Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 3.pdf/20

Halaman ini tervalidasi

Candi Gumpung, Muara Jambi

Karang Brahi belum dikunjungi, belumlah kami akan dapat bekerja dengan tenang. Jika mungkin bahkan kami ingin ke sana hari ini juga! Karena ini tak dapat, maka kami putuskan untuk pergi dahulu ke tempat yang terjauh di daerah Jambi.

Pk. 9.30 kami ke kantor Syahbandar. Kami mendapat kapal B-O 46, tetapi karena kapal itu baru pulang dari dok di Jakarta maka harus diisi minyak dahulu dan diperiksa mesinnya. Kami menunggu terus hampir putus asa dan akhimnya pk. 12 dapatlah kami berangkat menuju Muara Jambi. Tetapi apa lacur! Beberapa menit setelah kami meninggalkan pangkalan, kapal tak mau jalan, meskipun mesin bekerja terus. Dengan susah payah kapal dapat ke tepi lagi. Ternyata bahwa handle tak dapat masuk dan perjalanan harus dibatalkan! Beberapa orang dari kami lalu mendarat. Sementara itu di kamar mesin rupanya orang bekerja keras, sebab tak lama kemudian kami mendapat kabar, perjalanan jadi juga!

Demikianlah maka pk. 1.30 dengan bunyi sirine kami meninggalkan Jambi. Kira-kira satu jam kami berlayar, lalu mesin mati dan % jam lamanya kami terapung-apung terbawa arus. Akhirnya pk. 2.45 kami mendarat dengan selamat di Muara Jambi.

Dengan diantar oleh Pasirah sendiri dan beberapa orang lainnya mula-mula kami mengunjungi Candi Tinggi dan kemudian Candi Gumpung yang berdekatan, setelah menempuh jalan yang penuh lumpur dan pacet di dalam rimba raya. Keadaan kedua candi ini amat menyedihkan. Pada Candi Tinggi bahkan tak ada sesuatu bentuk yang nampak kecuali bukit yang tertutup oleh tumbuh-tumbuhan yang amat subur, sedangkan di kaki bukit ini batu bata bertebaran. Pada Candi Gumpung masih nampak ada batur-batur. Pun di sini tumbuh-tumbuhan amat rindangnya, dan batu-batu bara tersebar tanpa aturan. Kecuali bukit-bukit itu menjadi pula petunjuk akan bangunannya lubang-lubang bekas penggalian yang mungkin sekali dilakukan oleh Schnitger. Di sekitar kedua candi ini banyak pula batu-batu bata yang memberi kesan akan adanya sisa-sisa tembok yang membatasi halaman-halaman candi.

Dari kedua candi ini kami kembali lagi ke kampung. Candi Gedong I dan II, Candi Gudang Garam dan Candi Gunung Perak yang semuanya disebutkan oleh Schnitger (Hindoe Oudhedenaan de Batang Hari) tidak dapat kami kunjungi, oleh karena terlalu jauh dalam hutan, sedangkan waktu yang masih ada pada kami tidak cukup. Maka kami menuju ke Astano di sebelah timur kampung. Di jalan ke sana kami melihat dulu dua "batu catur" yang kini ada di tepi sungai di depan sekolah dan dikatakan berasal dari Astano. Batu-batu ini merupakan padmasana dengan ukiran lapik teratai yang mirip sekali kepada ukiran zaman Singasari. Yang satu bentuknya segi empat dan yang kedua bulat. Bidang atasnya sudah lekuk-lekuk karena dipakai untuk mengasah pisau dan grip anak-anak sekolah, hal mana mudah sekali terjadi mengingat bahwa di Muara Jambi kami tak melihat adanya batu. Pun batu bata yang terkumpul di berbagai halaman rumah ternyata berasal dari candi-candi Tinggi dan Gumpung.

Dengan dua sampan kari menuju Astano, berlayar di rawa melalui semak belukar dan di antara batang-batang pohon. Kami berhenti tepat di kaki sebuah bukit yang ternyata tempat Astano-

15