Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020/Bab VIII

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 


BAB VIII
PENGADAAN TANAH


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 122
Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pengadaan tanah untuk kepentingan penciptaan kerja, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280); dan
  2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068).


Bagian Kedua
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum


Pasal 123
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280) diubah menjadi sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 8
    1. Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini.
  1. Dalam hal rencana Pengadaan Tanah, terdapat Objek Pengadaan Tanah yang masuk dalam kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf, tanah ulayat/tanah adat, dan/atau tanah aset Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, penyelesaian status tanahnya harus dilakukan sampai dengan penetapan lokasi.
  2. Penyelesaian perubahan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perurndang-undangan di bidang kehutanan.
  3. Perubahan obyek Pengadaan Tanah yang masuk dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khususnya untuk proyek prioritas Pemerintah Pusat dilakukan melalui mekanisme:
    1. pelepasan kawasan hutan dalam hal Pengadaan Tanah dilakukan oleh Instansi; atau
    2. pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan dalam hal Pengadaan Tanah dilakukan oleh swasta.
  1. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 10
    Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
    1. pertahanan dan keamanan nasional;
    2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api;
    3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air dan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya;
    4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
  1. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
  2. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan/atau distribusi tenaga listrik;
  3. jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;
  4. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
  5. rumah sakit Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  6. fasilitas keselamatan umum;
  7. permakaman umum Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  8. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
  9. cagar alam dan cagar budaya;
  10. kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Desa;
  11. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa termasuk untuk pembangunan rumah umum dan rumah khusus;
  12. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  13. prasarana olahraga Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  14. pasar umum dan lapangan parkir umum;
  15. kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  16. kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  1. kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  2. kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  3. kawasan Ketahanan Pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; dan
  4. kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.
  1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 14
    1. Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dengan melibatkan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    2. Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, dan/atau Rencana Kerja Pemerintah/instansi yang bersangkutan.
  1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 19
    1. Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari:
      1. Pihak yang Berhak;
      2. Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah; dan
      3. Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah.
    2. Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pihak yang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah, Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan untuk Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati.
    3. Pelibatan Pihak yang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah, dan Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak yang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah, dan Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah atas lokasi rencana pembangunan.
    4. Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan.
    5. Atas dasar kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.
  1. Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
  2. Pihak yang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah, dan Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah yang tidak menghadiri Konsultasi Publik setelah diundang 3 (tiga) kali secara patut dianggap menyetujui rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 19A, Pasal 19B, dan Pasal 19C sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 19A
    1. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektare dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan Pihak yang Berhak.
    2. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan kesesuaian tata ruang wilayah.

Pasal 19B
Dalam hal Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya kurang dari 5 (lima) hektare dilakukan langsung antara Pihak yang Berhak dan Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (1), penetapan lokasi dilakukan oleh bupati/wali kota.

Pasal 19C
Setelah penetapan lokasi Pengadaan Tanah dilakukan, tidak diperlukan lagi persyaratan:
  1. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
  2. pertimbangan teknis;
  3. di luar kawasan hutan dan di luar kawasan pertambangan;
  4. di luar kawasan gambut/sempadan pantai; dan
  5. analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
  1. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 24
    1. Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
    2. Permohonan perpanjangan waktu penetapan lokasi disampaikan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum masa berlaku penetapan lokasi berakhir.
  2. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28
  1. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan:
    1. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan
    2. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.
  2. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
  3. Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh penyurvei berlisensi.
  1. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 34
    1. Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
    2. Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga Pertanahan disertai dengan berita acara.
    3. Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan mengikat.
    4. Besarnya nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dijadikan dasar untuk menetapkan bentuk Ganti Kerugian.
  1. Musyawarah penetapan bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah bersama dengan Penilai dengan para Pihak yang Berhak.
  1. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 36
    1. Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
      1. uang;
      2. tanah pengganti;
      3. pemukiman kembali;
      4. kepemilikan saham; atau
      5. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  2. Penjelasan Pasal 40 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan.
  3. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42
  1. Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.
  2. Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan juga terhadap:
    1. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau
    2. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
      1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
      2. masih dipersengketakan kepemilikannya;
      3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
      4. menjadi jaminan di Bank.
  3. Pengadilan negeri paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) Hari wajib menerima penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
  1. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 46
    1. Pelepasan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:
      1. Objek Pengadaan Tanah yang dipergunakan sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintahan;
      2. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
  1. Objek Pengadaan Tanah kas desa;
  1. Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi.
  2. Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
  3. Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah Kas Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
  4. Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).
  5. Nilai Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah berupa harta benda wakaf ditentukan sama dengan nilai hasil penilaian Penilai atas harta benda wakaf yang diganti.


Bagian Ketiga
Pelindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan


Pasal 124
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44
  1. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
  2. Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
    1. dilakukan kajian kelayakan strategis;
    2. disusun rencana alih fungsi lahan;
    3. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan
    4. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan.
  4. Dalam hal terjadi bencana sehingga pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak diberlakukan.
  5. Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan.
  6. Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 73
    Setiap pejabat Pemerintah yang menerbitkan persetujuan pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).


