IX. Samsulbahri Pulang ke Padang

sunting

Lebih dari setahun lamanya kita tinggalkan gunung Padang, sejak Samsulbahri berjalan-jalan ke sana dengan Nurbaya dan teman-temannya. Sekarang marilah kita kembali pula ke sana, karena pada hari ini sangatlah ramai di gunung itu, penuh sesak dengan beratus-ratus orang laki-laki perempuan, kecil besar, tua muda. Dekat-dekat pekuburan; di bawah-bawah polion kayu, di tempat yang teduh-teduh, duduklah mereka berkumpul-kumpul. Ada yang sedang asyik membaca salawat, untuk sekalian ahli kubur, ada yang sedang asyik membersihkan kubur orang tuanya, ada yang sedang meratap menangis di atas kubur anaknya, yang baharu meninggal dunia dan ada pula yang sedang menyiramkan air cendana dan menaruh bunga rampai, di atas kubur saudaranya, yang amat dicintainya. Akan tetapi ada pula yang hanya duduk bercakap-cakap saja dan banyak pula yang datang sekedar hendak melihat-lihat atau beramai-ramai saja. Di jalan ke gunung itu dan di kakinya, penuh dengan orang, sebagai di pasar rupanya. Ada yang datang, ada yang pergi dan ada pula yang berhenti melepaskan lelah.

Di batang Arau kelihatan berpuluh-puluh sampan, yang menyeberangkan mereka pulang balik, sedang di pinggir jalan raya kelihatan pula berpuluh-puluh bendi berjejer, menunggu muatan. Fakir dan miskin serta alim ulama, demikian pula hajihaji banyak yang datang, untuk mendoa. Ada yang kedengaran sedang ratib dan ada pula yang sedang membaca fatihah.

Apakah sebabnya maka ramai sungguh waktu itu di gunung Padang? O, karena hari itulah penghabisan bulan Sya'ban; esoknya akan mulai puasa bulan Ramadan. Sebelum masuk ke dalam bulan yang baik ini, pergilah seisi kota Padang mengunjungi pekuburan sekalian kaum keluarganya, yang telah berpulang ke rahmatullah, untuk mendoakan arwahnya dan memohonkan selamat, supaya yang telah meninggal dan yang masih hidup pun, semuanya dipelihara Tuhan dalam segala hal.

Oleh sebab tinggal sehari itulah kaum Muslimin boleh makan siang hari, dipuas-puaskan merekalah nafsunya dengan segala makan-makanan yang lezat cita rasanya. Itulah sebabnya maka dinamakan orang Padang hari itu "hari makan-makan".

Pada petangnya, kelihatan bulan sebagai secarik kertas, memancarkan cahayanya di sebelah barat tiada berapa tingginya dari muka airlaut. Oleh sebab itu berbunyilah tabuh pada sekalian langgar dan mesjid akan memberitahukan kepada segala urnat Islam, bahwa keesokan harinya, puasa akan dimulai. Setelah tiga hari puasa dijalankan, pada keempat harinya, masuklah sebuah kapal, yang datang dari Jakarta ke pelabuhan Teluk Bayur, membawa beberapa muridmurid sekolah Jakarta, yang asalnya dari Sumatra Barat.

Mereka hendak pulang ke rumahnya mengujungi orang tua dan handai tolannya, karena dalam bulan puasa sekalian sekolah Bumiputra ditutup.

Di antara murid-murid itu, adalah juga Samsulbahri dengan sahabatnya Arifin dan Bakhtiar. Tatkala merapatlah sudah kapal ke pangkalan, naiklah ketiga mereka ke darat, lalu pulang tergesa-gesa ke rumah orang tuanya masing-masing, karena sangat rindu hendak bertemu dengan ibu-bapaknya.

Hanya Samsulbahrilah yang sebagai tiada mengindah, karena kekasihnya yang ditinggalkannya dahulu tak ada lagi. Yang akan menyambutnya hanya ibu bapaknya saja. Istimewa pula, karena pulangnya itu niscaya akan membangunkan kembali segala ingatan kepada waktu yang telah silam.

Setelah sampailah Samsu ke rumah orang tuanya, lalu berjabat tanganlah ia dengan ayahnya dan ibunya dipeluknya.

Kemudian masuklah ia ke dalam biliknya, akan menukar pakaiannya. Sebab itu keluarlah pula, bercakap-cakap dengan orang tuanya, menceritakan halnya, pelajarannya di Jakarta dan pelayarannya dengan kapal pulang balik. Tetapi sungguhpun ia berkata-kata itu hati dan pikirannya tiada di sana, melayang entah ke mana. Halnya ini diketahui oleh ibunya dan Sitti Maryam turut berdukacita, mengenangkan nasib anaknya, yang sebiji mata ini. Sungguhpun demikian, tiadalah dibayangkan Samsu, pada mukanya, perasaan hatinya.

"Kasihan," kata Samsu dengan suara yang pilu, karena sesungguhnya hatinya terlalu sedih, tatkala melihat rumah orang tuanya dan rumah Nurbaya dengan sekalian yang menimbulkan ingatan kepada waktu yang telah lalu, sehingga hampirlah menyesal ia pulang ke Padang, "hamba melihat seorang hukuman membuangkan dirinya ke laut sebagai seorang yang telah putus asa."

"Di mana?" tanya ibunya dengan terperanjat, mendengar kabar yang dahsyat itu, takut kalau-kalau anaknya berbuat demikian pula.

"Di laut Tanjung Cina, malam kemarin dahulu. Tatkala gelombang amat besar, melompatlah ia dari geladak kapal ke laut, lalu hilang tiada timbul lagi."

"Ya Allah, ya rabbi, kasihan!" sahut ibunya dengan ngeri.

"Rupanya karena putus asa, lebih suka ia mati di dalam laut daripada menanggung kesengsaraan, kehinaan dan malu.

Patutlah acap kali hamba lihat ia termenung dan terkadangkadang menangis di gisi kapal; makan pun kerap kali tiada suka."

"Barangkali ia hendak lari," kata Sutan Mahmud.

"Pada pikiran hamba bukan demikian," sahut Samsu, "karena kapal waktu itu jauh di tengah lautan; daratan tak kelihatan.

Masakan dapat ia mencapai pantai. Lagi pula tangannya dibelenggu; bagaimanakah ia dapat berenang?"

"Sedih amat! Bagaimanakah rasa hati anak-bininya, ibubapa dan sanak saudaranya, bila mendengar kabar itu?" kata Sitti Maryam pula.

"Barangkali ia sebatang kara atau besar kesalahannya," sahut Sutan Mahmud.

"Kesalahan manusia itu, hanya Allah yang mengetahui," jawab istrinya.

"Kabarnya ia dipersalahkan membunuh orang, sebab itu dihukum buang dalam rantai lima belas tahun lamanya ke Sawah Lunto," kata Samsu pula.

"Nah, dengarlah itu! Kalau tak bersalah, masakan dihukum seberat itu," jawab Sutan Mahmud.

"Biarpun telah dihukum, belum tentu lagi bersalah, karena hukuman itu, walau rupanya adil sekalipun, masih hukuman dunia dan hakimnya manusia, yang gawat dan lemah, sebagai kita sekalian juga," jawab Sitti Maryam.

"Baik; tetapi hakim itu bukannya orang bodoh, melainkan orang yang ahli dalam undang-undang, orang yang telah terpelajar dan bersekolah tinggi. Lagi pula bukan seorang hakim yang menghukum itu, melainkan bersama-sama; bagaimana boleh salah juga?" kata Sutan Mahmud pula.

"Walau demikian sekalipun, belum dapat juga lagi kita pastikan, orang itu bersalah; karena yang batin itu tak dapat diketahui manusia," jawab Sitti Maryam.

Samsulbahri tiada hendak mencampuri pertengkaran ayah dengan ibunya ini, istimewa pula karena pikirannya tak ada di sana.

"Bagaimana pula engkau ini?" kata Sutan Mahmud, "masakan hakim menghukum orang dengan tiada semenamena? Tentulah telah cukup keterangannya dengan saksisaksinya sekalian, baru dihukum."

"Saksi itulah yang acap kali menyesatkan hakim untuk mendapat kebenaran. Kakanda jangan gusar, karena perkataan adinda ini. Cobalah dengar misal yang akan adinda ceritakan ini! Seorang yang kaya atau berpangkat tinggi, hendak membinasakan seorang miskin. Dengan uang atau pangkatnya itu, mudah baginya mengadakan beberapa saksi palsu. Bila hakim hanya mendengar saksi saja, tentulah si miskin, yang tiada bersalah itu, akan dihukum.

Misal yang kedua. Di tempat yang sunyi, dibunuh oleh seorang penjahat seorang yang melintas ke qana, karena hendak merampas harta bendanya. Seorang yang baik dan lurus hati, yang tiada bersalah suatu apa sampai pula ke sana.

Tatkala dilihatnya orang terhantar di jalan raya, tentulah akan diperiksanya, kalau-kalau masih dapat ditolong. Karena memeriksa itu pakaiannya kena darah. Ketika itu datang empat orang yang lain ke sana, lalu tampak olehnya si lurus hati itu ada dekat mayat, dengan pakaiannya berlumur darah.

Tidakkah ia akan didakwa berbuat kejahatan itu? Sekalian saksi tentu dapat mengaku di hadapan hakim mereka telah melihat dengan matanya sendiri bahwa si lurus hatilah yang ada dekat mayat, dengan berlumuran darah pakaiannya.

Saksi-saksi ini berkata benar, tiada berdusta. Tidaklah dapat dikatakan cukup keterangan? Yaitu empat lima saksi-saksi yang berkata benar dan pakaian yang berlumuran darah? Oleh sebab itu hakim menghukum si lurus hati ini. Akan tetapi benarkah ia bersalah dalam pembunuhan itu?"

Oleh karena mendengar kebenaran perkataan istrinya ini, bangunlah Sutan Mahmud dari kursinya, lalu pergi duduk di serambi muka, karena kalah bersoal jawab dengan istrinya, tetapi malu mengaku kebodohannya.

Setelah keluar Sutan Mahmud, barulah kelihatan oleh Sitti Maryam, anaknya, Samsulbahri, sedang termenung melihat ke rumah Nurbaya, lalu ditegurnya dengan pertanyaan, "Samsu, apakah yang kaumenungkan?" walaupun telah diketahuinya, apa yang dipikirkan anaknya pada waktu itu.

"Ah, tidak apa-apa, Bu," sahut Samsu, "ingatan hamba belum lepas dari kejadian yang telah hamba ceritakan tadi.

Rupanya pengharapan yang putus itu, boleh memberi bahaya, yang amat sangat kepada manusia."

Mendengar jawaban anaknya ini, berdebarlah Sitti Maryam, takut kalau-kalau Samsu telah putus asa pengharapan pula.

Oleh sebab itu, bertanyalah ia kepada Samsu, akan menduga hati anaknya ini, "Sudahkah engkau tahu, bahwa Nurbaya telah kawin dengan Datuk Meringgih? Ada aku suruh ayahmu mengabarkan hal itu kepadamu, tetapi entah dikabarkannya entah tidak, tiadalah kuketahui."

Yang sebenarnya dilarang oleh Sitti Maryam, suaminya menulis surat kepada Samsu, tentang hal ini, sebab ia takut anaknya ini akan putus asa.

"Sudah," jawab Samsu dengan pendek, karena tak dapat rupanya ia mendengar lagi kabar itu.

"Barangkali engkau kurang suka melihat perkawinan ini, sebab sesungguhnya tak layak saudaramu itu duduk dengan Datuk Meringgih. Tetapi apa hendak dikata? Sekalian itu takdir daripada Tuhan semata-mata, tak dapat dibatalkan lagi.

Pergilah engkau ke rumahnya! Ayahandanya telah beberapa hari sakit. Di sana akan kaudengar, bahwa itulah jalan yang sebaik-baiknya untuk melepaskan mereka daripada kecelakaannya," kata Sitti Maryam, membujuk anaknya.

"Sakit apakah Mamanda Baginda Sulaiman?" tanya Samsu.

"Sakit demam dan sakit kepala," jawab Sitti Maryam.

"Baiklah, segera hamba pergi ke sana," kata Samsu, lalu masuk ke biliknya akan menukar pakaiannya. Tatkala itu datanglah sais Ali membawa sekalian buah-buahan yang dibawa Samsu dari Jakarta.

"Sediakanlah sepiring untuk Engkumu di muka dan sepiring lagi untuk Engku Baginda Sulaiman! Barangkali ada nafsunya memakan buah-buahan. Telah beberapa hari ia tidak makan," kata Sitti Maryam.

"Baiklah," jawab sais Ali.

Tiada berapa lama kemudian daripada itu, keluarlah Samsu dari rumah orang tuanya, diiringkan oleh Kusir Ali, pergi ke rumah Baginda Sulaiman.

Setelah masuklah mereka ke pekarangan rumah ini, berdebarlah hati Samsu memandang bangku tempat ia duduk bersama-sama Nurbaya pada malam ia akan berangkat ke Jakarta, setahun yang telah lalu. Teringat kembali olehnya sekalian kelakuan dan perkataan serta janjinya kepada Nurbaya, pada malam itu dan apabila tak malu ia kepada sais Ali, tentu keluarlah air matanya, karena sedih.

