BAB II
KEDATANGAN BELADA DAN REAKSI RAKYAT JAMBI


Sudah disebutkan di muka bahwa Belanda datang pertama kali di Jambi pada masa pemerintahan Sultan Jambi I, yaitu Sultan Abdul Kahar. Pada waktu itu, tahun 1615 tibalah untuk pertama kali di Jambi dua kapal dagang Belanda "Wapen Van Amsterdam" dan "Middel burg" di bawah pimpinan Onderkoopman (Wakil kepala perdagangan) Abraham Sterek (21, p. 29).

Maksud kedatangan Belanda ke Jambi pada mulanya juga sama dengan kedatangan mereka ke daerah-daerah lain di Indonesia, yaitu untuk berdagang, terutama mencari rempah-rempah. Dengan cara yang licik dan janji yang muluk-muluk Abraham Sterek berhasil mendapat izin untuk tinggal di Muara Kumpeh. Usaha pertama yang dilakukannya ialah mengadakan penyelidikan tentang perdagangan dan jenis hasil bumi yang banyak diperdagangankan. Untuk maksud tersebut mereka tidak segan-segan memberikan bingkisan-bingkisan kepada beberapa orang terkemuka, bahkan mereka telah membuat perjanjian dengan saudagar-saudagar Cina di daerah ini (8, p. 33).

Setelah mendapatkan semua bahan yang diperlukan, sebagai langkah selanjutnya mereka mengajukan permohonan berdagang kepada Sultan, sekaligus dengan pemakaian sebidang tanah untuk urusan usaha tersebut. Pada tahun 1616 mereka telah mendapatkan izin dari Sultan Abdul Kahar untuk mendirikan sebuah "Loji", tetapi yang sebenarnya yang lebih berfungsi sebagai benteng dari pada kantor dagang. Bangunan tersebut didirikan di Muara Kumpeh, di tepi sungai Batanghari.

Dengan berdirinya loji Belanda di Muara Kumpeh, itu maka mulailah suatu babak baru dalam sejarah Jambi. Sebelum itu Jambi berada dalam ketenteraman dan ketenangan, tapi sekarang berganti dengan kecemasan dan kegelisahan karena adanya keinginan Belanda untuk menjalankan monopoli perdagangan yang kadang-kadang disertai dengan pemaksaaan dan tindakan sewenang-wenang. Sebagai suatu perkumpulan dagang VOC memang berusaha untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan melaksanakan monopoli bahan rempah-rempah di kepulauan Indonesia (3, p. 1).

Tindakan bangsa Belanda yang datang ke Jambi untuk melaksanakan sistim monopoli perdagangan serta adanya usaha hendak menanamkan kekuasaan di daerah ini, mendapat perlawanan rakyat. Perlawanan rakyat Jambi ini digerakkan oleh Sultan-sultan serta pejuang-pejuang rakyat Jambi yang ingin mempertahankan kemerdekaan negerinya serta benci terhadap penjajah asing. Bentuk perlawanan mereka terhadap tindakan Belanda pada waktu itu tidak berbeda dengan perlawanan rakyat Indonesia di daerah lain, yaitu perlawanan secara tradisional dan terpecah-pecah (4, p. 34).

Daerah Jambi yang sejak zaman dahulu terkenal dengan hasil hutannya serta telah melakukan hubungan dagang secara bebas dengan negeri-negeri lain menjadi goncang akibat sistem monopoli dagang Belanda ini. Sistem monopoli jelas tidak dapat diterima oleh rakyat, karena selalu akan merugikan mereka, juga bertentangan dengan kebiasaan dagang bebas yang telah mereka lakukan selama ini.

Pada saat Belanda datang ke Jambi, rakyat Jambi telah merupakan penganut agama Islam yang taat. Perbedaan agama dengan bangsa Belanda yang ingin memerintah dan mengatur kehidupan mereka telah menimbulkan kebencian seluruh rakyat, karena hal ini bertentangan dengan prinsip agama Islam yang telah mereka anut selama ini (11, p. 4).

