengan dilengkapi dua badan, yaitu: Dewan Raja-Raja dan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberi nama Paruman Agung.
Sebagai perwujudan dari undang-undang (NIT) tanggal 15 Juni 1950 No. 44, dibentuklah di Bali suatu DPR dengan membubarkan Paruman Agung. Begitu pula Dewan Raja-Raja ditiadakan. Mengenai pemerintah daerah pada masa itu, bahwa di samping D.P.R. terdapat satu Dewan Pemerintah yang diketuai oleh Ketua DEwan Pemerintah Merangkap Kepala Daerah.
Pemerintahan Swapraja juga mengalami "demokratisering" setelah mengalami perubahan-perubahan, maka susunan ke pamong prajaan di Bali adalah sebagai berikut:
Bali dengan ibu kotanya Denpasar, berstatus "Daerah" mempunyai dua badan, yaitu: Dewan Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali. Daerah Bali terbagi atas delapan swapraja dan masing-masing mempunyai dua badan: Dewan Pemerintah dan D.P.R. Masing-masing swapraja terdiri atas distrik, distrik terdiri atas desa perbekelan dan desa terdiri atas banjar (23, 12 - 13).
Dalam jaman Republik, khususnya pada masa kini, propinsi Bali mencakup delapan kabupaten, terdiri dari 50 kecamatan, terbagi atas 564 desa dinas dan di bawah desa dinas terdapat banjar-banjar dinas.

Dari uraian di atas jelas, bahwa bentuk pemerintahan desa adat tidak terkait secara struktural, dan karena itu walaupun bentuk pemerintahan daerah Bali berkali-kali berubah, bentuk pemerintahan desa adat tersebut seperti masih bisa diamati pada masa kini bervariasi atas dua pola:

  1. Pola Pimpinan tunggal, yaitu dimana pucuk pimpinan desa adat dipegang oleh satu orang yang umumnya disebut Bendesa adat, Klian adat atau klian desa. Pola ini terdapat pada desa-desa adat di Bali dataran.
  2. Pola pimpinan majemuk, yaitu di mana pimpinan desa adat dipegang bersama-sama oleh beberapa orang yang juga disebut Klian Desa. Pola ini terdapat pada desa-desa adat Bali Age, seperti misalnya desa adat Tenganan pegringsingan.

Aparat-aparatnya :

Desa adat yang memakai pola pimpinan tunggal, aparat-aparatnya terdiri dari :

  1. Bendesa adat (di beberapa desa disebut juga Klian adat atau Klian Desa) adalah merupakan aparat tertinggi. Pada beberapa desa dikenal pula jabatan Wakil Bendesa Adat.
  2. Penyarikan desa atau juru tulis desa, adalah aparat yang menangani urusan administrasi desa.
  3. Bendahara desa, adalah aparat yang menangani urusan keuangan desa.
  4. Pamijian, adalah aparat pembantu dalam mengedarkan surat - surat.
  5. Klian banjar adat, adalah pimpinan ditingkat banjar adat sebagai sub-komunitas. Jabatan ini juga kadang-kadang dibantu oleh Wakil Klian.
  6. Sinoman atau juru arah, adalah aparat pembantu yang bertugas sebagai media komunitas. Aparat ini umumnya ada ditingkat banjar.

Desa adat yang memakai pola pimpinan majemuk dengan desa adat Tenganan Pegringisingan sebagai suatu illustrasi, aparat-aparatnya adalah sebagai berikut:

  1. Klian desa atau Klian adat, sebagai pimpinan pemerintahan desa, jumlahnya enam orang.
  2. Penyarikan, adalah aparat yang bertugas sebagai juru tulis
dan pemukul ketongan.
  1. Saya , adalah aparat yang bertugas sebagai media komunikasi atau juru siar.
  2. Nandes, adalah aparat yang bertugas sebagai pemelihara kebersihan desa, mempertanggungjawabkan alat-alat perlengkapan desa.
  3. Gebagan, adalah petugas penjaga keamanan.

