Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
(Dialihkan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999)
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Pasal 42
Pasal 43
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
Pasal 54
Pasal 55
Pasal 56
Pasal 57
Pasal 58
Pasal 59
Pasal 60
Pasal 61
Pasal 62
Pasal 63
Pasal 64
Pasal 65
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
Pasal 69
Pasal 70
Pasal 71
Pasal 72
Pasal 73
Pasal 74
Pasal 75
Pasal 76
Pasal 77
Pasal 78
Pasal 79
Pasal 80
Pasal 81
Pasal 82
Pasal 83
Pasal 84
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
|
Mengingat: |
|
|
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: | UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN |
BAB I
KETENTUAN UMUM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
|
|
Bagian Kedua
Asas dan Tujuan
Bagian Kedua
Asas dan Tujuan
Pasal 2
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. |
Pasal 3
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
|
Bagian Ketiga
Penguasaan Hutan
Bagian Ketiga
Penguasaan Hutan
Pasal 4
|
BAB II
BAB II
STATUS DAN FUNGSI HUTAN
STATUS DAN FUNGSI HUTAN
Pasal 5
|
Pasal 6
|
Pasal 7
Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari:
|
Pasal 8
|
Pasal 9
|
BAB III
PENGURUSAN HUTAN
BAB III
PENGURUSAN HUTAN
Pasal 10
|
BAB IV
PERENCANAAN KEHUTANAN
BAB IV
PERENCANAAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
|
Pasal 12
Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:
|
Bagian Kedua
Inventarisasi Hutan
Bagian Kedua
Inventarisasi Hutan
Pasal 13
|
(2), dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
|
Bagian Ketiga
Pengukuhan Kawasan Hutan
Bagian Ketiga
Pengukuhan Kawasan Hutan
Pasal 14
|
Pasal 15
|
Bagian Keempat
Penatagunaan Kawasan Hutan
Bagian Keempat
Penatagunaan Kawasan Hutan
Pasal 16
|
Bagian Kelima
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Bagian Kelima
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Pasal 17
|
Pasal 18
|
Pasal 19
|
Bagian Keenam
Penyusunan Rencana Kehutanan
Bagian Keenam
Penyusunan Rencana Kehutanan
Pasal 20
|
BAB V
PENGELOLAAN HUTAN
BAB V
PENGELOLAAN HUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 21
Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:
|
Bagian Kedua
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Bagian Kedua
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pasal 22
|
|
Bagian Ketiga
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Bagian Ketiga
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Pasal 23
Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. |
Pasal 24
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. |
Pasal 25
Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
Pasal 26
|
Pasal 27
|
|
Pasal 28
|
Pasal 29
|
|
Pasal 30
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. |
Pasal 31
|
Pasal 32
Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. |
Pasal 33
|
|
Pasal 34
Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada:
|
Pasal 35
|
Pasal 36
|
Pasal 37
|
Pasal 38
|
Pasal 39
Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. |
Bagian Keempat
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Bagian Keempat
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Pasal 40
Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. |
Pasal 41
|
|
Pasal 42
|
Pasal 43
|
Pasal 44
|
Pasal 45
|
Pemerintah.
|
Bagian Kelima
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Bagian Kelima
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pasal 46
Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. |
Pasal 47
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:
|
Pasal 48
|
|
Pasal 49
Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. |
Pasal 50
|
titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
|
Pasal 51
|
|
BAB VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN LATIHAN SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN
BAB VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN LATIHAN SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 52
|
Bagian Kedua
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Bagian Kedua
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pasal 53
|
meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan.
|
Pasal 54
|
Bagian Ketiga
Pendidikan dan Latihan Kehutanan
Bagian Ketiga
Pendidikan dan Latihan Kehutanan
Pasal 55
|
Bagian Keempat
Penyuluhan Kehutanan
Bagian Keempat
Penyuluhan Kehutanan
Pasal 56
|
Bagian Kelima
Pendanaan dan Prasarana
Bagian Kelima
Pendanaan dan Prasarana
Pasal 57
|
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut tentang penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
BAB VII
PENGAWASAN
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 59
Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut. |
Pasal 60
|
Pasal 61
Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. |
Pasal 62
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. |
Pasal 63
Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan. |
Pasal 64
Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional. |
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
BAB VIII
PENYERAHAN KEWENANGAN
BAB VIII
PENYERAHAN KEWENANGAN
Pasal 66
|
BAB X
MASYARAKAT HUKUM ADAT
BAB X
MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 67
|
BAB X
PERAN SERTA MASYARAKAT
BAB X
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 68
|
dan informasi kehutanan;
|
Pasal 69
|
Pasal 70
|
BAB XI
GUGATAN PERWAKILAN
BAB XI
GUGATAN PERWAKILAN
Pasal 71
|
yang merugikan kehidupan masyarakat.
|
Pasal 72
Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. |
Pasal 73
|
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN
Pasal 74
|
Pasal 75
|
terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
|
Pasal 76
|
BAB XIII
PENYIDIKAN
BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 77
|
|
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
|
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
|
Pasal 79
|
BAB XV
GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF
BAB XV
GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 80
|
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini. |
Pasal 82
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini. |
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan tidak berlaku:
|
Pasal 84
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. |
Disahkan di Jakarta PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE |
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 September 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
MULADI |
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 167.