Bagian Keempat
Pertanahan


Paragraf 1
Bank Tanah

Pasal 125
  1. Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah.
  2. Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan khusus yang mengelola tanah.
  3. Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
  4. Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.

Pasal 126
  1. Badan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk:
    1. kepentingan umum;
    2. kepentingan sosial;
  1. kepentingan pembangunan nasional;
  2. pemerataan ekonomi;
  3. konsolidasi lahan; dan
  4. reforma agraria.
  1. Ketersediaan tanah untuk reforma agraia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari tanah negara yang diperuntukkan bank tanah.

Pasal 127
Badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat transparan, akuntabel, dan nonprofit.

Pasal 128
Sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari:
  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  2. Pendapatan sendiri;
  3. Penyertaan modal negara; dan
  4. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 129
  1. Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan.
  2. Hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
  3. Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
  1. Dalam rangka mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah diberi kewenangan untuk:
    1. melakukan penyusunan rencana induk;
    2. membantu memberikan kemudahan Perizinan Berusaha/persetujuan;
    3. melakukan pengadaan tanah; dan
    4. menentukan tarif pelayanan.
  2. Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 130
Badan bank tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 terdiri atas:
  1. Komite;
  2. Dewan Pengawas; dan
  3. Badan Pelaksana.

Pasal 131
  1. Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 huruf a diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan beranggotakan para menteri dan kepala yang terkait.
  2. Ketua dan anggota Komite ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usulan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan.

Pasal 132
  1. Dewan Pengawas berjumlah paling banyak 7 (tujuh) orang terdiri atas 4 (empat) orang unsur profesional dan 3 (tiga) orang yang dipilih oleh Pemerintah Pusat.
  1. Terhadap calon unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan proses seleksi oleh Pemerintah Pusat yang selanjutnya disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dipilih dan disetujui.
  2. Calon unsur profesional yang diajukan ke Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit berjumlah 2 (dua) kali jumlah yang dibutuhkan.

Pasal 133
  1. Badan Pelaksana terdiri atas Kepala dan Deputi.
  2. Jumlah Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Komite.
  3. Kepala dan Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Komite.
  4. Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diusulkan oleh Dewan Pengawas.

Pasal 134
Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 135
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan badan bank tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Penguatan Hak Pengelolaan

Pasal 136
Hak pengelolaan merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.

Pasal 137
  1. Sebagian kewenangan hak menguasai dari negara berupa tanah dapat diberikan hak pengelolaan kepada:
    1. instansi Pemerintah Pusat;
    2. Pemerintah Daerah;
    3. Badan bank tanah;
    4. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah;
    5. Badan hukum milik negara/daerah; atau
    6. Badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
  2. Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan kewenangan untuk:
    1. menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang;
    2. menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian tanah hak pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga; dan
    3. menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga sesuai dengan perjanjian.
  3. Pemberian hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas tanah negara dengan keputusan pemberian hak di atas tanah negara.
  4. Hak pengelolaan dapat dilepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat.

Pasal 138
  1. Penyerahan pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) huruf b dilakukan dengan perjanjian pemanfaatan tanah.
  1. Di atas tanah hak pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak ketiga baik sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
  3. Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Dalam hal hak atas tanah yang berada di atas hak pengelolaan telah berakhir, tanahnya kembali menjadi tanah hak pengelolaan.

Pasal 139
  1. Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat membatalkan dan/atau mencabut hak pengelolaan sebagian atau seluruhnya.
  2. Tata cara pembatalan hak pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 140
  1. Dalam hal bagian bidang tanah hak pengelolaan diberikan dengan hak milik, bagian bidang tanah hak pengelolaan tersebut hapus dengan sendirinya.
  2. Hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk keperluan rumah umum dan keperluan transmigrasi.

Pasal 141
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan hak atas tanah di atas hak pengelolaan, dalam waktu tertentu, dilakukan evaluasi pemanfaatan hak atas tanah.

Pasal 142
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak pengelolaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing

Pasal 143
Hak milik atas satuan rumah susun merupakan hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Pasal 144
  1. Hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada:
    1. warga negara Indonesia;
    2. badan hukum Indonesia;
    3. warga negara asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
    4. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; atau
    5. perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia.
  2. Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan.
  1. Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 145
  1. Rumah susun dapat dibangun di atas Tanah:
    1. hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara; atau
    2. hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.
  2. Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan sekaligus dengan perpanjangan haknya setelah mendapat sertifikat laik fungsi.
  3. Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah mendapat sertifikat laik fungsi.

Paragraf 4
Pemberian Hak atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah

Pasal 146
  1. Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan.
  2. Batas kepemilikan tanah pada ruang atas tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Batas kepemilikan tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perurndang-undangan.
  2. Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas dan/atau bawah tanah oleh pemegang hak yang berbeda dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang di bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 147
Tanda bukti hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan hak tanggungan, termasuk akta peralihan hak atas tanah dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik.