Menurut Dr. Stutterheim, bunyi ha dan sebagainya itu adalah bunyi tertawa dan bunyi hu adalah bunyi suara banteng. Pertulisan itu, yang menurut Dr. Stutterheim dapat ditempatkan dalam akhir abad ke-13 atau dalam pertengahan abad ke-14, membawa kita justru ke Raja Krtanegara dari Singasari atau Raja Adityawarman dari Melayu. Tidak diketahui adanya perhubungan antara Krtanegara dan Padang Lawas atau Panei, atau perhubungan antara Adityawarman dengan Padang Lawas-Panai, tetapi yang terakhir itu mungkin juga karena daerah Minangkabau, yaitu pusat Kerajaan Melayi pada waktu itu, boleh juga dihubungkan dengan Padang Lawas dengan melalui jalan-jalan hutan rimba. Tidak
mengherankan jika aliran Wajrayana itu yang rupanya menjadi suatu aliran yang sangat disukai raja-raja yang berkuasa pada waktu itu, dapat tersebar dengan melalui jalan-jalan di darat dan di laut.
Pertulisan dari Aek Sangkilon yang telah di sebut di atas juga menunjukkan pula ke arah wajrayana, karena mewartakan diupacarakannya sebuah arca Yamari, yang mempunyai 'delapan muka, dua puluh empat mata, dan sebuah untaian tengkorak. Yamari adalah suatu nama untuk dewa yang terpenting dalam aliran wajrayana. Sayang sekali arca itu tidak ditemukan.
Kecuali pertulisan-pertulisan itu, maka aliran wajrayana ternyata juga dari arca-arca. Dalam Biaro Bahal II ditemukan sebuah arca yang sangat rusak, tetapi bagian-bagiannya dapat dihubung-hubungkan lagi yang satu dengan yang lain, sehingga arca itu dapat dikenal kembali sebagai arca Heruka, yaitu suatu bentuk lain dari dewa yang terpenting dalam aliran Wajrayana itu.
Tadi kami sebutkan di atas sebagai salah satu perbuatan di ksetra dari para pengupacara, ialah menari dan minum darah. Maka tidak mengherankan jika seorang dewa yang terpenting dari wajrayana itu, seperti Bhairawa atau Heruka itu diwujudkan seraya menari di atas jenazah, sambil memegang sebilah pisau dalam tangan yang satu dan sebuah mangkuk tengkorak dalam tangan yang lain.
Bahwa beberapa raja suka diwujudkan sebagai Bhairawa itu, adalah dengan maksud bahwa mereka berlaku sebagai dharmapala, pelindung agama, yang dalam wujud yang menakut-nakuti itu, menghukum musuh agamanya. Raja Adityawarman dari Kerajaan Melayu dalam abad ke-14 diwujudkan juga demikian selaku Bhairawa;
28