"Adakah Nurbaya dalam rumah ini atau tiadakah?"

Demikianlah pikiran Samsu dalam hatinya. Kalau ada bagaimana ia bertemu dengan kekasihnya yang telah meninggalkannya ini? Setelah masuklah ia ke dalam rumah Nurbaya, tiadalah kelihatan olehnya seorang juga, lalu ia berjalan perlahanlahan, masuk ke bilik Baginda Sulaiman. Di sana tampaklah olehnya saudagar ini sedang berbaring di atas tempat tidurnya, berselimutkan kain panas. Sangat terperanjat Samsu serta sedih hatinya melihat perubahan ayah Nurbaya ini.

Apabila di tempat yang lain ia bertemu dengan Baginda Sulaiman, tentulah tiada percaya ia yang berbaring itu memang mamanda angkatnya.

Rambutnya mulai putih, mukanya pucat, badannya kurus, mata dan pipinya serta napasnya sekali-sekali, karena sangat letih rupanya.

"Engkau Nurbaya? Hampirlah kemari!"

"Hamba bukan Nurbaya," sahut Samsu dengan gemetar bibirnya, karena menahan sedih hatinya. "Hamba Samsulbahri, baru datang dari Jakarta. Tatkala hamba dengar Mamanda sakit, segeralah hamba kemari."

Setelah mendengar perkataan ini, menoleh si sakit kepada Samsu dengan membesarkan matanya, sebagai hendak menerangkan penglihatannya. "Samsulbahri?" tanyanya dengan lemah suaranya.

"Hamba, Mamanda," jawab Samsu.

"Marilah dekat kemari, Samsu!" kata Baginda Sulaiman pula.

Samsu hampirlah dengan membawa buah tangannya dari Jakarta sambil berkata, "Inilah hamba bawa buah-buahan sedikit; kalau-kalau Mamanda dapat memakannya."

"Buah apa itu?" tanya si sakit, "sesungguhnya aku telah beberapa hari tak enak makan."

"Ada buah sauh Manila, ada buah mangga, buah salak dan nenas. Buah anggur dan apel pun ada pula hamba beli di kedai. Barangkali dapat menimbulkan nafsu Mamanda," sahut Samsu.

"Cobalah beri aku buah sauh itu sebuah; pilih yang lembut!" kata Baginda Sulaiman.

Dipilihnya oleh Samsu sebuah sauh Manila yang masak benar, dibersihkannya dan diberikannya kepada mamandanya itu, lalu dimakanlah oleh Baginda Sulaiman perlahan-lahan.

Rupanya nafsu makannya datang sedikit, entah sebab segar buah itu, entah sebab Samsu, yang membawanya, wallahualam; karena buah itu dimakannya beberapa butir.

Sementara Baginda Sulaiman makan itu, Samsu tiada putusputusnya memandang mukanya dan sangatlah besar hatinya tatkala dilihatnya buah tangannya itu dapat menimbulkan nafsu si sakit, yang telah beberapa hari tiada makan. ` "Sungguh nyaman buah yang telah engkau bawa ini, Sam; segar badanku rasanya memakannya," kata si sakit. "Aku banyak minta terima kasih kepadamu, Samsu, apalagi karena rupanya hatimu tiada berubah kepadaku, di dalam aku ditimpa kesengsaraan ini. Tadi aku sangka engkau Nurbaya, karena ialah yang kusuruh datang. Akan tetapi bertambah-tambah besar hatiku, tatkala kuketahui, engkau pun telah ada di sini.

Rupanya petmintaanku dikabulkan Tuhan; karena pertemuan ini telah beberapa lama aku pohonkan. Sangat ingin hatiku hendak berjumpa dengan engkau, sebab adalah sesuatu yang hendak kuminta kepadamu."

"Permintaan apakah itu Mamanda, katakanlah! Jika ada pada hamba, tentulah hamba berikan," jawab Samsu.

"Pada sangkaku tiadalah berapa lama lagi aku hidup di atas dunia ini. Sekalian gerak dan tanda-tanda telah datang kepadaku, memberi tahu, bahwa aku segera akan berpulang ke rahmatullah."

"Mamanda, janganlah berpikir sedemikian! Ingatlah Nurbaya!" kata Samsu dengan berlinang-linang air matanya.

"Itulah yang menjadi alangan padaku; itulah yang menggoda pikiranku. Bila aku tak ada dalam dunia ini, menjadilah Nurbaya seorang anak yatim piatu, yang tidak beribu-bapa dan sunyi pula daripada segala sanak saudara kaum keluarga. Bagaimanakah halnya kelak, sepeninggalku; sebatangkara di atas dunia ini? Siapakah yang akin menolongnya dalam segala kesusahannya, dan siapakah yang akan menunjuk mengajarnya dalam kesalahannya? Karena maklumlah engkau, umurnya baru setahun jagung belum tahu hidup sendiri, belum tahu kejahatan dunia dan belum merasai azab sengsara yang sebenar-benarnya.

Ketahuilah olehmu, Samsu, walaupun di dalam dunia ini dapat kita memperoleh kesenangan, kesukaan, kekayaan, dan kemuliaan, akan tetapi dunia ini adalah mengandung pula segala kesusahan, kesengsaraan, kemiskinan, dan kehinaan yang bermacam-macam rupa dan bangunnya, tersembunyi pada segala tempat mengintip kurbannya setiap waktu, siap akan menerkam, barang yang dekat kepadanya.

Lain daripada itu, dunia ini penuh pula dengan ranjau godaan, kelaliman, tipu daya, hasud khasumat, sombong angkuh dan dengki khianat. Apabila tiada berhati-hati dan tak dapat menghindarkan diri daripada sekalian kejahatan itu, niscaya terperosoklah kita ke dalamnya dan binasalah badan.

Pada sebilang waktu, dalam segala tempat, dapat kita bertemu dengan bahaya ini. Di daratan, di lautan, di udara, di dalam tanah, di dalam rumah, di tengah jalan, di dalam hutan, di tengah padang, tidaklah luput kita daripada mara bahaya itu. Sementara duduk, sementara berjalan, tidur, minum dan makan, berkata-kata, melihat, mendengar, mencium dan lainlain sebagainya, dapat bertemu dengan dia. Sesungguhnya, Samsu, tak mudah hidup di dunia ini. Itulah jembatan siratalmustakim yang halusnya lebih daripada rambut dibelah tujuh.

Tak mudah minitinya. Kebanyakan orang jatuh, masuk ke dalam api neraka yang menyala di bawahnya. Hanya mereka yang berhati-hati dalam segala pekerjaannya dengan mempergunakan pikiran yang sempurna, mereka yang berhati suci dan lurus, serta sabar dan tawakal, itulah yang acap kali selamat sampai ke seberang. Demikianlah susahnya, jika hendak hidup dengan baik di atas dunia ini, apalagi bagi orang sebatangkara. Telah kurasa sendiri, Samsu, tatkala aku masih kecil. Itulah sebabnya pada kebanyakan orang, dunia neraka jahanam, perhubungan seribu-ribu tali kesukaan dan kesaktian, yang tidak berkeputusan: patah tumbuh, hilang berganti, dari awal sampai akhir. Yang agak mujur sedikit pun, bertukar-tukar pula untungnya, sekali ke bawah sekali ke atas; berputar sebagai roda yang berpusing. Hanya beberapa orang, saja yang mendapat surganya di atas dunia ini.

Berilah aku beberapa buah anggur lagi! Karena lemah rasanya badanku, berkata-kata ini."

Dengan segera Samsu memberikan buah anggur kepada ayah Nurbaya. Setelah buah itu dimakannya beberapa butir, disambungnya perkataannya tadi. "Oleh sebab kuketahui dan kurasai sendiri sekaliannya itu, bertambah-tambah khawatirlah hatiku meninggalkan Nurbaya. Sedangkan bagi laki-laki, telah sekian susahnya, istimewa pula bagi perempuan yang bersifat: lemah dan yang dipandang oleh bangsa kita rendah derajatnya daripada derajat laki-laki; sedang bagi kebanyakan kaum Muslimin hampir tiada berharga, hampir sama dengan sahaya. Bagaimanakah untungnya kelak? Bingung hatiku memikirkan hal itu. Akan tetapi, apa yang hendak kukatakan, karena ajal, untung, dan pertemuan itu tak dapat ditentukan.

Oleh sebab di atas dunia ini tak ada yang lain, melainkan engkaulah anakku yang kedua, engkaulah saudara Nurbaya, kupintalah kepadamu, dengan sebesar-besar pinta, supaya sudilah kiranya engkau menolong dan membantu saudaramu yang piatu ini kelak, di dalam segala halnya. Janganlah kausiasiakan dan kaubuang-buang ia dan sudilah engkau menjadi ibubapanya! Janganlah engkau menaruh dendam dan sakit hati sebab ia telah menjadi istri Datuk Meringgih! Engkau maklum, Samsu, perkawinannya itu tiada dengan sesuka hatinya dan tidak dengan sesuka hatiku, melainkan sematamata karena takdir daripada Tuhan Yang Masa Esa juga, tak dapat diubah lagi. Walaupun aku dan ia lebih suka mati daripada berbuat sedemikian, akan tetapi apalah kuasa kami, akan membantah kehendak Tuhan ini! Bukan kesalahan Nurbaya, bukan kesalahanku dan bukan kesalahan siapa pun maka terjadi hal ini, melainkan semata-mata telah nasib Nurbaya yang sedemikian itu."

Ketika itu berhentilah Baginda Sulaiman sejurus berkatakata sebagai hendak menantikan jawaban dari Samsu, tetapi karena Samsu berdiam diri, lalu diulangnya pertanyaannya, "Sudikah engkau mengabulkan permintaanku itu?"

"Masakan hamba tak sudi," jawab Samsu. "Perkara itu janganlah Mamanda khawatirkan; walau bagaimana sekalipun, Nurbaya tinggal adik hamba, dunia dan akhirat; tak boleli hamba buang atau hamba hilangkan dari dalam hati hamba.

Berjanjilah hamba dengan bersaksikan Tuhan dan rasul-Nya, selagi hamba hidup, tiadalah akan hamba sia-siakan Nurbaya."

Maka dipeganglah tangan Samsu oleh Baginda Sulaiman dengan kedua belah tangannya, lalu diletakkannya di atas dadanya dan dipejamkannya matanya sejurus, sambil berkata dengan lapang bunyi suaranya, "Terima kasih!"

Tatkala itu tiba-tiba masuklah Nurbaya ke dalam bilik itu.

Sesungguhnya Nurbaya telah lama datang, karena dipanggil oleh ayahnya. Akan tetapi ketika didengarnya suara Samsulbahri dalam bilik ayahnya, tiadalah tahu apa yang hendak dibuatnya. Walaupun hatinya sangat ingin hendak masuk melihat ayahnya, tetapi malu dan takut rasanya ia akan bertemu dengan Samsulbahri. Dalam hal yang demikian bingunglah ia, lalu berdiri seketika, di luar bilik ayahnya, dengan hati yang berdebar-debar.

Setelah didengarnya janji Samsu kepada ayahnya, barulah hilang bingungnya, bertukar dengan sukacita yang sangat, karena sekarang diketahuinyalah bahwa hati kekasih dan saudaranya ini; tiada berubah kepadanya. Itulah sebabnya, maka berani.ia masuk, menemui ayahnya dan Samsu.

Ketika Samsu memandang muka Nurbaya, dengan sekonyong-konyong terbukalah mulutnya, tiada berkata-kata.

Hatinya suka bercampur duka. Suka karena bertemu dengan kekasihnya ini, duka. karena mengenangkan pengharapannya yang telah putus.... Dilihatnya rupa Nurbaya sungguh sangat berubah dari dahulu, tatkala ditinggalkannya. Badannya yang tinggi lampai dan lemah gcmulai itu menjadi kurus, mukanya yang putih kuning sertaa kemerah-merahan, bila kepanasan, menjadi pucat; matanya yang jernih itu menjadi pudar, dikelilingi oleh suatu lingkaran hitam yang dalam; pipinya seakan-akan cekung, rambutnya kusut, sebagaia tiada diindahkannya benar-benar. Sekaliannya rnenyatakan kedukaan dan kesakitan hati yang tiada terhingga. Sangatlah sedih hati Samsu melihat hal kekasihnya sedemikian itu; sehingga tiada dapat ia berkata-kata, untuk pengeluarkan perasaan hatinya.

Tatkala terpandang oleh Nurbaya Samsu, pura-pura terperanjatlah ia, lalu, berkata dengann riang rupanya, "Engkau ada di sini, Sam! Apa kabar? Bila datang?." lalu didekatinya kekasihnya dan dijabatnya tangannya.

"Tadi, dengan kapal yang baru masuk," sahut Samsu, sambil menjabat tangan Nurbaya. "Tatkala aku sampai ke rumah, aku dengar mamanda sakit; itulah sebabnya segera aku datang kemari. Apa kabar dirimu sendiri?"

"Sebagai engkau lihat," jawab Nurbaya. "Sekaliannya bukan menyatakan kesenangan. Akan tetapi nantilah kuceritakan lebih panjang tentang hal ini."

