Halaman:ADH 0005 A. Damhoeri - Misteri Rimba Mangkisi.pdf/42

Halaman ini telah diuji baca

- 38 -

silakan mamak menyingkir dari sini. Awak kecil, omong besar..."

" Heee, kau jangan lalu lalang begitu, biar keçil ini cabe rawit kau boleh coba jika ingin tahu rasa pedasnya......" Mandugo menyangkutkan kembutnya dipagar, menyingsingkan lengan baju dan celananya.

Tu' Atin tertawa sumbing. Manusia sebesar anak kecil ini akan melawannya. Mandugo mulai pasang kuda-kuda.

" Baiklah kalau itu yang memak mintak, " sambil Tu' Atin bersiap-siap pula. " Kita çoba agak sejamang sambil membuang-buang peluk buruk. Mamak yang datang atau saya yang mulai...?"

" Terserah padamu,..." jawab Mandugo dengan garang. Tu' Atin lalu mulai membuka serangannya, memukulkan kepalannya ke kepala Mandugo yang kecil itu. Tetapi dengan sigap lawannya mengelak sehingga Tu' Atin hanya memukul angin. Darah Tu' Atin semakin panas, anak kecil yang berani mempermain-mainkannya. Namun memang agak sulit juga menyerang manusia kecil yang sebesar kanak-kanak itu dan rupanya ia sigap pula Tu' Atin mengayun kakinya dengan hebat dan dalam sangkanya tentulah si cebol yang tak tahu untung itu akan terbang keudara sebagai bola yang dipermainkan anak-anak, siap untuk ditembakkan ke gawang. Tetapi yang kena hanyalah serumpun gambir sehingga kakinya yang terasa sakit. Kemudian berkali-kali Tu' Atin menyerang Mandugo tetapi tidak satupun yang mengenai sasarannya. Sehingga Tu' Atin merasa heran juga. Rupanya berisi juga manusia kecil itu. Sedikitpun ia tak menyangka bahwa si cebol itu punya kesigapan dan keahlian yang dapat juga dihandalkan.

Tu' Atin menghentikan serangannya. Mandugo belum membalas.

" Mamak memang hebat," puji Tu' Atin. " Saya tidak mengira sampai demikian. Tetapi maaf mak, saya sebenarnya tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Namun dengan melihat gaya mamak saya takkan berhasil. Mamak memang cabe rawit, saya akui.

Tu' Atin mengunjukkan tangannya, Keduanya bersalaman. Tu' Atin terpaksa membungkuk dalam-dalam agar dapat mencapai tangan Kandugo.

" Sekarang marilah kita ke pondok dulu mak, untung-untung masih ada kopi dingin..." Mandugo mengambil kampilnya dan mengiringkan Tu' Atin naik kepondoknya.

Mandugo lebih senang duduk diatas bangku saja. Dari sana lepas bebas pemandangan ke jalan setapak yang berbelit-belit menuju desa.