Hubungan vertikal :

Hubungan vertikal ke atas secara struktural, mengingat sifat otonom dari pemerintah desa adat, tidak berkembang. Hubungan vertikal ke bawah secara struktural berkembang terhadap pemerintah banjar adat sebagai sub komunitas. Hubungan itu, disatu pihak dapat bersifat hubungan komando (intruktif), yaitu yang menyangkut hal-hal yang biasanya telah melewati keputusan musyawarah desa memerlukan pelaksanaan. Misalnya, mengenai kegiatan pengumpulan dana untuk perbaikan pura desa. Dalam hal seperti itu, atas dasar keputusan musyawarah desa, bendesa adat tinggal menginstruksikan saja kepada klian banjar untuk mengumpulkan dari para warga desa di lingkungan banjarnya masing-masing.
Dipihak lain, hubungan tersebut adalah hubungan yang bersifat konsultatif, yaitu umumnya menyangkut hal-hal yang belum dibahas atau diputuskan melalui musyawarah desa. Walaupun dua sifat tersebut di atas itu yang sering tampak, tetapi landasan inti dan landasan ideal dalam hubungan pimpinan, desa secara vertikal adalah landasan kerja sama (gotongroyong) untuk menyelesaikan tugas-tugas desa.

Hubungan horisontal :

Hubungan antar aparat desa, yaitu antara satu dengan yang lain sering berkaitan dengan tingkatan kedudukan aparat tersebut dalam struktur pemerintahan. Aparat pada kedudukan tinggi terhadap kedudukan bawahan hubungannya bersifat intruktif, sedangkan antara aparat dengan kedudukan sederajat adalah bersifat konsultatif. Walaupun secara formal sifat dan ciri hubungan seperti tersebut diatas yang seharusnya ada, tetapi dalam kenyataannya hubungan horisontal antara aparat desa lebih dilandasi oleh azas kepemimpinan yang bersifat bahu-membahu untuk mencapai tujuan bersama.
Hubungan pemerintahan antar komunitas yang sederajat pada umumnya dilandasi oleh prinsip resiprositas, yaitu adanya pemberian/bantuan yang menimbulkan kewajiban membalas.
Atas dasar prinsip tersebut, maka terwujud aktivitas gotong royong tolong-menolong antar dua komunitas atau lebih. Di samping itu prinsip tersebut dapat pula mewujudkan aktivitas gotong-royong kerja bakti antara dua atau komunitas untuk menyelesaikan tugas-tugas bersama, misalnya : dalam upacara, pembangunan pura, pembangunan balai desa dan lain sebagainya.

LEMBAGA - LEMBAGA SOSIAL KOMUNITAS KECIL'

Jenis lembaga-lembaga sosial dalam komunitas kecil adalah bermacam-macam. Tiga buah yang paling penting adalah : Subak Banjar dan Sekeha. Kegiatan lembaga-lembaga tersebut umumnya tidak hanya terbatas pada satu lapangan kehidupan tertentu saja. Tetapi walaupun demikian, tiap-tiap lembaga sosial mempunyai titik berat dalam lapangan kehidupan yang mana lembaga itu paling relevan.

Demikianlah, baik subak, banjar maupun sekeha, lapangan kegiatannya dapat meliputi sistem ekonomi, kemasyarakatan dan religi, tetapi identitas lembaga itu tetap berkaitan dengan lapangan kehidupan yang menjadi fokus kegiatannya. Di antara tiga lembaga sosial tersebut, sekeha paling banyak jenisnya dan jenis - jenis sekeha terdapat dalam berbagai lapangan kehidupan. Atas dasar pangkal tolak seperti itulah diklasifikasikan lembaga-lembaga sosial komunitas kecil sebagai berikut:

Dalam sistem ekonomi

Subak

Lembaga sosial ini merupakan kesatuan dari para pemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasinya dari satu bendungan tertentu. Subak adalah kesatuan yang terikat oleh kesatuan wilayah irigasi. Fokus kegiatannya adalah dibidang pertanian. Kegiatan subak, selain meliputi kegiatan ekonomi, juga kegiatan yang bersifat keagamaan, yaitu mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara- upacara pada pura subak.

Diseluruh Bali terdapat jumlah subak sebanyak 1274 buah. Lembaga subak diikat oleh adanya awig-awig subak (aturan aturan subak).

Adapun tujuan dari subak adalah untuk :

  1. Mengatur pembagian air di lingkungan subak yang bersangkutan.
  2. Memelihara dan memperbaiki sarana-sarana irigasi, seperti: bendungan, saluran air.

c. Melakukan kegiatan pemberantasan hama.
d. Mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara.