Kemudian didekati Nurbaya ayahnya, lalu berkata, "Ayah, apa kabar? Bagaimana perasaan Ayah sekarang? Dan apakah aral, maka di suruh datang ananda ini?"

"Hampir padaku dan duduklah engkau di sini! Ada suatu yang penting, yang hendak kuceritakan kepadamu."

Setelah hampirlah Nurbaya kepada ayahnya, berkata Baginda Sulaiman.

"Anakku Nurbaya! Ketahuilah olehmu, aku ini sesungguhnya telah lama sakit, tetapi tiada kuperlihatkan kepadamu, melainkan kutahan seboleh-bolehnya, supaya kesakitanku ini jangan pula sampai menambahkan kedukaan hatimu. Aku ini telah tua, perjalananku dalam dunia ini tiada mendaki lagi, melainkan menurunlah, ke tempatku yang kekal, tempat aku akan beristirahat selama-lamanya. Dari yang tak ada aku akan diadakan, dari kecil menjadi besar, setelah besar menjadi tua dan bila telah tua, berbaliklah aku kembali kepada asalku.

Demikianlah perjalanan segala yang bernyawa di atas dunia ini; tak ada simpang yang lain dan tak dipat pula diubah.

Segala yang hidup akan matilah juga pada akhirnya, dan segala yang ada akan bertukar-tukar juga romannya.

Walaupun hal itu biasanya tiada diingat orang atau tiada sempat dipikirkan, karena dirintang kesukaan atau kedukaan dan karena pikiran yang sedemikian pada kebanyakan orang mendatangkan ngeri dan takut, sebab kematian adalah sesuatu yang gaib, akan tetapi sekaliannya itu tiadalah akan mengubah perjalanan alarn ini. Sesungguhpun ingatan kepada mati mendatangkan dahsyat di dalam hati, tetapi janganlah dihilangkan benar-benar pikiran ini, melainkan harulah diinsyafkan juga, bahwa maut itu, pada suatu ketika akan datang juga, supaya janganlah kita bersangka, akan hidup selama-lamanya dan dapat kekal bercampur gaul dengan sekalian yang ada ini. Dengan demikian, bila datang waktunya kelak, kita akan menlnggalkan dunia ini pula, bercerai daripada segala yang dikasihi dan disayangi, tiadalah kita akan sangat terkejut dan hilang akal; karena inilah yang acap kali menyesatkan perjalanan yang pergi dan merusakkan badan dan pikiran yang tinggal; sebab menyesal dan merindu, serta bersedih bersusah hati dengan amat sangat.

Aku maklum, bercerai dengan segala yang telah mengikat hati, tak mudah; istimewa pula bila perceraian itu perpisahan yang akhir, bercerai tiada akan bertemu lagi, pada sangka setengah orang. Tetapi janganlah lupa, bahwa sekaliannya itu memanglah seharusnya demikian. Walaupun suka atau tak suka, riang ataupun duka, takut atau berani, menyerah atau membantah, bila ajal itu telah datang, tak akan dapat dihindarkan lagi, melainkan harus diterima dengan menyerah, tulus dan ikhlas. Apakah kekuasaan kita, insan yang hina dan daif ini? Tak ada. Sungguhpun ada di antara orang yang sombong dan angkuh, yang membesarkan dirinya atas kepandaian, kekayaan, bangsa atau pangkatnya yang tinggi, akan tetapi berapakah kekuasaan mereka, jika dibandingkan dengan kekuasaan alam ini? Adalah sebagai setitik air dengan lautan sedunia ini; barangkali tak sampai pula sedemikian.

Tentang kepandaian, aku akui, banyak yang telah diketahui orang, agaknya berjuta-juta kali lipat ganda daripada itu.

Barangkali engkau tiada percaya akan perkataanku ini, oleh sebab itu marilah tanyakan kepadamu suatu hal yang mudah saja: manakah yang terlebih dahulu ada, ayamkah atau telurkah? Tanyakanlah kepada orang pandai-pandai, siapakah dapat memberi keterangan itu? Tentang kekayaan yang besar dan pangkat yang tinggi itu, janganlah aku ceritakan lagi; banyak contoh yang telah kaulihat dan kaudengar sendiri. Walau sebagaimana pun kekayaan dan tinggi pangkat, manusia itu, jika dengan kehendak Tuhan, dalam sekejap mata hilanglah ia. Bangsa yang tinggi, tak boleh menjadi alasan kesombongan, karena ketinggian itu sebab ditinggikan dan kerendahan itu sebab direndahkan orang. Jika tak ada yang meninggikan dan mcrendahkan, tentulah sama rata sekaliannya. Dan siapakah yang meninggi dan merendahkan itu? Hanya manusia jua.

Bukankah sekalian manusia itu asalnya dari nabi Adam dan Sitti Hawa? Bagaimana boleh bertinggi berendah dan berlainlain, apabila asalnya sama? Bukannya hendak kusamakan saja sekalian rnanusia itu, tidak. Ada juga perbedaannya; tetapi bukan kebangsawanannya, melainkan derajatnyalah yang tiada sama. Sungguhpun demikian derajat itu pun karunia Tuhan jua. Apa gunanya menyombongkan dengan pemberian orang? Kelebihan yang diperoleh sendiri pun, sebagai ilmu kepandaian, tak boleh juga disombongkan, sebab sekalian orang dapat memperoleh ilmu dan kcpandaian, asal ada untung nasibnya akan beroleh anugerah itu.

Ya, Nur! Jika aku tiada letih, tentulah akan kuuraikan sekaliannya, karena banyak lagi yang harus kauketahui. Akan tetapi, supaya jangan terlalu panjang ceritaku ini, baiklah aku kembali kepada maksudku tadi."

Setelah berhenti beberapa lamanya, berkata pula Baginda Sulaiman perlahan-lahan. "Oleh sebab itu, bukankah lebih baik dalam hal yang telah kuceritakan tadi, jangan terlalu berawan hati melainkan diperbanyak juga sabar dan tawakal kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan menyerah dan berdoa, supaya yang berjalan dan yang tinggal pun dipelihara juga. Aku ceritakan hal itu kepadamu, karena penyakitku ini rupanya kian hari kian bertambah. Siapa tahu, kalau-kalau besok lusa harus meninggalkan engkau."

Mendengar perkataan ini, menjeritlah Nurbaya, menangis tersedu-sedu, memeluk dan mencium ayahnya, sambil berkata, "Ayah, janganlah pergi, tinggallah bersama-sama ananda! Bila Ayahanda akan pergi juga, bawalah ananda sekali; jangan ditinggalkan seorang diri di atas dunia ini! Siapakah kelak yang akan sudi menolong ananda, sebagai Ayahanda? Ke manakah tempat bertanya dan siapakah tempat meminta? Jika sakit, siapakah yang mengobat dan menjaga? Jika susah, siapakah yang akan melipur hati ananda ini? Aduh, menjadilah yatim piatu, sebatang kara, ananda di atas dunia ini! Tiada beribu, tiada berbapa, dan tiada bersaudara pula. Ya Allah, bagaimanakah hal hamba Mu kelak, bila Ayah hamba tak ada lagi?"

Demikian bunyi tangis Nurbaya di dada ayahnya.

"Jangan menangis, Nur!" kata Baginda Sulaiman membujuk anaknya. "Sekalian itu belum tentu. Harapan dan ucapanku siang dan malam, lamalah juga hendaknya kita dapat bercampur gaul.

Kukatakan hal itu kepadamu; supaya engkau ingat dan jangan terlalu terperanjat, bila datang waktunya; karena walau bagaimana sekalipun, waktu itu niscaya akan datang juga; tidak sekarang, tentulah nanti. Akan hidup selamalainanya, tentu tak dapat. Nyawa itu dalam tangan Allah; jika dikehendakinya, bila saja, niscaya melayanglah ia dalam sekejap mata. Selagi aku dapat betkata-kata, wajib bagiku, untuk memberi ingat engkau, supaya jangan menjadi sesalan bagiku kelak.

Memang sedih hatiku mengenangkan halku. sekarang ini.

Bila aku berpulang dewasa ini, tak adalah apa-apa yang dapat kutinggalkan padamu, lain daripada cinta dan doaku; karena sekalian hartaku tak ada lagi. Tetapi janganlah engkau khawatir dan putus asa! Serahkanlah untungmu kepada Rabbul-alamin! Dialah yang akan memelihara engkau. Dialah yang akan menolong dan mengasihani engkau, lebih daripada aku. Jangankan manusia, sedangkan ulat dalam lubang batu sekalipun, dipeliharakan dan diberinya rezeki. Oleh sebab itu, janganlah hilang akal, melainkan pintalah siang dan malam kepada Yang Maha Kuasa, supaya engkau dipeliharakan-Nya juga, di dalam segala halmu. Kemudian janganlah pula lupa akan Samsu ini! Walaupun ia bukan saudaramu sejati, tetapi ia lebih daripada saudara kandungmu. Lagi pula ia telah berjanji kepadaku akan setia kepadamu; di dunia dan akhirat."

"Sungguhkah demikian, Sam?" tanya Nurbaya dengan segera, seraya memegang kedua belah tangan anak muda ini sambil menentang mukanya. "Tak dapat kukatakan, betapa besarnya hatiku mendengar perkataan ayahku tadi.

Sungguhkah tiada berubah hatimu kepadaku?"

"Sungguh, Nur," jawab Samsu. "Apa sebabnya hatiku akan berubah kepadamu? Atas halmu pada waktu ini, tak boleh aku berkecil hati, karena sekaliannya itu bukan kesalahanmu, melainkan gerak daripada Tuhan juga. Seharusnya, karena engkau telah ditimpa bahaya sedemikian itu, bertambahtambah kasih sayangku kepadamu, karena pertolongan dan belaku atas dirimu pada waktu engkau dalam kesusahan ini, gkan amat berharga. Janganlah engkau syak wasangka kepadaku! Walau bagaimana sekalipun, engkau tinggal adikku, tak dapat dan tak boleh kubuang-buang. Tali yang telah memperhubungkan aku dengan engkau, telah tersimpul mati, tak dapat diungkai lagi. Dagingmu telah menjadi dagingku, darahmu telah menjadi darahku; siapa dapat menceraikan kita?"

"Aku banyak meminta terima kasih kepadamu, Samsu! Hanya Allah yang mengetahui betapa sanangnya hatiku, mendengar perkataanmu dan Dialah juga yang dapat membalas kebaikanmu itu."

Tatkala ia berkata-kita sedemikian itu, tak dapatlah ditahan oleh Nurbaya air matanya, yang telah berlinang-linang, jatuh berderai ke tikar, sebagai manik putus talinya.

"Apabila aku tak ada lagi," kata Baginda Sulaiman pula, "lebih berhati-hatilah engkau menjaga diri, pandai-pandai memeliharakan badan; berkata di bawah-bawah[1], mandi di hilir-hilir, sebagai kata peribahasa. Karena sesungguhnya, bahasa itulah yang menunjukkan bangsa, istimewa pula, karena sekalian manusia yang baik, lebih suka kepada budi bahasa yang manis, perkataan yang lemah-lembut daripada tingkah laku yang kasar, perkataan yang tiada senonoh.

Dengan kelakuan yang baik, lebih banyak kita akan beroleh maksud kita dan lebih banyak pula kita mendapat pertolongan, daripada dengan paksaari dan kekerasan. Jika hendak mulia, hinakan diri. Sebab kemuliaan dan kehinaan itu bukan datang dari kita sendiri, melainkan dari orang lain.

Apakah salahnya merendahkan diri? Tak hilang pangkat dan bangsa; karena hati dan perkataan yang rendah. Tak mati ular menyusup akar, kata pepatah kita. Perkataan yang rendah, budi bahasa yang manis, tidak menjadi salah, bahkan acap kali membawa kita ke tempat yang tinggi. Kebalikannya, perkataan yang tinggi, sifat yang gaduk, mendatangkan kebencian. Jika pergi ke negeri orang, haruslah air orang disauk[2] dan ranting orang dipatah, artinya jangan membawa aturan sendiri, melainkan adat kebiasaan orang dan negeri itulah yang dipakai dan dijalanan, supaya disukai orang dan lekas mendapat sahabat kenalan yang baik, yang sudi menolong kita dalam segala kesusahan kita. Sahabat kesukaan, janganlah diperbanyak, sebab biasanya tiada memberi faedah, bahkan acap kali menyedihkan hati. Sahabat kedukaan, itulah yang baik dirapati. Sahabat musuh, yaitu orang yang mengail dalam belanga dan menggunting dalam lipatan, yang pura-pura bersahabat dengan kita, karena hendak mencelakakan kita, haruslah berhati-hati benar, karena ialah yang rupanya terlalu karib kepada kita dengan manis budi bahasanya. Oleh sebab itu, janganlah lupa pula akan pepatah kita: Buah yang manis itu acap kali berulat.

