Istri nakoda menatap wajah anak muda yang tampan itu. Tenggang segera berlutut menghormati ibu angkatnya.
”Berdirilah, Anakku,” katanya, ”kau kuanggap anakku dan kau anggaplah kami sebagai ayah dan ibu kandungmu pula.”
Tenggang berjanji dalam hatinya akan bersikap mematuhi kedua orang tua itu. Dipandangnya orang tua kandungnya. Memang si Tenggang pandai menenggang hati orang. Tak berapa lama istri nakoda sudah terpaut kepada anak muda yang sopan, rajin bekerja, dan giat menuntut berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu pelayaran. Kedua belah pihak merasa sama-sama terhibur. Tenggang mendapat orang tua dan nakoda suami istri mendapat seorang putra.
Dalam pada itu kapal Elang Segara memunggah muatannya. Semingggu lamanya kuli-kuli membongkar muatan kapal itu. Isinya: damar, gaharu, cendana, rempah-rempah, emas perak, dan barang-barang lainnya. Barang-barang itu dijual dengan harga yang layak. Berlipat ganda dari pokoknya semula. Bukan main banyaknya keuntungan yang didapat. Belum lagi dari pelayaran yang lain-lain.
Separo dari keuntungan itu untuk saudagar Biram yang punya kapal dan nakoda Jaya. Seperdua yang lain dibagi secara adil dan merata antara anak-anak kapal. Tenggang menerima pula bagiannya yang cukup lumayan banyaknya. Tetapi Tenggang tak mau menerimanya. Bagiannya diserahkannya kepada ayah angkatnya. Diserahkannya mempergunakan uang itu bagaimana baiknya. Nakoda membagi dua pula bagian si Tenggang. Separo dimasukkannya menjadi modal. Dan sebagian yang lain dibelikannya untuk keperluan Tenggang anak angkatnya. Membeli pakaian, alat-alat keperluannya yang lain. Sehingga sekarang Tenggang sudah menjadi seorang pemuda yang ganteng dan gagah.
Semakin bertambah sayanglah nakoda kepada si Tenggang. Tetapi dia tidak seperti anak-anak muda yang lain. Waktunya selama istirahat di Labuhan Puri dipergunakannya sebaik-baiknya. Untuk belajar dan memperhatikan segala sesuatunya. Otaknya memang cerdas.
21