Halaman:ADH 0006 A. Damhoeri - Nakoda Tenggang.pdf/46

Halaman ini tervalidasi

”Nyah kalian, monyet-monyet ...!" teriaknya.

"Tenggang .... Tenggaaaaang ...!

Nakoda Tenggang sudah siap akan menerjang orang tua itu, ketika Puspa Sari dengan tertatih-tatih dibimbing orang ke geladak.

”0, anakku Tenggang, rupanya kamu tak sudi mengakui lagi kami orang tua buruk ini sebagai ayah dan ibumu. Kamu sudah mendurhaka, Tenggang! Moga-moga Tuhan akan membalas kejahatanmu, Tenggang!”

Dengan tertatih-tatih dan letih lesu Mak Deruma dipapah lakinya turun kembali ke perahu.

"Kanda,” jerit Puspa Sari. "Jangan berbuat sekejam itu Kanda. Jika memang mereka orang tua Kanda, akuilah. Mohonlah ampun kepada beliau ... jangan mendurhaka, Kanda!”

Tetapi wajah Tenggang sudah sebagai udang dibakar karena marahnya. Seluruh badannya gemetar.

"Jangan biarkan mereka pergi, Kanda! Kasihan, sekalipun bukan orang tua Kanda tak Patut Kanda berbuat sekejam itu ...!”

Nakoda Tenggang terdiam seketika. Ada pancaran kilat menyambar dalam hulu hatinya. Jantungnya bagai diiris-iris. Tiba-tiba Tenggang melambaikan tangannya dan berlutut di tepi pagar geladak. Ia berseru, ’’Ibuuuuu ... buuuu. Tenggang menyesal, Bu! ampuni Tenggang, ... Buu! Ampuni Tenggang Buuu ...!” ia akan menyusul kedua orang tuanya yang sudah tiba dalam perahunya dan berkayuh ke daratan. Nakoda Tenggang berlutut dan menyeru-nyeru ibunya, ibu yang tak diakuinya lagi, ibu yang sudah melahirkannya ke atas dunia ini. Mak Deruma mendengar imbauan anaknya. Ia menoleh ke belakang. Ia mendengar seruan anaknya. Ia merasa bimbang. Tetapi semuanya sudah terlambat.

Pada saat itu terdengar bahana yang amat dahsyat turun dari langit. Awan hitam tebal berkumpul di udara. Angin puting beliung yang sangat kencangnya turun dari atas dan mula-mula berputar-putar di atas air sungai. Air sungai itu merupakan pesongan raksasa

44