Yang tua harus dihormati, yang muda dikasihi, sama besar mulia-memuliakan. Walaupun yang tua itu rupanya kurang daripada kita, tentang pengetahuan, kekayaan, pangkat, bangsa, ataupun yang lain-lain sebagainya, tetapi ia terlebih dahulu makan garam daripada kita dan terlebih banyak merasai kehidupan yang baik dan jahat. Ingatlah, lama hidup banyak dirasai, jauh berjalan banyak dilihat. Oleh sebab itu pada orang yang sedemikian, tak dapat tiada adalah juga pengetahuan atau penglihatan atau penanggungan yang belum ada pada kita, atau belum kita rasai. Itulah sebabnya orang ini harus dihormati.

Yang muda harus dikasihi; sebab mereka adik kita, yang kurang kekuatan dan pengetahuannya daripada kita. Tak patut kita mempergunakan kelebihan kita, akan menganiaya mereka. Demikian pula segala mahluk yang ada, terlebih-lebih yang lemah dan lata, haruslah disayangi. Jangan disakiti, karena sekalian itu hamba Allah sebagai kita juga. Dengan sesama manusia, haruslah berkasih-kasihan, beramahramahan dan bertolong-tolongan, dalam segala pekerjaan, suka dan duka. Terlebih-lebih yang sengsara dan kesusahan itulah, yang terutama harus ditolong. Yang mulia dan kaya pun tak perlu dihindarkan, karena yang miskin dapat membantu dengan kekuatan dan nasehat dan yang kaya dapat menolong dengan uang. Janganlah angkuh dan sombong; istimewa pula karena pada kita sekarang ini, tak ada yang dapat disombongkan; uang tidak, bangsa pun kurang. Walaupun ada berharta, berbangsa dan berpangkat sekalipun, tak perlu disombongkan, karena sebagai telah kukatakan, sekalian itu barang pinjaman belaka dan hanyalah dalam dunia ini saja ada harganya. Bila yang empunya kelak meminta kembali hartanya itu, tak dapat tiada haruslah dipulangkan.

Jangan suka berbuat kejahatan dan kelaliman, melainkan kebaikan itulah yang akan kaucintai. Itulah, pepatah: Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Sedangkan raja lagi diperbuat demikian, apalagi kita. Pikiranmu pun haruslah suci dan bersih, jangan suka berniat yang salah kepada dirimu atau diri orang lain, karena segala perbuatan dan pikiran itu tak hilang; ada awal tentu ada pula akhirnya. Segala perbuatan atau pikiran yang jahat, tak kan tiada jahat jugalah jadinya kepada dirimu sendiri atau diri sesamamu manusia.

Kebalikannya, segala perbuatan dan niat yang baik itu, tak dapat tiada akan mendatangkan kebaikan juga atas dirimu atau diri orang lain. Walaupun terkadang-kadang akibat perbuatan dan niatmu itu berlainan rupanya daripada maksudmu, janganlah engkau syak; sekalian itu takkan salah.

Jika tak sekarang, kemudian tentulah akan membalas juga kebaikan atau kejahatan itu. Yang baik itu, tak dapat menimbulkan yang jahat itu, yang jahat tak dapat pula mendatangkan yang baik.

Bila permintaanmu tiada kabul dan maksudmu tiada sampai, dan jika engkau beroleh sesuatu kesusahan atau mara bahaya, janganlah lekas putus asa, serta menyesal akan untungmu dan murka akan Tuhanntu, karena segala sesuatu itu memanglah karunia juga daripada Tuhanmu dan Tuhan itu sesungguhnya bersifat adil serta pengasih penyayang kepada hamba-Nya; sekali-kali tiadalah la berkehendak membinasakan hamba-Nya, dalam waktu yang bagaimana sekalipun. Oleh sebab itu segala yang dikurniakan-Nya kepada hamba-Nya, meskipun rupanya jahat bagi mereka yang tiada mengerti, tetapi sesungguhnya hakekatnya baik juga: Jika engkau pikirkan dan perhatikan benar-benar akan nyatalah kepadamu, bahwa segala yang jahat rupanya yang telah jatuh ke atas dirimu itu, ada juga mengandung kebaikan, yaitu pelajaran, yang dapat membawa engkau ke padang kemajuan yang sebenar-benarnya. Oleh karena kesusahan dan kesengsaraan itulah, maka jadi bertambahtambah pengetahuanmu dan ilmumu, tentang rahasia-rahasia alam ini, dan kehidupan di atas dunia ini. Kesenangan dan kesukaan jarang mendatangkan pelajaran, bahkan acap kali melupakan manusia itu akan dirinya dan Tuhannya; terkadangkadang menjadikan mereka itu sombong, angkuh serta tekebur.

Akan menerangkan, bahwa kecelakaan itu tak lain daripada pelajaran, dengarlah misal ini! Seorang kanak-kanak, belum tahu akan bahaya api. Bagaimana dapat diterangkan kepadanya, supaya mengerti benar ia, akan kebesaran bahaya itu sehingga dapat ia menghindarkan dirinya daripada api itu? Susah sangat bukan'? Hampir tak dapat, karena bahaya itu tak dapat diperlihatkan, atau dimisalkan kepada kanak-kanak yang kecil itu dengan sebenar-benarnya, sebelum dirasainya sendiri.

Pada suatu hari, tatkala ia bermain-main api, dengan takdir Allah, terbakarlah tangannya. Pada waktu itu, baharulah dirasainya bahaya api itu. Mereka yang tiada tahu atau yang tiada hendak berpikir lebih panjang, mengatakan kanak-kanak itu mendapat hukuman daripada Tuhan, tetapi sesungguhnya mendapat kurnia, yaitu suatu pengetahuan dan pelajaran yang tak dapat diperolehnya, jika tiada dirasainya sendiri. Oleh karena kecelakaan itu, bertambahlah pengetahuan kanakkanak tadi dan dapatlah ia menghindarkan dirinya daripada bahaya api, yang boleh berlipat ganda besarnya daripada yang telah dirasainya itu. Bukankah ini kurnia? Demikianlah juga segala kesusahan dan kecelakaan yang lain-lain, tak dapat tiada, ada juga baiknya. Bila kaupikirkan segala mara bahaya yang menimpa dirimu, niscaya terjatuhlah engkau daripada was-was dan penyesalan hati serta beberapa penyakit yang asalnya dari itu.

Pikiran yang masgul, sedih dan susah, tidak mendatangkan kebaikan kepada dirimu, semata-mata kejahatan juga; melainkan sabar dan tawakal, serta pikiran yang suci itulah juga, yang menambah kesehatan badan. Bukankah telah dikatakan: sabar itu anak kunci pintu surga. Bukankah sabar itu tanda faham yang dalam, iman yang tetap, yaitu sifat-sifat yang mulia. Sabar itulah yang acap kali memberi jalan ke surga dunia dan surga akhirat, sedang tiada sabar, pemarah, pengumpat, dengki, khianat, loba dan tamak dan sifat yang lain-lain, yang sebagai ini, acap kali menuntun kita ke dalam neraka. Jika dapat engkau sabarkan hatimu daripada segala kesedihan, kesusahan dan amarah, tentulah dapat pula engkau tahan segala nafsumu yang tiada baik.

Sifat yang dengki khianat loba dan tamak itu, harus dilawan dengan sekeras-kerasnya, supaya nyahlah sekaliannya dari hatimu.

Kekayaan yang besar, pangkat yang tinggi, bangsa yang mulia, tiada selamanya membawa kesenangan; karena kebanyakan manusia bersifat tamak, tiada menerima yang telah dikurniakan Tuhan kepadanya, melainkan hendak bertambahtambah dan berlebih-lebihan juga. Dan jika dapat pun dipenuhinya segala kehendak dan maksudnya itu bukan puas hatinya, bahkan bertambah-tambah pulalah tamak dan lobanya, dan semakin lupalah ia akan dirinya dan Tuhannya, karena asyik hendak memuaskan hawa nafsunya yang tak dapat dipenuhi itu. Dan jika tak dapat disampaikannya segala maksudnya itu, menyesallah ia akan untungnya dan mengumpatlah ia kepada Allah. Ke sini ke sana, tiadalah orang yang sedemikian itu akan mendapat kesenangan dan kesejahteraan.

Oleh sebab itu terimalah segala yang telah dikurniakan Tuhan itu dengan sabar. Jika hendak menambah yang telah ada itu, boleh tetapi hendaklah minta kepada-Nya dan. dengan jalan yang baik. Jika tiada dikabulkan permintaan itu sekarang, sabarlah dahulu barangkali kemudian dapat juga, karena barang sesuatu yang dikehendaki itu, niscaya akan diperoleh juga akhir kelaknya, asal dengan yakin dan bersungguh-sungguh hati meminta. Sebagai telah kukatakan, Tuhan itu bersifat pengasih dan penyayang.

Orang yang pada lahirnya hina, miskin dan daif, terkadangkadang hatinya terlebih senang daripada yang kaya, mulia atau berpangkat tinggi. Misalnya, seorang anak, yang tinggal tersembunyi di hutan atau di gunung, jauh dari¬pada segala keindahan, kesukaan, kekayaan dan kepintaran dunia, acap kali terlebih senang daripada orang kota, yang selalu diselimuti oleh sekalian kebesaran dan kemuliaan; sebab keperluan untuk kehidupan anak hutan itu, tiada seberapa, sehingga keinginan hatinya hampir tak ada dan nafsunya pun kurang. Keinginan dan nafsu itulah penggoda yang teramat besar Setelah berhenti sejurus memakan buah-buahan bawaan Samsu disambunglah pula oleh Baginda Sulaiman nasihat kepada anaknya itu, "Janganlah engkau bersangka, kemajuan dunia itu selamanya mendatangkan manfaat kepada manusia, tidak. Misal yang mudah, yaitu ini: Apakah sebabnya maka orang tua-tua dahulu kala umurnya lebih panjang dan badannya, lebih sehat daripada orang sekarang ini? Padahal kehidupan mereka itu tidak sernpurna dan keperluan mereka itu pun tiada sebanyak orang sekarang ini? Pakaiannya terkadang-kadang hanya sehelai kain kulit kayu, makanannya tiada dimasak dan tiada diberi bumbu atau rempah-rempah, rumah tangganya, di pokok kayu atau dalam gua batu.

Bukan umur dan kesehatan badannya saja yang lebih daripada orang sekarang, tetapi ilmunya pun terlebih dalam pula; misalnya ilmu bertanam padi, yang asalnya daripada orang Hindu, zaman dahulu kala, sampai kepada waktu ini, belum dapat diperbaiki orang. Candi-candi, yang diperbuat orang Hindu itu, belum dapat ditiru oleh insinyur-insinyur.yang pandai, tentang kekuatannya. Ilmu orang Mesir membungkus mayat rajanya, sampai dapat disimpan beribu-ribu tahun lamanya pun, tiada diketahui orang sekarang. Sampai dewasa ini masih ada juga bekas-bekas orang dahulu itu, walaupun tiada sebagai di masa mereka itu mesih hidup.

Ingatlah pula akan orang-orang gunung, di negeri kita ini yang tinggal tersisih, jauh dari kota, di tempat yang sunyi! Bukankah badan mereka itu terlebih sehat dan kuat daripada orang kota? Hati dan pikirannya terlebih baik dan lebih bersih pula? Apakah makanan mereka itu? Nasi dengan asam-asam dan sayur-sayuran, yang tiada dimasak dengan sempurna.

Sungguhpun demikian, badannya sebagai gajah dan kekuatannya bukan sedikit. Hujan dan panas tiada diindahkannya, bahkan seakanakan menambahkan kesehatan badannya. Pakaiannya hanya secarik kain, rumah tangganya dimasuki hujan dan angin, tetapi jarang mereka itu sakit.

Akan orang kota yang telah maju itu, berbagai-bagai akal dan obat yang dipakainya, supaya jangan sakit. Rumah tangganya haruslah baik, menurut ilmu dokter, pakaiannya cukup daripada kain yang baik-baik, makanannya haruslah dijaga benar-benar; jangan sampai kekurangan dan kotor.

Pada sangkaku kehidupan yang serupa itulah, yang meracun manusia, menjadikan pendek umurnya dan lemah badannya.

Kebaikan mereka, orang yang dikatakan setengah biadab itu, aku sendiri telah acap kali merasainya; suka tolongmenolong, beramah-ramahan, berkasih-kasihan, lurus hati, boleh dipercayai, setia, hormat, tertib, sopan, santun, adil dan lain-lain; sekaliannya, sifat-sifat yang telah dilupakan oleh kebanyakan orang kota. Sayang orang yang sedemikian, makin lama makin berkurang-kurang, bertukar dengan orang yang dinamakan dirinya cerdik pandai dan beradab, tetapi yang sebenarnya, makin pandai makin ganas dan makin buas, serta menukar sifatsifat nenek moyangnya, yang mulia-mulia itu dengan dengki, khianat, loba, tamak, hidup sendiri-sendiri, tiada hendak tolongmenolong, tiada hendak beramahramahan dan berkasih-kasihan; sombong, angkuh, kikir, tekebur, tak boleh dipercayai, tiada setia, lalim dan sebagainya. Ah, bagaimanakah akhirnya dunia ini, apabila kemajuan, yang sangat dicintai kaum sekarang, membawa manusia ke jalan yang seperti itu? Lagi pula, haruslah engkau ketahui, kemajuan itu, ialah suatu perkakas, yang boleh ditujukan ke tempat yang baik dan ke tempat yang jahat. Bila ke tempat yang baik di kemudian, baik pulalah hasilnya tetapi bila ditujukan tempat yang jahat, tentu jahatlah jadinya. Orang sekarang, rupa-rupanya hendak menunjukkan perahu kemajuannya itu, ke pulau kejahatan, jadi bukan akan menyempurnakan manusia, bahkan akan memusnahkan segala yang hidup.