Sejak abad ke-17 Jambi telah merupakan kesultanan yang diperintah oleh Sultan-sultan Jambi yang turun-temurun. Tetapi sejak bangsa Belanda memperoleh izin untuk tinggal di Muara Kampeh, mereka sering mengadakan campur tangan dalam urusan pemerintahan, juga dalam masalah penggantian Sultan. Mereka memanfaatkan setiap adanya perselisihan antara Sultan Jambi dengan pihak lain seperti dengan Johor dan dengan orang-orang pendatang dari Timur. Juga perselisihan di kalangan Istana sendiri mereka manfaatkan untuk memperkuat posisi mereka di daerah ini, sehingga akhirnya merekalah yang menentukan jalannya pemerintahan (11, p. 4).

Pada mulanya perlawanan rakyat Jambi terhadap Belanda belum merupakan perlawanan bersenjata, melainkan berupa pemboikotan atas penjualan hasil bumi. Sikap ini adalah hasil ketidak puasan rakyat terhadap sistem perdagangan monopoli yang dijalankan Belanda di daerah Jambi. Sikap ketidaksenangan rakyat terbukti dengan ditutupnya kantor dagang Kompeni Belanda di Muara Kampeh pada tahun 1623.

Penutupan atau pembubaran kantor dagang kompeni ini disebabkan karena susahnya mengadakan hubungan dengan penduduk. Rakyat Jambi tidak mau menjual hasil buminya, seperti lada, kepada Belanda, Kantor dagang Kumpeni Belanda baru dibuka kembali di Jambi pada tahun 1936 oleh Hendrik Van Gent yang merupakan kedatangan Belanda yang kedua kalinya. Hendrik Van Gent dapat mengetahui adanya hubungan persahabatan antara Sultan Jambi dengan Sultan Agung dari Mataram yang sedang berjuang mengusir orang-orang Belanda dari tanah Jawa. Kejadian ini dilaporkannya kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia.

Gubernur Jenderal Antonie Van Diemen yang mengetahui bahayanya persekutuan antara Jambi dengan Mataram itu pada tahun 1642 berusaha membuyarkannya dengan jalan memikat hati Sultan Abdul Kahar dengan mengirimkan hadiah yang disertai dengan peringatan agar Sultan tidak berhubungan lagi dengan Mataram. Untuk memperkuat kedudukan Belanda di Jambi, pada tahun 1645 dibuat surat kontrak atau perjanjian dengan Sultan Abdul Jalil, pengganti Sultan Abdul Kahar yang isinya menguntungkan VOC. Kontrak ini merupakan perjajian yang pertama antara Belanda (VOC) dengan Sultan Jambi (11, p. 5).

Rasa tidak senang terhadap Belanda selanjutnya diperlihatkan rakyat Jambi pada tahun 1698. Pada tahun itu Sybrandt Swart, kepala kantor Kompeni Belanda di Muara Kumpeh beserta stapnya mati terbunuh oleh rakyat Jambi. Oleh Belanda Sultan Sri Ingalogo dituduh ikut terlibat dalam peristiwa ini. Hal ini diketahui pihak Belanda akibat sikap putra Sultan sendiri, yakni Pangeran Depati Cakranegara yang dapat dipengaruhi dan pro kepada Belanda.

Dengan tipu muslihat Sri Ingalogo datang ke benteng Belanda di Muara Kumpeh untuk ditangkap dan kemudian dikirim ke Batavia dan akhirnya dibuang ke pulau Banda. Pangeran Depati Cakranegara putra Sultan yang sebenarnya tidak berhak, diangkat Belanda sebagai pengganti dengan gelar Sultan Kyai Gede. Campur tangan Belanda dalam masalah penggantian Sultan ini telah menimbulkan amarah rakyat Jambi. Di bawah pimpinan putra-putra Sultan Sri Ingalogo yang lain mereka bergerak untuk menentang campur tangan Belanda itu, (8, p. 36).