Keanggotaan suatu subak terdiri dari para petani, pemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasinya dari satu bendungan tertentu. Anggota subak adalah orang dewasa. Sebagian besar kegiatan subak dilakukan oleh anggota laki tetapi dalam kegiatan upacara, terlibat anggota laki maupun perempuan. Keanggotaan satu subak tertentu tidak selalu sama dengan keanggotaan satu banjar tertentu, dalam arti bahwa keanggotaan subak dapat terdiri dari anggota yang berasal dari beberapa banjar.

Pimpinan subak disebut klian subak atau pekaseh.
Struktur vertikal dari pimpinan subak adalah: pekaseh, sedahan dan sedahan agung di tingkat kabupaten. Di tingkat subak, klian subak dibantu oleh aparat sinoman atau juru arah yaitu aparat yang bertugas sebagai juru siar atau media komunikasi.

Peranan subak sangat besar khususnya dalam sistem ekonomi pertanian dalam hal  : pengaturan irigasi, pemeliharaan sarana irigasi dan pemberantasan hama. Subak merupakan wadah kesatuan petani yang amat potensial di Bali.

2. Sekeha:
Beberapa jenis sekeha yang bergerak dalam sistem ekonomi dapat disebutkan antara lain :

a. Sekeha memula : (Perkumpulan tanam padi).
b. Sekeha manyi atau maderep. : (Perkumpulan potong padi).
c. Sekeha sambang : perkumpulan mengamat-amati dan menjaga keamanan serta keselamatan tanaman di sawah.
d. Sekeha semal : perkumpulan mengusir bajing.
e. Sekeha kopi : perkumpulan untuk mempertahankan mutu kopi dan menjaga tanaman kopi.
f. Sekeha jurang : perkumpulan menjaga keutuhan jurang. (23, 21).

Sekeha merupakan suatu perkumpulan atau kesatuan sosial yang mempunyai tujuan-tujuan khusus tertentu. Dasar keanggotaan pada umumnya adalah kesukarelaan. Ikatan sekeha terbina
56

oleh adanya tujuan bersama dan norma-norma yang ditetapkan dan disepakati bersama. Eksistensi suatu sekeha, ada bersifat sementara (di bentuk dalam waktu dan keadaan tertentu dan kemudian bubar), dan ada pula bersifat permanen (keanggotaannya diwariskan melalui beberapa generasi turun temurun).


Seperti telah disinggung di atas, tujuan sekeha itu bermacam-macam dan sering identitas sekeha ditentukan oleh tujuannya. Sekeha memula misalnya (perkumpulan tanam padi) adalah suatu perkumpulan yang bertujuan untuk memperoleh sejumlah dana tertentu melalui kegiatan kerja upahan tanam padi yang dikerjakan oleh para anggota sekeha yang bersangkutan.

Keanggotaan sekeha dapat bersifat sementara atau permanen. Umumnya anggota suatu sekeha adalah mereka yang seprofesi. Asal anggota bisa tidak asal dari wilayah satu banjar tertentu. Jumlah anggota suatu sekeha amat bervariasi, dapat kecil dan dapat pula besar (sekeha memula misalnya, hanya terdiri dari sekitar 5 orang, sedangkan sekeha semal dapat terdiri dari sekitar 100 orang).

Pimpinan suatu sekeha disebut klian sekeha. Aparat pembantunya antara lain adalah aparat yang menangani urusan keuangan sekeha dan aparat juru arah yaitu aparat yang bertugas sebagai media komunikasi.


Peranan sekeha dalam komunitas amat besar, karena banyak kegiatan-kegiatan khusus dalam komunitas yang bersangkutan diitangani melalui lembaga ini. Penanganannya dapat dalam bentuk kerja gotong-royong dan dalam bentuk kerja upahan.

Dalam sistem kemasyarakatan.

Banjar.

Banjar (terutama di Bali dataran) adalah merupakan kesatuan sosial atas dasar ikatan wilayah. Sesuai dengan fokus fungsinya, dibedakan atas : banjar adat dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan agama, serta secara struktural menjadi bagian dan desa adat; banjar dinas dengan fokus fungsinya dalam bidang administrasi, serta secara struktural menjadi bagian dari desa dinas.

