dari seorang raja. Pesta pun diadakan untuk menghormati kedua istri Nakoda Tenggang.
Selama pelayaran itu cuaca sclalu baik. Elang Segara meluncur bagai anak panah lepas dari busur. Tetapi setelah beberapa lamanya berlayar peijalanan mereka terganggu juga. Hari itu udara agak buruk. Awan mendung hitam lebam tergantung di langit. Udara panas menyesakkan. Angin pun mulai bertiup, semakin lama semakin kencang. Kini sudah berubah menjadi badai yang tak tanggung-tanggung kencangnya. Elang Segara teroleng-oleng, terayun-ayun di puncak-puncak ombak yang setinggi-tinggi rumah. Semua penumpang yang biasanya bersuka ria itu kini rebah terbaring dan terdengar suara di setiap sudut. Tetapi bukan suara nyanyian melainkan suara orang muntah-muntah. Segala perut dikocok dan menyemburkan isinya keluar. Hanya anak kapal dan Nakoda Tenggang yang tak apa-apa. Sebab mereka biasa dengan kejadian serupa itu.
Segala anak kapal berusaha sekuat tenaganya melepaskan Elang Segara dari amukan badai yang dahsyat itu. Tetapi lautan semakin menggila. Elang Segara dijadikannya ibarat sekeping sabut diempas-empaskannya kian ke mari. Nakoda Tenggang berusaha mencari jalan ke luar dari keadaan yang berbahaya itu. Petir dan kilat pun sabung menyabung menambah kehebatan alam yang sedang mengamuk itu. Nakoda Tenggang memerintahkan juru mudi mengarahkan haluan menuju ke daratan. Dan dengan pertolongan Allah kelihatanlah muara sebuah sungai. Kapal Elang Segara memasuki muara sungai itu melindungkan diri dari lautan yang semakin menggila sejadi jadinya. Kalau terlambat pastilah Elang Segara sudah dibalikkannya dan dikirimnya ke dasar samudera. Tetapi Tuhan masih melindungi kapal itu cepat memasuki muara sungai itu dan berlabuh di tengah sungai. Kini sudah bebas dari amukan badai yang amat dahsyat itu. Nakoda Tenggang dapat bemafas lega dan kedua istrinya sudah merasa tentram pula hatinya.
34