Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 2.pdf/50

Halaman ini tervalidasi

AMERTA, 2, 1985

5





NEKARA-NEKARA PERUNGGU


H.R. van Heekeren



Lama sebelum pengaruh-pengaruh Hindu yang pertama berlaku, di Indonesia berkembang suatu kebudayaan yang mutunya sudah agak tinggi. Kebudayaan itu, yang oleh para ahli prehistori disebut Kebudayaan Dongson, timbul kira-kira pada tahun 300 S.M. .dari penggabungan anasir-anasir Melayu-kuno serta Tionghoa di Indo-China. Lagipula ternyata dengan jelas bahwa kebudayaan Hallstatt di Eropa pun memberi banyak iuran kepada terbentuknya kebudayaan itu. Kebudayaan Dongson itu tidak lama sebelum tarikh Masehi tersebar di Indonesia sampai ke pantai utara Irian.

Suatu unsur yang penting dari kebudayaan itu adalah nekara perunggu. Nekara-nekara itu, yang acap kali indah hiasannya, sejak dahulu telah menarik perhatian para pengumpul barang-barang kesenian. G.E. Rumphius dalam tahun 1682 telah mengirim sebuah nekara yang asalnya tak diketahui sebagai hadiah kepada Groother-tog Toscane. Dalam tahun 1704 ia menulis tentang nekara yang termashur dari Pejeng di Bali. Dalam tahun 1883 sebuah nekara dipamerkan di Wina. Nekara itu adalah milik pengumpul barang kesenian Hans Wilczek yang dalam tahun 1880 membelinya di Florence. Asal dan artinya belum diketahui pada masa itu. Dalam tahun itu juga sebuah benda yang demikian, yang kali ini mempunyai katak di atas bidang permukaannya, terliha pada pameran internasional di Amsterdam. Payer, seorang Austria yang lama bekerja pada istana Raja Siam, mengenalnya kembali sebagai nekara yang berasal dari Asia.

Ahli ilmu kebudayaan A.B. Meyer dalam tahun 1884 menerbitkan sebuah karangan yang panjang lebar tentang 52 buah nekara, 40 di antaranya di museum-museum dan dalam kumpulan-kumpulan perseorangan di Dresden, Wina, Roma, Paris, London, Leiden, Calcutta, Jakarta dan Stockholm. Pun para ahli Sinologi seperti, F. Hirth, J.J. Groot, dan W. Foy mulai menaruh perhatian terhadap hal itu. Karangan Franz Heger yang klasik tentang nekara-nekara, yang terbit dalam tahun 1902, telah menyebutkan 165 buah, dan H. Parmentier dalam karangannya tahun 1918 menyebut tidak kurang dari 188 buah nekara. Sesudah itu masih ditemukan lagi berbagai pendapatan dalam lapangan itu. Terutama tahun 1937 adalah tahun yang subur yang banyak hasilnya, karena dalam tahun itu diketemukan nekara yang termashur dari Hoang-Ho di wilayah Tonkin serta juga lima nekara yang bukan main indahnya di Pulau Sangeang di sebelah timur Pulau Sumbawa.

Dari semua karangan itu antara lain ternyata, bahwa daerah tersebarnya nekara-nekara itu sangat luas, dari Mongolia Dalam, seluruh Tiongkok, India Belakang dan Indonesia, sampai di Kepulauan Kei. Pun ternyata juga bahwa kebiasaan-kebiasaan tentang perbuatan, pemakaian, dan pemujaan benda-benda itu dapat bertahan selama lebih dari dua ribu tahun, karena dalam buku-buku sejarah Tionghoa dari zaman Han telah disebut nekara-nekara yang dapat direbut dari orang-orang biadab "Man", sebelum permulaan

45