Pangeran Raden Julat dan Kyai Singopati, dua orang saudara Sultan Kyai Gede memimpin pemberontakan terhadap Sultan yang telah diperalat Belanda itu. Pemberontakan ini secara langsung juga ditunjukan terhadap Belanda. Tetapi karena kekurangan persenjataan Pangeran Raden Julat dan Kyai Singopati terpaksa menyingkir dari Jambi. Mereka menyingkir ke daerah Uluan, ke Muara Tebo daerah Kalbu VIII Kota yang dahulu diperintah oleh Sunan Pulau Johor. Dari Muara Tebo Pangeran Julat pergi ke Pagaruyung di Minangkau untuk minta bantuan. Oleh Raja Pagaruyung ia sebagai putra pertama dari Sultan Sri Ingalogo diakui sebagai Sultan Jambi dengan gelar Sri Maharaja Baru.
Sekembalinya di Muara Tebo oleh Rakyat setempat Pangeran Raden Julat dinobatkan sebagai Sultan yang berkedudukan di Mangunjayo, dekat Muara Tebo yang merupakan pemerintahan pelarian. Setelah hampir tiga puluh tahun Sultan Maharaja Batu memisahkan diri dari kekuasaan di Tanah Pilih (Istana Jambi) pembantu utamanya Kyai Singopati meninggal. Sultan Sri Maharaja Batu yang ditinggalkan saudaranya Kyai Singopati merasa kehilangan pengaruh. Karena itu ia mengambil keputusan untuk kembali ke Jambi mengadakan perdamaian dengan Sultan Muhamad Syah pengganti Sultan Kyai Gede sejak tahun 1696.

Sebagai hasil perdamaian ini Sultan Muhamad Syah turun tahta dan Sri Maharaja Batu diakui sebagai raja Jambi dengan gelar Sultan Suto Ingalogo. Tetapi tidak lama kemudian karena sikapnya yang bermusuhan dengan Belanda Sultan Suto Ingalogo ditangkap dan diasingkan Belanda ke Batavia. Setelah diasingkan Sultan Muhamad Syah naik tahta kembali. Pada tahun 1740 Sultan Muhamad Syah wafat.
Beliau digantikan oleh putra Sri Maharaja Batu yang bergelar Sultan Istro Ingalogo. Karena teringat perlakuan Belanda terhadap ayahnya Sultan ini berusaha keras untuk mengusir Kumpeni Belanda dari Jambi. Pada tahun 1742 usaha Sultan Istro Ingalogo berhasil. Kompeni Belanda menutup kantor dagangnya di Muara Kumpeh (8, p. 36).
Sejak ini VOC telah meninggalkan kantor dagangnya itu untuk selama-lamanya. Ketika VOC dibubarkan pada tahun 1799 dan semua hartamiliknya harus diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, hanya Palembang satu-satunya tempat pemukiman Belanda (VOC) di Sumatra (21, p. 30).

Meskipun pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1833 tidak mempunyai persoalan apa pun dengan Jambi, namun rakyat Jambi tetap bersikap permusuhan terhadap Belanda. Dalam ekspedisi melawan Kesultanan Palembang (1819 – 1821) Sultan Palembang dibantu secara intensif oleh Sultan Jambi dalam menentang Pemerintah Hindia Belanda (21, p. 30).

Pada pertengahan tahun 1833 Komisaris Jenderal Van Den Bosch datang di Sumatra untuk melaksanakan rencananya menduduki pantai barat maupun timur Sumatra, terutama muara-muara sungainya, agar dengan demikian dapat menguasai perdagangan daerah pedalaman (21, p. 30). Pada waktu itu yang menjadi Sultan Jambi ialah Sultan Muhamad Fakhruddin yang terkenal dengan nama Sultan Keramat karena kesalehannya dan ketaatannya terhadap agama serta banyak usahanya memajukan agama Islam di Jambi. Sultan ini juga sangat tidak senang kepada Belanda, karena mengetahui politik Belanda yang menguntungkan diri semata. Sultan Muhamad Fakhruddin berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengusir orang Belanda lebih-lebih setelah ia mengetahui perbuatannya yang sewenang-wenang terhadap Sultan Palembang, yaitu menurunkan Sultan Najamuddin, Sultan yang syah dan menggantikannya dengan Sultan Badaruddin pada tahun 1819 (11, p. 7).

