hotel agar mengaso. Kemudian kami menuju ke Rumah Bari, sedangkan Sdr. Saleh pergi menyelesaikan urusan motorboot.
Di Rumah Bari kami tinggal sampai hampir setengah satu. waktu yang selama itu kami pergunakan untuk menelaah koleksi seluruhnya, di antaranya ada beberapa patung yang menarik perhatian. Hanya ternyata bahwa banyak sekali barang-barang yang sudah tidak ada lagi. Pun dari koleksi batu-batu di halaman banyak yang tak kami jumpai lagi, seperti belahan batu bersurat dari Bukit Siguntang dan batu-batu siddhayatra. Setumpukan batu-batu kami bongkar, dan terntata ada tiga yang bertuliskan ”Jaya siddhayatra.”
Pk.12.30 kami menuju Bukit Siguntang. Oleh karena hari telah siang, maka kali ini kami hanya melakukan peninjauan sepintas lalu untuk mengenal bukit ini dari dekat. Kecuali makam-makam Iskandar Zulkarnain dan Putri Cempa (Cina) yang ternyata tak seberapa penting dari sudut ilmu purbakala, di sana terserak batu-batu bata berukuran besar (serupa batu Majapahit).
Pk.1.30 kami pulang. Sehabis makan van Heekeren sakitnya bertambah, sehingga kami panggilkan dokter Lo Djien Soei yang tak lama kemudian datang. Dokter menyatakan penyakitnya berat dan mustahil van Heekeren beberapa hari lagi akan sudah dapat pergi ke daerah Pasemah dengan tidak membahayakan dirinya. Van Heekeren disuntik agar dapat mengaso setenang-tenangnya dan diberi resep.
Pk. 4 sore Sdr. Saleh sudah datang dan setengah jam kemudian kami ada di boom D.K.A., di mana kapal Candramawat dari N.V. Ong Boen Tjit telah menunggu. Perjalanan di air kami mulai dengan menuju ke Pulau Seribu di tepi Kali Ogan di sebelah hulu Kertapati. Menurut keterangan yang diperoleh Sdr. Saleh, di sana ada terdapat peninggalan-peninggalan purbakala. Untuk penjelasan lebih lanjut kami menemui Kepala Kampung Pulau Seribu yang rumahnya di tepi Ogan benar. Olehnya dijelaskan kepada kami bahwa sisa-sisa Keraton Kesultanan sudah tidak ada sama sekali. Yang tinggal hanyalah kebun-kebun saja dan bekas-bekas taman tempat pesiar. Di sana ada 99 pulau kecil-kecil yang masing-masing mempunyai nama buah. namun kami nyatakan bahwa kami akan meninjau juga ke sana. Sayang sekali maksud kami tak dapat terlaksana, oleh karena kami harus melintasi rawa-rawa yang tak mungkin dilalui dengan jalan kaki dan harus berperahu, sedangkan karena air surut maka dengan perahu pun tak dapat.
Menjelang magrib kami melanjutkan perjalanan, kini ke hilir sampai Sungaigerong/Plaju, kemudian balik. Sampai di pangkalan Ong Boen Tjit sudah pk. 8.30 malam. Kesan yang kami peroleh dari kota Palembang sangat memuaskan. Letakannya di atas air memberi bayangan yang jelas, betapa penting kedudukannya di masa yang lampau sewaktu kota ini dengan daerah pedalaman sebagai latar belakangnya memegang peranan utama dalam dunia politik dan perdagangan yang hanya dapat dilakukan melalui air.
Pk. 9 malam kami sampai di hotel. Sesudah makan kami berkumpul untuk mendengarkan keterangan-keterangan Dr. Verstappen mengenai apa-apa yang harus kami perhatikan dari udara esok harinya. Oleh karena hasrat kami adalah untuk mencoba melihat garis pantai Sriwijaya, pembicaraan dan persoalan menjadi panjang lebar, dan berlangsung sampai pk. 10.30 lebih. Tetapi sementara itu dapat kami tetapkan rute mana yang akan kami minta dan apa saja yang akan dapat menjadi petunjuk dalam peninjauan kami.
Rabu, 3 Maret 1954
Pk. 8.30 kami sudah ada di Talangbetutu. Segera kami mengadakan perundingan, terutama mengenai rute perjalanan, dengan komandan pesawat Heron yang akan membawa kami melakukan peninjauan dari udara. Setelah selesai semua kami diberitahukan, bahwa karena cuaca buruk kami harus menunggu dahulu. Sementara itu berita-berita cuaca dari Pendopo dan Jambi tidak banyak memberi harapan. Demikianlah pada akhirnya pk. 11.30 diputuskan untuk menunda penerbangan keliling itu. Sore hari pk. 3 kami akan mendapat tahu jadi tidaknya penerbangan hari ini.
6