Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 2.pdf/28

Halaman ini tervalidasi

AMERTA, 2 1985

3


PENINGGALAN-PENINGGALAN PURBAKALA
DI PADANG LAWAS

S. Suleiman




Peta Kepurbakalaan di Padang Lawas

 Di dataran yang panas kering, yang kini hanya ditumbuhi alang-alang dan beberapa pohon di sana sini, di sekitar Sungai Panei dan Barumon, yang mengiris tanah Padang Lawas, nampaklah di hadapan pandangan runtuhan-runtuhan berbagai biaro yang menjulang tinggi. Daerah yang sunyi senyap itu, yang pada waktu ini tidak banyak di datangi orang, dahulu menjadi pusat agama dalam Kerajaan Panei. Biaro-biaro itu, yang dahulu dicipta sebagi syair pujian dari batu dengan puncaknya menjulang ke langit, kini masih berceritera tentang kemegahan kerajaan itu, tentang agama yang berkembang beberapa abad lamanya, dan tentang seni bangunan dan seni pahatnya, semua itu bukti-bukti yang nyata dari kebudayaan yang bermutu tinggi.
 Kerajaan Panei itu dua kali disebut dalam sejarah. Untuk pertama kalinya, seorang raja dari India Selatan yaitu Rahendracola I menyebut Paneri (Pannai) dalam prasastinya tahun 1025 dan 1030, yang ditulis dalam bahasa Tamil. Prasasti itu dikeluarkannya ketika ia habis berperang dalam tahun 1023 dan 1024 dengan kerajaan Sriwijaya-Kadaram, yang menurut para sarjana letaknya di kedua belah pugak Selat Malaka. Setelah Rajendracola I itu menaklukan Sriwijaya, maka Pannailah yang jatuh ke dalam tangan Baginda. Kerajaan itu disebutnya "Panai yang diairi oleh sungai-sungai".

 Untuk kedua kalinya Panei disebut dalam buku "Nagarakartagama", sebuah syair pujian yang dikarang oleh Prapanca, seorang pujangga yang menjabat pegawai tinggi untuk soal-soal

23