Sultan Fakhruddin segera bangkit memimpin rakyat Jambi menentang Belanda. Di mana-mana terjadi penculikan terhadap orang-orang Belanda dengan maksud menimbulkan kepanikan. Dalam perlawanan ini Sultan Fakhruddin mendapat bantuan dari bangsawan-bangsawan Palembang yang melarikan diri ke Jambi. Pada tahun 1833 itu juga Sultan Fakhruddin mengadakan serangan terhadap kedudukan Belanda di Sorolangun Rawas.

Belanda yang memiliki persenjataan lebih lengkap segera melakukan serangan balasan. Di bawah pimpinan Let. Kol. Michiel pasukan Belanda menyerbu Sarolangun – Jambi dan berusaha menutup perjalanan melalui sungai guna mematahkan perlawanan Sultan Fakhruddin.

Karena kekurangan perlengkapan perang dan adanya blokade fihak Belanda itu Sultan Fakhruddin terpaksa menyerah. Oleh Letkol Michiel ia diharuskan menandatangani sebuah perjanjian bertempat di Sungai Baung (Rawas) pada tanggal 4 Nopember 1833 yang isinya sebagai berikut:

  1. Negeri Jambi dikuasai dan dilindungi oleh Negeri Belanda.
  2. Negeri Belanda mempunyai hak untuk menduduki tempat-tempat yang diperkuat di daerah Jambi berapa saja menurut keperluan (21, p. 30).

Setelah perjanjian tersebut di atas ditandatangani, Belanda langsung menduduki kembali Muara Kumpeh, sedangkan di Muara Sabak diadakan penjagaan kuat (11, p. 7).

Perjanjian tahun 1833 mempunyai arti penting bagi sejarah Jambi, karena dalam perjanjian itu untuk pertama kalinya daerah Jambi dinyatakan dikuasai dan dilindungi oleh negeri Belanda dan dengan demikian sejak itu Belanda secara langsung mencampuri urusan pemerintah di Jambi.

Perjanjian tahun 1833 ciptaan Letkol. Michiel yang telah menempatkan Jambi di bawah kekuasaan negeri Belanda itu oleh Residen Palembagn dianggap kurang lengkap. Pada tanggal 21 April 1835 Residen Palembang sebagai wakil Pemerintah Belanda memaksa Sultan Muhamad Fakhruddin, Pangeran Ratu Abdurahman Martaningrat dan beberapa pejabat tinggi Kesultanan Jambi untuk menandatangani perjanjian yang merupakan pelengkap dari perjanjian tanggal 14 Nopember 1833 yang berisi ketentuan-ketentuan berikut:

  1. Pemerintah Hindia Belanda berhak memungut cukai atas barang-barang impor dan ekspor.
  2. Pemerintah Hindia Belanda berhak memonopoli penjualan garam.
  3. Pemerintah Hindia Belanda tidak akan mengurus cukai yang lain.
  4. Pemerintah Hindia Belanda tidak akan mencampuri urusan pemerintah dalam negeri dan tidak akan mengganggu adat-istiadat dalam negeri, kecuali dalam hal penggelapan cukai yang telah menjadi hak pemerintah Belanda untuk memungutnya.
  1. Kepada Sultan dan Pangeran Ratu diberikan uang sebesar f. 8.600,- (delapan ribu enam ratus gulden) setiap tahun (3, p. 1 – 2).

Semua perjanjian yang telah dipaksakan kepada Kesultanan Jambi yang pada hakekatnya ingin meletakkan Jambi di bawah kekuasaan Belanda itu ternyata tidak dapat berjalan seperti yang mereka harapkan. Rakyat Jambi menolak segala bentuk pemerasan dan penjajahan. Sultan Thaha Syaifuddin putera sultan Muhamad Fakhruddin yang merupakan Sultan Jambi terakhir tidak mau mengakui semua perjanjian yang telah dibuat Belanda itu. Sultan Thaha juga tidak mau berunding atau mengadakan perjanjian baru dengan Belanda. Sultan Thaha adalah Pahlawan Nasional yang telah mempergunakan hampir seluruh hidupnya untuk memimpin rakyat Jambi menentang Belanda.