’’Tentu saja kawan-kawan bergembira. Mereka akan berjumpa dengan anak istrinya yang sudah lama berpisah. Tetapi aku siapa akan kujumpai? Semuanya masih asing bagiku. Memang ada si Bulan dahulu milikku, tetapi sudah dirampas orang lain.”
Tenggang mengisahkan sedikit tentang hubungannya dengan si Bulan. Temannya tersenyum, ”Ah, engkau sedih kehilangan si Bulan? Tak usah risau Tenggang! Di Labuhan banyak bulan. Bahkan jauh lebih indah dan cemerlang dari Bulanmu yang hilang itu. Kau anak angkat Nakoda Jaya. Kau kesayangan kapitan yang berkuasa di kapal ini. Saudagar Biram punya sebutir bulan yang tak terperikan keelokannya. Kau pasti akan terpesona melihatnya, ....” Ditepuknya pundak si Tenggang dan berlalu dari temannya.
Tetapi bagi Tenggang semuanya hanya khayalan. Di cakrawala banyak bulan dan bintang bertaburan. Semuanya indah dan gemerlapan. Tetapi semuanya terlalu tinggi bagi si Tenggang. Ia hanya seorang pemuda Sakai yang miskin.
Dalam pada itu Elang Segara sudah merapat di dermaga. Banyak sekali orang menyambut kedatangannya. Juga kaum keluarga anak kapal. Semua mereka gembira. Gembira yang menanti, gembira pula yang datang. Bagi Tenggang lain pula soalnya. Tak seorang pun dikenalnya antara manusia sebanyak itu.
Tetapi Tenggang tak dapat melamun lama-lama. Seorang pesuruh datang memanggilnya untuk menghadap nakoda.
’’Nah, anakku Tenggang!” ujar nakoda itu. ’’Sekarang kita akan naik ke darat. Kau akan kupertemukan dengan istriku yaitu ibumu.”
Alangkah senangnya hati si Tenggang karena ia akan mendapat seorang ibu. Walaupun hanya ibu angkat. Nakoda pun turun dan menuju ke rumahnya. Bukan main gembira istri nakoda Jaya. Sebab suaminya sudah pulang. Kegembiraannya kian memuncak ketika suaminya berkata, ’’Ini si Tenggang! Ia sudah kuanggap anak sendiri. Dan bagimu anggap pulalah sebagai anak kandung, karena kita tak mempunyai anak seorang pun.”
20