Bedil itu apakah gunanya, jika tak untuk menghabiskannya? Meriam itu apakah faedahnya, jika tidak untuk meleburkan dunia? Dan apakah sebabnya, maka jadi begini? Tak lain karena orang sekarang, yang mengaku dirinya terlebih pandai dan beradab daripada orang dahulu, yang dikatakannya biadab itu, sesungguhnya bertambah ganas dan buas, sebagai telah kukatakan tadi.

Makin bertambah maju manusia itu, makin bertambah besar kebaikan dan kejahatannya. Ilmu dokter, yaitu suatu hasil daripada kemajuan.itu, walaupun dapat dipergunakan, untuk menyembuhkan penyakit, tetapi dapat pula dipakai akan pembunuh yang hidup. Oleh sebab orang yang tiada beriman, memang terlebih mudah digoda oleh kejahatan dari dipimpin oleh kebaikan, menjadilah kemajuannya suatu bisa, yang meracun dunia. Itulah sebabnya orang yang sedemikian, tak baik diberi senjata kemajuan. Bukankah penjahat yang terpelajar itu, terlebih berbahaya daripada penjahat yang bodoh? Bila seorang yang bodoh, hendak mencuri, ditunggunya dahulu sampai yang empunya tak ada atau sampai ia tidur. Jika mereka masih ada, atau masih jaga, tak dapatlah disampaikannya maksudnya. Tetapi penjahat yang terpelajar, di dalam hal itu, tentulah akan mempergunakan segala ilmunya, yang terkadang-kadang boleh sangat memberi bahaya, untuk menyampaikan niatnya. Oleh sebab itu, segala ilmu yang jatuh kepada mereka yang tiada berhati baik, akan menjadi senjata yang berbisalah, di tangan mereka. Sebelum menuntut ilmu, haruslah dibersihkan dahulu hati. Alangkah besar faedahnya, bila di sekolah diajarkan juga ilmu suci hati!"

Hingga itu berhentilah Baginda Sulaiman berkata-kata, lalu meminta pula buah apel sebuah. Kemudian barulah berkata pula ia, "Bila engkau beruntung baik, pakailah kelebihan hartamu itu, untuk menolong yang susah dan miskin, kepandaianmu, untuk menunjuk mengajari yang belum tahu dan pangkatmu, untuk membawa sesamamu manusia ke tempat yang sejahtera. Jika itu kau lakukan, tak dapat tiada, selamatlah dan terpeliharalah engkau dunia dan akhirat. Dan apabila telah datanglah pula waktunya engkau akan meninggalkan dunia ini, niscaya takkan adalah lagi sesuatu yang menjadi alangan bagi perjalananmu dan berpulanglah engkau, dengan perasaan yang tulus, karena kauketahui bahwa engkau, semasa hidupmu, tiada berbuat salah. Hatimu pun suci dan cinta kepada kebaikan.

Suatu lagi yang hendak kukatakan kepadamu, yaitu pepatah kita: pikir itu pelita hati. Peribahasa ini sangat benar, baik lahir ataupun batin. Barang sesuaiu yang hendak diperbuat atau dikatakan, hendaklah dipikir lebih dahulu dengan sehabis-habis pikiran. Janganlah terburu dan jangan pula memakai ilmu katak, telah melompat sebelum diketahui, apa yang akan terjadi atas diri! Itulah sebabnya, acap kali salah lompatnya, yang mendatangkan celaka kepadanya. Bila telah binasa, datanglah sesal yang tiada berkeputusan. Tetapi apa gunanya lagi sesalan itu? Perkataan yang telah keluar dari mulut dan sesuatu yang telah terjadi, tak dapat ditarik kemliali. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, kata orang kita. Kesusahan yang menimpa, karena kesalahan itu, harus ditanggung. Kaki terdorong, ini padahannya, mulut terlanjur, emas padahannya[3].

Oleh sebab itu, haruslah perlahan-lahan dan berhati-hati bekerja: biar lambat asal selamat, tak lari gunung dikejar. Bila telah ditimbang buruk haiknya, laba ruginya dan bila telah dibolak-balikkan, dan nyata benar kebaikan pekerjaan itu, kerjakanlah! Insya Allah,selamat. Lagi pula jangan suka mendengar hasut fitnah dan ajaran yang tiada baik: nasihat yang baik itulah yang akan ditaruh dalam hati dan dipakai selama hidup. Jika terlalu suka mendengar perkataan orang, menjadi kacau balau pikiranmu dan acap kali meu¬datangkan sesalan kepada yang salah, teperbuat sebagai cerita peladang dengan keledainya."

"Bagaimana ceritanya itu?" tanya Nurbaya.

"Samsu tentu tahu cerita ini. Biarlah ia menceritakannya, supaya aku dapat berhenti sejurus, melepaskan lelahku, karena berkata-kata ini."

"Bagaimana cerita itu, Samsu?" tanya Nurbaya kepada Samsulbahri.

"Begitu," jawab Samsu. "Keledai bukankah kendaraan manusia? Tetapi karena yang empunya, sangat suka mendengar perkataan orang, dengan tiada memikirkan perkataan itu lebih jauh, menjadilah ia kendaraan keledainya."

"Ajaib," jawab Nurbaya.

"Memang, demikianlah jadinya, bila kita terlalu suka mendengar perkataan orang. Karena orang itu, tiada semuanya baik kepada kita dan walaupun baik maksudnya, terkadangkadang boleh jahat juga jadinya kepada kita; sebab hal manusia itu tiada sama; yang baik pada seorang, boleh jahat pada yang lain. Jika diturut dengan tiada dipikirkan baikbaik lebih dahulu, terjerumuslah kita ke dalam lubang.

Cerita keledai itu demikian bunyinya: Seorang peladang mempunyai seekor keledai. Pada suatu hari, pergilah ia bersamasama anaknya ke pasar, akan membeli-beli. Si peladang ini menunggang keledai itu, dan anaknya disuruhnya berjalan di sisinya. Tiada berapa lama mereka berjalan, bertemulah seorang perempuan. Tatkala dilihat oleh perempuan itu hal yang sedemikian, berkatalah ia, "Sesungguhnya orang tua ini tiada berpikiran! Anaknya yang kecil, yang belum kuat berjalan, dibiarkannya berjalan kaki, sedang ia duduk bersenang-senang di atas keledainya."

Perkataan perempuan itu terdengar oleh si peladang, lalu dinaikkannya anaknya ke atas keledainya dan berjalanlah ia di sisi binatang ini.

Kemudian bertemulah pula seorang pendeta. Tatkala dilihat oleh pendeta itu akan hal yang sedemikian, menggelenggelenglah ia, seraya berkata, "Anak ini tiada berbudi. Adakah patut orang tuanya disuruhnya berjalan kaki sedang ia duduk keenakenakan di atas kendaraan?"

Perkataan ini termakan pula oleh si peladang, lalu katanya, "Baiklah kita berdua menunggang keledai ini."

Tiada berapa lamanya berkendaraan berdua, bertemulah pula seorang pegawai negeri, yang berkata dengan amarahnya, tatkala melihat si peladang dengan anaknya berdua, menunggang keledai itu, "Anak dan bapa ini tiada sekali-kali berpikiran dan tak menaruh kasih sayang! Adakah patut binatang yang sekecil itu dikendarai oleh dua orang? Apabila kamu tiada turun dari keledaimu, niscaya kuadukan kamu kepada hakim, sebab mendera binatang.

Maka turunlah si peladang itu dengan anaknya, lalu berjalan kaki sebelah menyebelah keledainya. Sejurus kemudian, berjumpa pula mereka dengan sorang sahabatnya, lalu berkata sahabat ini, "Alangkah bodoh,kamu kedua ini! Apakah gunanya kamu memelihara keledai, jika tak dapat ditunggang, sampai kamu berjalan kaki, dengan susah payah?"

Setelah mendengar perkataan yang akhir ini, tiadalah terkatakata anak dan bapa.

"Aku sendiri naik keledai ini, salah, engkau sendiri menaiki pun salah, berdua kita naik, salah pula dan tiada ditunggangi, tak benar juga. Bagaimanakah yang betul?" Demikianlah keluh si peladang, sambil membantingkan kopiahnya ke tanah, lalu duduk di atas sebuah batu, karena tak berani berjalan lagi.

"Jika demikian marilah kita pikul keledai ini! Barangkali begitu yang baik, karena cara lain tak ada lagi," kata si peladang kepada anaknya, seraya mencari sebatang kayu. Kemudian diikatnyalah keempat kaki keledainya, dipikulnya berdua, masuk pasar.

Sekalian isi pasar yang melihat perbuatan yang ganjil ini, tercengang, lalu berkata, "Seumur hidupku belum pernah aku melihat orang menjadi kendaraan keledai; baru sekarang inilah. Gilakah si peladang itu?" lalu mereka tertawa gelakgelak, menertawakan si peladang dengan anaknya itu.

"Ini pun masih salah juga," kata peladang, lalu menjatuhkan keledainya ke tanah, karena bingung.

"Memang bagus benar cerita itu," kata Nurbaya.

"Sehingga inilah dahulu, Nur! Besok lusa aku akan bercerita pula. Sekarang aku sangat letih hendak tidur. Bila engkau pulang?" kata Baginda Sulaiman.

"Hamba telah minta izin kepada Engku Datuk, tinggal dua tiga hari," jawab Nurbaya.

"Jika demikian baiklah."

Setelah diselimuti oleh Nurbaya ayahnya, tidurlah si sakit mi. Kemudian daripada itu, Samsu minta dirilah, hendak pulang ke rumahnya.

"Nanti, aku katakan, bila aku akan menceritakan halku kepadamu, Sam," kata Nurbaya, tatkala Samsu hendak keluar dari bilik itu.

"Baiklah," jawab Samsu, lalu pulang ke rumah orang tuanya.

Pada keesokan malamnya, kelihatan Nurbaya duduk di serambi muka rumahnya. Hari waktu itu kira-kira pukul sembilan, bulan yang sebesar sisir itu, baru terbenam, hingga malam hanya diterangi oleh bintang yang gemerlapan cahanya di langit biru. Tetapi dalam pekarangan dan serambi muka rumah Nurbaya, gelap, karena tak ada lampu dipasang. Hanya sinar lentera, pada jalan besarlah, yang masuk mencrangi beberapa tempat dalam pekarangan itu. Nurbaya yang duduk di beranda muka, rupanya sebagai gelisah di tempat yang gelap itu, karena sebentar-sebentar ia Menoleh ke rumah Samsu, sebagai ada sesuatu yang ditunggunya dari sana.

Tidak berapa lamanya ia duduk sedemikian, kelihatanlah sebagai bayang-bayang, orang berjalan, keluar dari pekarangan rumah Sutan Mahmud, menuju ke rumah Nurbaya. Setelah melihat bayang-bayang ini, berdirilah Nurbaya, lalu berjalan perlahan-lahan, masuk ke dalam bilik ayahnya; kemudian keluar pula dan turun ke pekarangan, menuju bangku, yang ada di bawah pohon tanjung, seraya menoleh ke sana kemari, sebagai takut, kalau-kalau ada orang yang melihat perbuatannya ini. Setelah sampai ke bangku itu, duduklah ia bernanti. Tiada berapa lama antaranya, tiba-tiba terdengarlah olehnya suara orang berkata perlahan-lahan, "Engkaukah ini, Nur?"

"Ya, akulah," jawab Nurbaya.

"Tidakkah ada orang di sini, yang dapat mengintip kita dan mendengar percakapan kita?" tanya orang itu pula.

"Pada sangkaku, tak ada," jawab Nurbaya, sambil menoleh sekali lagi ke segenap pihak. Tetapi suatu pun tiada yang kelihatan atau kedengaran olehnya. "Duduklah di sisiku ini," kata Nurbaya pula.

Orang itu duduklah di sisi Nurbaya, lalu berkata, "Bagaimana ayahmu?"

"Rupanya ada bertambah baik, sebab makan pun mulai suka; tetapi masih terlalu lemah dan kata doktet tadi, tak boleh ia terlalu bergerak-gerak dan terkejut-kejut. Bila engkau telah menjadi dokter, Samsu, alangkah baiknya! Tentulah engkau sendiri dapat mengobatinya."

"Ya, Nur," jawab orang itu, yang sesungguhnya Samsu, "tetapi waktu itu masih lama. Masih enam tahun lagi aku harus belajar, barulah dapat menjadi dokter. Itu pun belum tentu pula; entahlah jadi, entah tidak sebab waktu yang enam tahun itu bukan sedikit lamanya, banyak yang, boleh terjadi, dalam waktu yang selama itu."

"Mengapakah tiada menjadi?" tanya Nurbaya.