Tujuan banjar adalah :

  1. Saling bantu membantu sesama anggota banjar dalam hal: perkawinan, kematian, pembakaran mayat dan kegiatan
yang bersifat suka dan duka lainnya.
  1. Ambil bagian dalam hal perbaikan pura desa, perbaikan jalan desa, pembangunan sekolah dan lain-lain.
  2. Mengadakan aktivitas bersama dalam lapangan ekonomi untuk menambah pendapatan banjar.
  3. Mengadakan aktivitas bersama dalam lapangan keagamaan upacara-upacara desa.

Keanggotaan banjar merupakan suatu keharusan sesudah seseorang itu kawin. Penolakan keanggotaan berarti suatu pengasingan sosial. Tiap-tiap anggota mempunyai hak dan kewajiban atas dasar kesamaan. Keanggotaan banjar dibedakan atas:

  1. Anggota marep, yaitu anggota banjar inti, terdiri dari sepasang suami istri.
  2. Anggota romboan, Yaitu anggota banjar yang salah satu suami atau istri meninggal dunia atau anggota banjar masih kecil dan belum kawin.
Pimpinan banjar disebut: klian banjar. Klian banjar ini dibedakan atas klian banjar adat dan klian banjar dinas. Aparat-aparat lain pada suatu banjar misalnya adalah wakil klian, sinoman (media komunikasi). Klian banjar adat secara struktural terkait dengan bendesa adat dan klian banjar dinas dengan perbekel.
Banjar sebagai sub-komunitas desa adat (banjar adat) dan banjar sebagai sub-komunitas desa dinas (banjar dinas) peranannya dalam komunitas sangat besar. Banjar merupakan wadah pelaksanaan dari bermacam-macam kegiatan komunitas, baik yang beraspek ekonomi, kemasyarakatan, agama dan pemerintahan. Pranata gotong royong pada hakekatnya terwujud dan terbina dalam organisasi banjar. Disamping itu banjar juga sangat berperan dalam menunjang berbagai kegiatan pemerintah sepetti: Keluarga Berencana, pendidikan, kesehatan, transmigrasi, pemuda dan lain-lain.
2. Sekeha:
Jenis-jenis sekaha yang ada hubungannya dengan sistem kemasyarakatan, antara lain adalah:
  1. Sekeha ngerabin (perkumpulan mengatap rumah).
  2. Sekeha gong (perkumpulan gambelan gong).
  3. Sekeha angklung (perkumpulan gambelan angklung).
  4. Sekeha janger (perkumpulan tari janger).
  5. Sekeha barong (perkumpulan tari barong).
  6. Sekeha legong (petkumpulan tari legong).
Deskripsi sekeha tentang: bentuk, tujuan, keanggotaan, pimpinan, dan peranan dalam komunitas, disini tidak akan diuraikan lagi, karena pada hakekatnya sama dengan uraian terdahulu.

Dalam sistem religi.

Banjar

Organisasi banjar yang berkaitan dengan sistem religi dalam suatu komunitas adalah banjar adat. Seperti telah disebutkan di atas, sesuai dengan fungsinya, banjar adat mempunyai titik berat fungsinya adalah dalam bidang agama dan adat istiadat. Banjar adat dalam kaitannya dengan bidang religi, berperan sangat besar, ikut mengkonsepsikan dan melaksanakan berbagai kegiatan keagamaan. Deskripsi detail tentang bentuk, tujuan, keanggotaan, pimpinan dan peranannya tidak akan dibahas lagi karena sudah dikemukakan pada uraian terdahulu.

2. Sekeha.

Jenis-jenis sekeha yang ada kaitannya dengan sistem religi, antara lain adalah :

  1. Sekeha pemangku (perkumpulan pemangku dari berbagai pura).
  2. Sekeha patus (perkumpulan yang berhubungan dengan kematian dan pembakaran mayat)
  3. Sekeha dadia (kelompok kerabat dengan salah satu fungsinya adalah mengaktifkan upacara di pura dadia yang bersangkutan)
  4. Sekaha truna dan sekeha daha (perkumpulan pemuda dan pemudi yang belum kawin dan belum menjadi angota desa inti).

Deskripsi detail tentang bentuk, tujuan, keanggotaan, pimpinan dan peranannya, tidak lagi diuraikan disini, karena pada hakekatnya tak jauh berbeda uraian terdahulu.