"Bagaimana boleh menjadi, jika penggodaan sebagai ini? Penanggunganku, dalam setahun ini, hanya Allah yang mengetahui. Berapa kali aku berasa kehabisan tenaga, untuk melawan segala penggodaan itu; berapa kali aku bersangka; akan kalah berperang dengan hawa nafsuku dan akan jatuhlah aku ke dalam tangan setan iblis. Hanya dengan pertolongan Allah saja, dapat kulayari lautan yang beranjauranjau ini, men-capai tanah tepi. Sedang luka hatiku, karena bercerai dengan engkau belum lagi sembuh, telah datang pula kejatuhan ayahmu Belum habis aku memikirkan hal ini, datang pula suratmu, membawa kabar yang meluluhlantakkan hati jantungku, memutuskan segala pengharapanku.

Walaupun keduanya yang bermula itu masih dapat kulipur, tapi kecelakaan yang akhir ini, memutuskan tali tempat aku bergantung, merebahkan tiang tempat aku bersandar dan mematahkan dahan tempat aku berpijak. Ketika itulah jatuh hukumanku dan hilang pengharapanku, akan penghidupanku di kemudian hari. Beberapa hari lamanya aku tak dapat belajar, karena sakit. Tak tahu aku, apa sebabnya maka aku dapat juga naik ke kelas dua. Pada sangkaku, tentulah aku akan tinggal di kelas satu, sebab pelajaran tak keruan."

"Memang telah kusangka, tentulah engkau takkan senang mendengar kabar ini. Tetapi apa boleh buat! Terpaksa aku menulis surat itu. Jika tak kukabarkan hal itu kepadamu, takut aku, kalau-kalau kaupersalahkan aku. Bagaimanakah halku, bila engkau pun berpaling pula dari padaku?"

"Tentang hatiku, janganlah kau syak wasangka. Bukanlah telah kukatakan dahulu kepadamu dan kujanjikan tadi kepada ayahmu? Bagaimana aku akan berubah kata pula?"

"Sesungguhnyakah tiada berubah hatimu kepadaku, Sam? Sesungguhnyalah hatimu itu masih suci dan bersih kepadaku, sebab dahulu, sebelum terjadi perkara ini? Dan sesungguhnyakah dapat kauberi ampun dan maaf aku, atas kesalahanku? Ataukah, sebab engkau malu kepada ayahku dan karena hendak membesarkan hatiku saja, engkau berjanji sedemikian? Katakanlah yang sebenar-benarnya kepadaku, supaya tahulah aku, apa yang akan kuperbuat sekarang ini," kata Nurbaya pula, simbil memegang tangan Samsu dan memandang mukanya.

"Nurbaya, mengapakah engkau kurang percaya kepadaku? Sudahkah aku berbuat dusta kepadamu? Dan bagaimanakah aku boleh berkecil hati, dalam halmu ini? Sebab bukan kehendakmu sendiri, melainkan karena teraniaya, engkau terpaksa berbuat sedemikian. Janganlah kau syak lagi akan daku; lihatlah ke atas langit. Bintang yang beribu-ribu, yang menabur langit itu saksiku, bahwa aku waktu ini berkata benar."

"Jangan engkau marah kepadaku, Sam, sebab aku sebagai tiada percaya lagi kepadamu. Bukan begitu hatiku: hanya sebab otakku,yang sejak aku ditimpa timpa mara bahaya ini, telah menjadi sakit, selalu pikiranku tiada keruan. Acap kali datang niat yang jahat menggoda hatiku, yaitu hendak membunuh diri, supaya lekas terlepas daripada siksaan ini.

Akan tetapi, jika datang ingatan kepadamu dan kepada ayahku, undurlah niatku itu; takut aku akan duka-cita yang akan menimpa dirimu dan ayahku, karena perbuatanku itu."

"Nur, janganlah ada pikiranmu yang sedemikian! Perbanyaklah sabarmu dan tawakallah kepada Allah! Ingatlah akan pen ajaran ayahmu! Engkau masih muda, masih lama akan hidup dan masih banyak menaruh pengharapan.

Janganlah putus asa!" kata Samsu, akan membujuk Nurbaya.

"Sekalian itu memang benar, Sam. Tetapi apa dayaku, tak dapat kutanggung rasanya azab yang sedemikian ini. Tak ada perkataan, yang dapat menyatakan perasaan hatiku; bagaikan putus rangkai jantungku, bagaikan lulus tempat berdiri, tergantung di awang-awang, antara langit dengan bumi, antara hidup dengan mati.

Bagaimana tiada begitu? Cobalah kaupikir! Aku harus duduk dengan orang, yang bukannya tiada kusukai saja, tetapi orang yang memutuskan pengharapan yang kuamalkan siang dan malam, yang menceraikan aku dengan kekasihku, yang menganiaya dan menjatuhkan ayahku, sampai sengsara serupa ini, musuh ayahku dan musuhku yang sebesarbesarnya dan akhirnya menjadi algojoku. Tambahan pula, orang yang umur, kepandaian, kesukaan, tabiat dan kelakuannya, sekali-kali tiada sepadan dengan aku. Sekali-kali ia tiada cinta kepadaku; hanya suka, karena hendak memuaskan nafsunya yang keji itu saja. Bila telah puas hatinya, tentulah akan dibuangnya aku, sebagai melemparkan sampah ke pelimbahan; barangkali terus dibunuhnya aku, jahanam itu! Bagaimanakah dapat kusabarkan hatiku, bagaimanakah dapat kusenangkan pikiranku, dan bagaimana pula dapat aku hidup manis dengan orang yang sedemikian? Makin hari, makin kusut pikiranku, makin bertambah dukacita dan sedih hatiku, dan makin bertambah-tambah pula benci hatiku melihat rupanya. Tak ada yang baik pada pemandanganku, tak ada yang enak pada perasaanku. Makan tak sedap, tidur tak nyenyak, bangun pun bertambah-tambah bingung. Rumah tangga, makanan dan minuman, pakaian dan permainan, pendeknya sekalian yang miliknya atau yang berasal dari padanya, bukannya dapat melipur hatiku, hanya mendatangkan marah, sedih dan duka. Betapa aku hidup, dengan orang yang sedemikian itu? Jika hari telah malam, aku ingin, supaya lekas siang dan apabila telah siang, kuharap pula, supaya lekas malam. Aku minta, biar yang setahun ini menjadi sehari, dan yang sebulan menjadi sejam; karena tak tahu, apa yang akan diperbuat dan tak dapat melipur hati. Waktu yang sejam, sebagai sebulan rasanya dan yang sehari serasa setahun. Sesungguhnya itulah neraka dunia, yang sebenar-benarnya.

Maka berhentilah Nurbaya sebentar bertutur, karena hendak menyapu air matanya, yang keluar dengan tiada dirasainya. Samsu tiadalah dapat berkata-kata, sebab sedih mendengarkan nasib adiknya ini.

"Oleh sebab itu, kupinta kepadamu, Sam," kata Nurbaya pula, "bila engkau kelak beranak perempuan, janganlah sekalikali kaupaksa kawin dengan laki-laki yang tiada disukainya. Karena telah kurasai sendiri sekarang ini, bagaimana sakitnya, susahnya dan tak enaknya, duduk dengan suami yang tiada disukai. Tak heran aku, bila perempuan, yang bernasib sebagai aku ini menjalankan pekerjaan yang tak baik, karena putus asa. Aku ini, sudahlah; sebab terpaksa akan menolong ayahku. Tetapi perempuan yang tiada semalang aku, janganlah dipaksa, menurut kehendak hati ibu-bapa, sanak saudara sahaja, tentang perkawinannya, dengan tiada mengindahkan kehendak, kesukaan, umur, kepandaian, tabiat dan kelakuan anaknya.

Karena tiada siapa yang akan menanggung kesusahan kelak, jika tak baik jadinya; melainkan yang kawin itu sendiri. Ibubapa atau kaum keluarga sekedar akan melihat dari jauh.

Bukankah sepatutnya ditanyakan dahulu pikirannya, tentang perkawinan itu? Bukankah anak perempuan itu mempunyai pikiran, perasaan, penglihatan dan kesukaan juga sebagai perempuan yang lain? Sungguhpun ibu-bapa tahu dan kenal akan anaknya, tetapi yang terlebih mengetahui akan dirinya, tentulah anak itu sendiri juga. Banyak ibu-bapa yang bersangka, bahwa ialah yang terlebih mengetahui akan hal anaknya. Oleh sebab itu, pada sangkanya haruslah anak itu menurut sekalian kemauan orang tuanya. Ibu-bapa yang sedemikian, ialah ibu-bapa yang tiada menghargakan anaknya. Dan apabila ia sendiri tak menghargakan anaknya, janganlah ia berharap, menantunya atau orang lain, akan mengindahkan anaknya. Dan janganlah pula ia berkecil hati, bila laki-laki, memandang perempuan masih jauh di bawah telapaknya, karena sesungguhnya belum dapat ia bertanding dengan laki-laki, bila belum tahu ia akan harga dirinya sendiri.

Lagi pula, kalau benar anak dan menantu itu dapat turutmenurut kelak, sehingga dapat kekal perkawinannya selamalamanya! Jika tidak, bercerailah pula; padahal belanja entah beberapa ribu telah habis, sampai setengahnya menggadai dan menjual harta berhabis-habisan, untuk mengawinkan anak.

Bukankah sayang uang yang sebanyak itu, dibuang cumacuma? Pada pikiranku, kewajiban ibu-bapa dalam hal perkawinan anaknya pertama mengingat umur anaknya itu; sebab jika terlalu muda dikawinkan, niscaya merusakkan badan anak itu dan sekalian keturunannya. Di Indonesia ini, pada sangkaku anak perempuan janganlah lebih muda dikawinkan daripada berumur dua puluh tahun. Jangan seperti aku, baru berumur enam belas tahun, telah terpaksa kawin. Makin tua, makin baik."

"Ya, tetapi pada sangka perempuan di sini, suatu keaiban, kalau tak kawin muda-muda, sebagai tak laku," kata Samsu dengan tiba-tiba.

"Persangkaan yang sedemikian, timbulnya daripada kebiasaan yang tak baik. Bila nyata kepada kita, sesuatu adat salah, mengapakah tak hendak dibuang, tetapi diturut saja, membuta tuli? Lihatlah bangsa Barat! Terkadang-kadang, setelah berumur tiga puluh tahun, baru kawin; tak ada orang yang menghinakan mereka. Dan sesungguhnya, tatkala perempuan itu berumur tiga puluh lima atau empat puluh tahun sekalipun, rupanya masih muda, badannya masih tetap dan kukuh. Bila beranak umur sekian, sempurnalah anak itu; menjadi orang yang sehat badan dan pikirannya; tubuhnya besar dan umurnya pun panjang. Akan tetapi perempuan di sini, umur tigapuluh tahun, terkadangkadang telah bercucu.

Itulah sebabnya maka dirinya sendiri dan anaknya pun tiada sempurna dan akhirnya tentu bangsanyalah yang menjadi kurang baik, sebab sekaliannya keturunan perempuan muda, yang belum cukup umurnya.

Kedua, haruslah orang tua itu bertanya kepada anaknya, sudahkah ada niatnya hendak kawin? Kalau belum, janganlah dipaksa, supaya jangan menjadi huru-hara kemudian. Ada perempuan yang belum mau mengikat dirinya dengan tali perkawinan; sebab misalnya, masih suka bebas, sebagai anakanak, atau sebabnya ada sesuatu maksudnya, yang menjadi alangan kepada perkawinannya.

Ketiga, haruslah ditanyakan, sukakah ia kepada jodohnya itu atau tiada. Yang sebaik-baiknya, tentulah anak itu sendiri mencari jodohnya. Bukannya aku berkehendak, supaya perempuan bangsa kita, dibebaskan seperti perempuan Barat, siang malam bercampur gaul dengan laki-laki. Tidak, karena adat Barat itu kurang baik bagi bangsa kita. Tetapi kedua mereka yang dikawinkan itu, baiklah berkenal-kenalan dahulu; biar yang seorang tahu benar akan yang seorang. Jika khawatir akan sesuatu bahaya, jagalah anak perempuan itu baik-baik, jangan terlalu banyak diberi bercampur dengan tunangannya.

Cukuplah sekadar belajar kenal saja. Dan jika tak suka atau khawatir anak itu akan salah mencari jodohnya sendiri, pilihkanlah dahulu yang baik pada pikiran orang tuanya. Akan tetapi sesudah itu haruslah ditanyakan juga kepada anak itu, sukakah ia kepada pilihan orang tuanya ini. Tetapi sebaikbaiknya pertemukanlah keduanya, supaya jangan tatkala dikawinkan itu saja masing-masing baru dapat melihat rupa jodohnya."

"Kata orang tua-tua, cinta itu akan datang juga kelak bila telah kawin," kata Samsu dengan tersenyum.

"Tiada selamanya," jawab Nurbaya. "Bagaimana dapat aku mencintai orang, yang sebagai batuk Meringgih ini? Apakah yang akan dapat menarik hatiku? Tak ada suatu pun yang berpadanan dan bersamaan dengan daku.

Keempat haruslah umumya berpadanan; tua laki-laki sedikit. telah lazim; sama tua baik juga; tua pun yang perempuan sedikit, tak mengapa, asal jangan terlalu amat besar perbedaan mereka. Laki-laki yang berumur lima puluh tahun dengan perempuan yang berumur enam belas atau nenek-nenek yang berumur limapuluh tahun dengan laki-laki yang berumur dua puluh tahun, tentu saja tak sepadan. Itulah yang menjadi duri dalam daging, yang selalu terasa-rasa oleh yang muda. Oleh sebab itu acap kali ia tiada setia; berpaling hatinya kepada yang lain yang sebaya dengan dia. Yang tua itu pun, terkadang-kadang tak senang pula hatinya; malu kepada orang, sebab jodoh yang sangat besar perbedaannya itu, tentulah menjadi buah tutur orang segenap negeri.

Lagi pula, orang yang telah tua itu, berlainan pikiran, kemauan, kesukaan, kelakuan, tabiat adat dan kepandaiannya dengan yang muda. Kemauan yang tua misalnya jangan terlalu banyak berjalan, karena kekuatannya tiada seberapa lagi, tetapi yang muda, itulah yang dikehendakinya, karena tak betah selalu di rumah. Kesukaan yang muda misalnya, makanan yang keraskeras; tetapi si tua tak dapat memakan makanan itu, walaupun masih ingin, karena giginya tak ada lagi. Yang tua, biasanya tua pula fahamnya, tetapi yang muda, masih suka beriang-riang, bermain-main dan bersenda gurau.

Tabiat dan adat pun acap kali berubah, bila umur telah tua.

Aku masih menghargai segala keelokan dan kesenangan, tetapi Datuk Meringgih ini, ingatan dan pikirannya tiada lain melainkan kepada uang dan pemiagaannya. Apa gunanya itu bagiku, bila tiada dapat kupakai untuk memenuhi segala keinginan hatiku? Sekalian itu harus diingat pula oleh ibubapa, yang hendak mengawinkan anaknya, karena sangatlah susahnya akan menyamakan sifat dan kelakuan yang berbedabeda itu.

Kepandaian harus pula sama, supaya dapat berunding dan bercakap-cakap dalam segala hal. Jika yang seorang pandai dan yang seorang bodoh, terkadang-kadang yang pandai menjadi sombong dan yang bodoh bersedih hati. Demikian pula tentang kekayaan dan bangsa. Jika si laki-laki berbangsa tinggi dan si perempuan orang biasa saja, rendahlah dipandangnya istrinya, dan bila s i laki-laki kaya, tetapi istrinya seorang yang miskin, mudah disia-siakannya perempuannya itu.

Rupanya janganlah berbeda sebagai malam dengan siang; karena itu pun boleh pula mendatangkan hal-hal yang kurang baik. Akhirnya, harus diingat akan besar dan tinggi badan.

Adakah tampan pada pernandangan mata bila gajah yang besar tinggi, dipersandingkan dengan tikus yang kecil kerdil? Ingatlah, kedua mereka itu harus menjadi satu, pasangan yang baik dari badan yang dua.

Sebagai kaulihat, tak mudah dapat mencari jodoh yang sejoli. Itulah sebabnya perkawinan itu suatu hal yang penting; tak baik dipermudah, sebagai dilakukan oleh bangsa kita.

Karena kesenangan dan keselamatan orang berlaki-istri dan berumah tangga, hanya dapat diperoleh, bila s i laki-laki dan si perempuan dalam segala hal dapat bersetujuan. Dalam hal yang demikian, menjadilah rumah tangganya surga dunia, yang mendatangkan kesukaan, kesenangan, cinta kasih sayang, selama-lamanya. Dan bila telah beranak, bertambahtambahlah kesenangan dan kesukaan itu. Tetapi jika tiada begitu, menjadilah rumah tangga itu neraka jahanain, yang selalu menimbulkan perselisihan, perkelahian, benci, amarah, sedih, susah. terkadang-kadang bencana dan bahaya yang disudahi dengan perceraian."

"Terlebih-lebih bagi laki-laki yang harus membanting tulang untuk memperoleh kehidupannya," kata Samsu, "sangat berharga kesenangan dalam rumah itu, karena bila ia pulang dari pekerjaannya dengan lelah payah, dan didapatinya di dalam rumahnya penglipur hatinya, niscaya berobatlah lelahnya dan dengan riang hatilah ia pada keesokan harinya menjalankan pekerjaannya yang berat itu. Dengan dernikian, tiadalah akan dirasainya keberatan pekerjaannya itu dan tetaplah sehat badannya serta panjanglah umurnya. .

Bila tak ada yang seperti ini sengsaralah kehidupannya.

Sesudah ia menderita kelelehan dalarn pekerjaannya, tatkala sampai ke rumah, kusut dan keruh pula yang dihidangkan oleh anak-istrinya. Tiada heran, jika laki-laki yang serupa itu, tiada betah di rumahnya; sebagai takut ia kepada tempat kediamannya yang tetap itu. Oleh sebab itu larilah ia ke luar, mencari penglipur hatinya di mana-mana. lnilah yang acap kali menjadikan laki-laki itu jahat dan bengis kelakuannya, suka berbuat yang tidak senonoh."

"Memang tugas perempuan tiada mudah," jawab Nurbaya, "harus pandai menarik dan melipur hati suaminya; bukan dengan wajah yang cantik saja, tetapi juga dengan kelakuan yang baik, peraturan yang sempurna dan kepandaian yang cukup."

"Laki-laki, begitu pula," kata Samsu, "harus pandai membimbing anak-istrinya, supaya betah dalam rumahnya dan dengan riang dan suka hati, menjalankan kewajibannya.

Sekalian yang dapat menghiburkan hati, harus diadakan; sebab, apabila perempuan tak betah lagi dalam rumahnya, bertambahtambahlah celakanya, karena tak ada tempat lain, yang dapat menyenangkan hatinya..."

"Sesungguhnya hal ini kurang diperhatikan oleh bangsa kita," kata Samsu pula, setelah berhenti sejurus. "Itulah sebabnya agaknya, acap kali terjadi perceraian dalam negeri kita, sehingga lakilaki atau perempuan sampai beberapa kali kawin."

"Bukan itu saja, tetapi selagi talak dipegang laki-laki saja dan laki-laki boleh beristri sampai beberapa orang, susahlah akan mengubah hal itu." kata Nurbaya.

"Memang, itu pun tak adil pula," sahut Samsu.

"Jika perempuan yang memegang talak, dan aku tiada terikat oleh ayahku, niscaya tiada kupanjangkan jodoh ini.

Tetapi, apa hendak kuperbuat? Aku terikat pada tangan dan kaki... Tiadakah kasihan engkau kepadaku, Sam? Tak adakah akal, supaya lepas aku dari ikatan ini? Dengarlah olehmu pantun nasibku ini: "Di sawah jangan memukat ikan, ikan bersarang dalam padi. Susah tak dapat dikatakan, ditanggung saja dalam hati.

Gantungan dua tergantung, tergantung di atas peti.

Ditanggung tidak tertanggung, sakit memutus rangkai hati.

Buah pinang di dalam puan, tumpul kacip asah di batu.

Tidaklah iba gerangan tuan, kepada adik yatim piatu? Labuk baik kuala dalam, pasir sepanjang muaraqya, Buruk baik minta digenggam, badanlah banyak sengsaranya.

Ikatkan mati pisang berjantung, hunus keris letakkan dia.

Niat hati hendak bergantung, putus tali apakan daya."

"Nur sabarlah dahulu! Bukan aku tak kasihan kepadamu, hanya pada waktu ini belum dapat kita berbuat apa-apa, karena ikatannya sangat keras. Senangkanlah dahulu hatimu! Kelak akan kucari muslihat yang baik. Sekarang hanya bersama-sama kita berdoa kepada Allah, supaya lekas engkau terlepas dari ikatan ini. Sst, diam! Apakah itu! Sebagai ada bunyi apa-apa di luar pagar itu?" kata Samsu tiba-tiba, serta menoleh ke tempat bunyi itu. Akan tetapi tiada suatu apa pun yang kelihatan olehnya.

"Barangkali katak atau binatang kecil-kecil yang mencari makanannya," jawab Nurbaya, lalu menyambung percakapannya dengan Samsu. "Siapakah yang menyangka, Sam, tatkala kita setahun yang telah lalu, duduk di atas bangku ini, dengan pengharapan yang besar, akan jadi sebagai sekarang ini hal kita? Apakah jadinya cita-cira kita itu dan adakah akan dapat disampaikan pula? Dengarlah pantun ini: "Dari Perak ke negeri Rum, berlayar lalu ke kuala. Jangan diharap untung yang belum, sudah tergenggam terlepas pula.

Orang Pagai mencari lokan, kembanglah bunga serikaya.

Aku sebagai anak ikan, kering pasang apakan daya.

Singapura kersik berderai, tempat ketam lari berlari. Air mata jatuh berderai, sedihkan untung badan sendiri.

Berbunyi kerbau Rangkas Betung, berbunyi memanggil kawan. Menangis aku menyadar untung, untungku jauh dari awan.

Berlayar dari Teluk Betung, Anak Bogor mencari tiram. Apa kuharap kepada untung, perahu bocor menanti karam.

Tikar pandan dua berlapis, dilipat digulung anak Bangka.

Sesal di badan tidak habis, karena untung yang celaka."

Disabarkanlah Nurbaya oleh Samsu dengan pantun yang di bawah ini: "Jangan disesal pada tudung, tudung saji teredak Bantan.

Jangan disesal kepada untung, sudah nasib permintaan badan. ' Ke rimba berburu kera, dapatlah anak kambing jantan.

Sudah nasib apakan daya, demikian sudah permintaan badan.

Sudah begitu tarah papan, bersudut empat persegi. Sudah begitu permintaan badan, sudah tersurat pada dahi.

Dikerat rotan belah tiga, Nakoda belayar dekat Jawa.

Jangan diturut hati yang luka, binasa badan dengan nyawa."

Dijawab oleh Nurbaya: "Berkota kampung Padang Besi, Tempat orang duduk berjaga. Cintamu jangan dihabisi, Sehelai rambut tinggalkan juga."

Dibalas pula oleh Samsu: "Jika menjahit duduk di pintu jarumnya jangan dipatahkan.

Cintaku suci sudahlah tentu, sedikit belum diubahkan.

Bang dahulu maka kamat, takbir baru orang sembahyang.

Bercerai Allah dengan Muhammad, baru bercerai kasih sayang.

Berbunyi meriam Tanah Jawa, orang Belanda mati berperang. Haram kakanda berhati dua cinta kepada Adik seorang."

Mendengar pantun ini, tiadalah tertahan oleh Nurbaya hatinya lagi, lalu dipeluknya Samsu dan diciumnya pipinya.

Dibalas oleh Samsu cium kekasihnya ini dengan pelukan yang hasrat. Di dalam berpeluk dan bercium-ciuman itu, tiba-tiba terdengar di belakang mereka, suara Datuk Meringgih berkata demikian, "Itulah sebabnya, maka keras benar hatimu akan pulang, dan tiada hendak berbalik kepadaku. Bukannya hendak menjaga ayahmu, sebagai katamu, hanya akan bersenangsenangkan diri ddngan kekasihmu. Inilah perbuatan kaum muda, kaum yang terpelajar, yang beradat sopan santun, tetapi memperdayakan suami, supaya dapat bersenda gurau dengan laki-laki, di tempat yang gelap, sedang ayah sendiri, sakit keras. Inilah rupanya kelebihan kaum muda daripada kami kaum kuno. Inilah yang dipelajari di sekolah tinggi, dengan belanja dan susah payah yang tida sedikit. Jika serupa ini, benar juga pikiran kami kaum kuno: kemajuan kaum muda itu, bukan akan meninggikan derajatnya, bahkan akan membawanya dari tempat yang mulia ke tempat yang hina; membusukkan nama yang harum, menghilangkan derajat dan kemuliaan perempuan, sedang adat dan kepandaian lama, yang berfaedah bagi perempuan disiasiakan. Tak harus perempuan yang sedemikian dimajukan."

Ketika itu terperanjatlah Samsu dan Nurbaya, lalu berdirilah Samsu di muka Nurbaya akan melindunginya. Oleh sebab bencinya Samsu kepada Datuk Meringgih ini, karena teringat akan sumpahnya di Jakarta, tiadalah dapat ditahannya hatinya lagi lalu menjawab, "Tak perlu engkau berkata begitu! Bercerminlah engkau kepada badanmu sendiri! Adakah engkau sendiri berlaku sopan santun berhati lurus dan benar, tahu adat istiadat? Jika ada iblis yang sejahat jahatnya di atas dunia ini, tentu engkaulah iblis itu."

Mendengar maki nista ini, merah padamlah muka Datuk Meringgih, lalu diangkatnya tongkatnya dan dipalukannya kepada Samsu. Tetapi tatkala itu juga Samsu melompat ke kiri, seraya menarik Nurbaya, sehingga palu Datuk Meringgih itu jatuh mengenai bangku, tempat mereka duduk tadi dan dengan segera Samsu melompat ke hadapan, meninju muka Datuk Meringgih dengan kedua belah tangannya berturutturut, serta kakinya pun menendang perut lawannya ini, sehingga jatuhlah Datuk Meringgih, terbanting ke tanah, lalu berteriak minta tolong, "Pendekar Lima, tolong aku!' Seketika itu juga, datanglah seorang-orang yang berpakaian serba hitam, dari tempat yang gelap, memburu Samsu dengan sebilah keris terhunus di tangannya. Melihat bahaya yang akan menimpa Samsu ini, menjeritlah Nurbaya sekuat-kuatnya, minta tolong, sehingga bergemparanlah orang sebelah menyebelah, terperanjat, berlari-lari ke luar.

Tatkala dilihat Samsu keris Pendekat Lima ditikamkan kepadanya, melompatlah ia ke sisi dengan merendahkan dirinya, lalu menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga terpelantinglah senjata itu ke udara. Pendekar Lima tak dapat menyerang Samsu lagi, karena dilihatnya orang berlari-lari datang ke sana, lalu larilah ia menyembunyikan dirinya.

Sekalian orang yang datang yang di antaranya ada ayah Samsu bertanya, apakah sebabnya maka berteriak minta tolong? Akan tetapi seorang pun tiada menyahut. Oleh sebab itu, bertanyalah Sutan Mahmud kepada Datuk Meringgih, apakah yang telah terjadi.

"Tanyakanlah kepada anak Tuanku! Setelah diperdayakan hamba bersama-sarna istri hamba, dipukulnya pula hamba," jawab Datuk Meringgih.

Sutan Mahmud maklum, apa maksud pekataan Datuk Meringgih ini dan ia sangatlah malu akan kelakuan anaknya.

Oleh sebab itu berkatalah ia, "Percayalah Engku, perkara ini akan hamba periksa benar-benar. Siapa yang bersalah, tentulah tiada akan luput dari hukuman, walaupun anak hamba sekalipun." Lalu pulanglah ia membawa Samsu ke rumahnya.

Setelah berangkat Sutan Mahmud, kelihatan Baginda Sulaiman keluar dari biliknya, karena ia sangat terperanjat, mendengar suara anaknya minta tolong, sehingga ia bangun dari tempat tidumya. Walaupun badannya sangat lemah, sehingga ia dilarang dokter bergerak-gerak, tetapi karena ia takut anaknya akan mendapat kecelakaan, lupalah ia akan dirinya. Tatkala ia hendak turun di tangga yang gelap itu, jatuhlah ia tergulingguling ke bawah. Melihat hal ayahnya ini, berlari-larilah Nurbaya dengan beberapa orang, akan menolong Baginda Sulaiman. Akan tetapi, ketika diangkat, nyatalah orang tua itu, telah berpulang ke rahmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun! Maka menjeritlah Nurbaya menangis tersedu-sedu dengan mengempas-empaskan dirinya, tak dapat disabarkan lagi, lalu jatuh pingsan. Mayat Baginda Sulaiman dan Nurbaya yang pingsan, diangkat oranglah ke dalam rumahnya, dibaringkan di ruang tengah dan Nurbaya dibawa masuk ke dalam biliknya.

Setelah dibasahi orang kepala Nurbaya dan diciumkan minyak kelonyo ke hidungnya, barulah ia sadarkan dirinya pula, lalu meratap amat sedih.

"Tak perlu engkau menangis," kata Datuk Meringgih, "karena salahmu sendiri. Engkaulah yang membunuh ayahmu."

Mendengar tempelak ini, berdirilah Nurbaya sekonyongkonyong. Air mukanya yang sedih itu hilang sekaliannya, bertukar dengan marah yang amat sangat. Air matanya kering, matanya yang telah merah, karena menangis, bertambah-tambah merah, bibir dan sekujur badannya gemetar. Sangatlah dahsyat rupanya pada waktu itu, seakanakan singa yang kelaparan, hendak menerkam musuhnya.

"Apa katamu?" kata Nurbaya. "Aku membunuh ayahku, celaka? Engkau yang membunuhnya! Pada sangkamu aku tiada tahu, perbuatanmu yang keji itu kepada ayahku? Engkaulah yang menjatuhkan dia, karena dengki khianatmu dan busuk hatimu.

Perbuatanmulah, maka toko ayahku terbakar, perahunya tenggelam kelapanya mati, sekalian langganannya tak hendak mengambil barang-barang dari padanya lagi, serta mungkir membayar utangnya dan segala orangnya lari, merribawa uang ayahku. Tatkala ayahku telah jatuh miskin, pura-pura kautolong ia dengan meminjamkan uang kepadanya, tetapi maksudmu yang sebenarnya, hendak menjerumuskannya ke jurang yang terlebih dalam, karena hatimu yang terlebih bengis daripada setan itu, belum puas lagi. Aku pun kauseret pula ke dalam kekejian, untuk memuaskan kan hawa nafsumu, yang terlebih hina pada hawa nafsu hewan.

Sekarang ayahku telah mati; barulah senang hatimu, bukan? Akan tetapi pada waktu inilah pula, aku terlepas dari tanganmu, hai bangsat! Aku dahulu menurut kehendakmu, karena hendak membela ayahku, supaya jangan sampai engkau penjarakan dia. Sekarang ayahku tak ada lagi, putus pula sekalian tali yang mengikatkan aku kepadamu. Janganlah engkau harap, aku akan kembali kepadamu. Manusia yang sebagai engkau, tiada layak bagiku. Rupamu sebagai hantu pemburu, tuamu sama dengan nenekku, tabiatmu terlebih jahat dari tabiat binatang yang buas. Apa yang dapat kupandang padamu? Uangmu yang engkau peroleh dengan tipu daya, darah keringat mereka yang telah engkau aniaya itu? Apa gunanya uang itu bagiku? Karena kikirmu, engkau sendiri pun tak dapat memakai uang itu. Siapa tahu barangkali hartamu itu kau peroleh dengan jalan mencuri dan menyamun. Seram badanku, jika kuingat akan hal itu.

Daripada bersuamikan engkau, terlebih suka aku bersuamikan anjing. Nyah engkau dari sini! Tiada sudi aku memandang engkau sebelah mata pun, terlebih daripada aku melihat najis.

Cis! Ceraikan aku sekarang ini juga! Jika tiada, bukanlah lakilaki."

"Jangan engkau lupa, ayahmu berutang kepadaku. Oleh sebab itu rumah ini, akulah yang punya dan berkuasa atasnya.

Jadi bukan engkau yang dapat mengusir aku, tetapi akulah yang harus mengusir engkau dari sini. Jika banyak juga mulutmu, tentu malam ini juga kukeluarkan engkau dengan ayahmu sekali, dari rumah ini," jawab Datuk Meringgih, yang pucat mukanya karena menahan marahnya.

"Apa katamu? Rumah dan sekalian barang ini, bukan harta ayahku, melainkan milikku sendiri, karena tertulis di atas namaku. Tiada siapa berkuasa atasnya, melainkan aku seorang. Kalau benar engkau laki-laki dan berkuasa atas rumah ini, cobalah kaukeluarkan aku dari sini!" lalu Nurbaya mengambil palang pintu, sambil berkata, "Tandanya aku berkuasa atas rumah ini, kuusir engkau seperti anjing dari sini.

Bila lama juga engkau di sini, takkan tiada makanlah palang pintu ini kepalamu yang besar, sulah dan beruban itu," lalu Nurbaya menghampiri Datuk Meringgih, sambil mengayunkan palang pintu ke kepalanya; tetapi lekaslah ia dipegang orang, disabarkan dengan perkataan yang lemah-lembut.

Datuk Meringgih turun dari rumah Nurbaya, seraya berkata, "Nanti!" lalu pulang ke rumahnya.

Sepanjang jalan tiada lain yang dipikirkan, melainkan jalan akan membinasakan Nurbaya.

Tatkala Datuk Meringgih diusir oleh Nurbaya dari rumahnya, ketika itu pula Samsu diusir oleh ayahnya dari rumahnya. Demikian kata Sutan Mahmud kepada anaknya, "Perbuatanmu ini sangat memberi malu aku, sebab tak patut sekali-kali. Ke manakah akan kusembunyikan mukaku? Bagaimanakah aku akan menghapus arang yang telah kaucorengkan pada mukaku ini? Perbuatan yang sedemikian, bukanlah perbuatan orang yang berbangsa, anak orang yang berpangkat tinggi, orang yang terpelajar, melainkan pekerjaan orang yang hina, yang tak tahu adat dan kelakuan yang baik.

Pada sangkaku, engkau bukan masuk bangsa yang kedua itu.

Namaku yang baik selama ini, yang dimuliakan dan dihormati orang, bangsaku yang tinggi dan belum bercacat, sekarang kau kotorkan dengan noda yang tak dapat dihapus lagi. Inikah balas usahaku memajukan engkau, sampai ke mana-mana. Inikah buah pelajaran yang engkau peroleh di sekolahmu? Sayang aku, akan uangku yang sekian banyaknya, yang telah kukeluarkan, untuk mendidik dan memandaikan engkau.

Inikah yang engkau pelajari di Jakarta? Pelajaranmu belum tentu lagi, pekerjaan yang sedemikian telah kauperbuat."

Setelah berhenti sejurus, berkata pula Sutan Mahmud, "Kesalahanmu ini tak dapat kuampuni, karena sangat memberi aib. Pergilah engkau dari s ini! Sebab aku tak hendak mengakui engkau lagi. Yang berbuat demikian, bukan anakku."

Samsulbahri tiada menyahut sepatah pun perkataan ayahnya ini, melainkan tunduk berdukacita. Hanya ibunyalah yang menangis tatkala mendengar anaknya diusir oleh suaminya.

"Jika engkau pun hendak mengikuti anakmu, pergilah bersama-sama! Aku tak hendak melihatnya lagi," kata Sutan Mahmud pula kepada istrinya, lalu turun dari rumahnya, pergi ke rumah saudaranya di Alang Lawas: Setelah berangkat Sutan Mahmud, dibujuklah Samsulbahri oleh ibunya dengan beberapa perkataan yang manis-manis, supaya jangan dimasukkannya ke dalam hatinya, amarah ayahnya itu. Akan tetapi Samsulbahri tiada menyahut pula melainkan minta masuk ke biliknya, karena sangat mengantuk, hendak tidur katanya.

Mendengar permintaan anaknya ini hilanglah kuatir Sitti Maryam. Pada sangkanya, tiada diindahkan Samsu amarah ayahnya tadi. Tetapi sebenarnya Samsu semalam-malaman itu tiada dapat memejamkan matanya, barang sekejap pun; melainkan menangislah ia dengan amat sedih mengenangkan nasibnya dan nasib Nurbaya kekasihnya yang malang itu.

Tatkala hari telah pukul tiga malam, bangunlah ia perlahanlahan dari tempat tidurnya, lalu dimasukkannya sekalian pakaiannya ke dalam petinya dan keluarlah ia dari jendela biliknya. Setelah sampai ke pintu pekarangan rumah orang tuanya, menolehlah ia ke belakang, ke rumah itu dan rumah Nurbaya, lalu berhenti sejurus lamanya dan berkata perlahanlahan, "Selamat tinggal Ibu dan kekasihku! Aku hendak berjalan, barang ke mana dibawa nasibku yang malang ini.

Jika ada umurku panjang, mungkin akan bertemu juga kita dalam dunia ini; jika tidak, bernanti-nantilah kita di akhirat. Di sanalah kita dapat bertemu pula, bercampur selama-lamanya, tiada bercerai lagi.

Tatkala ia berkata-kata sedemikian, bercucuranlah air matanya, karena hatinya sangat sedih. Terlebih-lebih, sebab sebagai adalah suatu perasaan yang timbul dalam hatinya, yang mengatakan, ia tiada akan dapat bertemu lagi dengan kedua perempuan yang sangat dicintainya ini. Kemudian berjalanlah ia menuju pelabuhanTeluk Bayur. Walaupun hari amat gelap dan jalan amat sunyi tetapi tiadalah ia merasa takut, sebab pikirannya masih terikat kepada hal yang baru terjadi itu. Kira-kira pukul lima pagi, sampailah ia ke pelabuhan Teluk Bayur, lalu naik kapal yang akan berlayar hari itu ke Jakarta. Karena takut akan diketahui orang, yang barangkali mengikutinya dari belakang, bersembunyilah ia dalam sebuah kamar kelasi kapal yang dikenalnya.

Pukul tujuh pagi diangkatlah jangkar dan berlayarlah kapal itu menuju pelabuhan Tanjung Periuk.

Ketika diketahui oleh ibunya pada keesokan harinya, bahwa anaknya tak ada lagi, ributlah ia menyuruh cari ke sana kemari, tetapi tiadalah bertemu, dan seorang pun tiada tahu ke mana perginya. Sebab sedih hatinya, berangkatlah ia tiga hari kemudian ke Padang Panjang, ke rumah saudaranya. Di sanapun rupanya tak dapat dilipurnya hatinya, sehingga badannya makin lama makin kurus dan akhirnya jatuhlah ia sakit, karena bercintakan anaknya.

  1. Merendah diri
  2. Ditimba
  3. Alamatnya