pat di tepi sungai (adi di atas tanah muda) yang mempunyai peninggalan purbakala di dekatnya, harus diambil kesimpulan bahwa tempat itu telah "berpindah" mendekati "Jalan raya".
Demikianlah misalnya terbukti di Muara Jambi, yang kini terletak di tepi Batang Hari. Peninggalan-peninggalan purbakala terdapatnya di sebelah utara dusun, beberapa jauh dari tepi sungai di atas tanah yang lebih tinggi. Menilik peta geologi, maka nyata benar bahwa "di belakang" Muara Jambi ada punggung tanah tua. Dan pada lereng inilah kira-kira letaknya Candi Tinggi, Candi Gumpung, dan Astano yang kami kunjungi (nyata benar letak yang tinggi ini misalnya di Astano. Dari dusun kami naik sampan melalui rawa-rawa yang airnya berasal dari Batang Hari yang dewasa itu sedang tinggi. Sampan berhenti di lereng bukit, kami naik ke atas dan tibalah kami di Astano).
Di Jambi kami mendengar, bahwa di Simpang dan Muara Sabak ada pula peninggalan-peninggalan purbakala. Tempat-tempat itu kini letaknya di tepi sungai di dataran rendah alluvium. Apa sifat kepurbakalaan itu masih harus diteliti lebih dulu. Akan tetapi dengan pengetahuan kita tentang peta geologi dan letak Muara Jambi, maka pun di sini kita harus menarik kesimpulan yang sama. Kedua tempat itu telah berpindah dari pulau atau renah ke tepi sungai.
Dari peta geologi nyata bahwa Muara Sabak letaknya dekat tanah tertier (pulau di Teluk Jambi), dan bahwa di sini ada tiga buah pulau. Mengingat bahwa menurut Ptolemaeus (lihat Krom. H-J gesch. 1931 halaman 60) ada 3 pulau Sabadeibai yang oleh Krom dilokalisasikan di "Sumatra's Zuid-Oos-kust" sedangkan 'Wanner wij in deibai weder het gewone dwîpa in zijn Prâkrit-vorm vertegen woordigd mogen denken, houden wij Saba als eigenlijken plaatsnaam over", maka timbullah pertanyaan apakah tidak ketiga pulau di teluk Jambi itulah yang dimaksudkan? Dapatkah pula "Zâbag" dari berita Arab itu diidentifikasikan dengan (Muara) Sâbak sekarang (jadi tidak dengan Têbo seperti pendapat Obdeyn)?
Pertanyaan-pertanyaan ini barulah dapat dijawab kiranya dengan penyelidikan-penyelidikan lebih lanjut, baik dari penelaahan lagi sumber-sumber sejarah yang bersangkutan maupun dengan penggalian di tempat.
Satu hal lagi yang dapat dihubungkan dengan soal pindahnya kota mendekati sungai ialah berita yang kami terima sehari sebelum meninggalkan Palembang bahwa di dekat Kayu Agung ada benda-benda purbakala ditemukan. Di peta geologi nyata bahwa Kayu Agung letaknya di tepi tanah tertier. Maka temuan kepurbakalaan di situ, meskipun belum dapat ditentukan bagaimana sifatnya, hanyalah memperkuat dugaan-dugaan yang telah dikemukakan di atas.
Akhirnya sepatah kata tentang Kota-Kapur di Bangka dan Karang Brahi di dekat Bangko. Melihat rekonstruksi garis pantai Sriwijaya dan kedudukan Sriwijaya sebagai pusat kekuatan maritiem, maka sudah selayaknyalah di berbagai tempat dekat "jalan raya" ada daerah-daerah yang dikuasai guna menjamin keselamatan pusat tadi. Dengan demikian maka dapat kita bayangkan, bahwa Bangka harus menjadi "pelindung" jalan laut, sedangkan Karang Brahi harus menjamin jalan darat antara Palembang/Jambi dan Minangkabau (sampai kini jalan darat ini penting sekali untuk hubungan timur dan barat Sumatra).
2. Rumah Bari Palembang
Kesan pertama-tama yang kami peroleh dari museum ini, yang didirikan atas inisiatif Dr. F.M. Schnitger beberapa tahun sebelum pecah Perang Dunia II, ialah bahwa keadaannya sangat kurang terpelihara. Bahwa ada batu purbakala di halamannya, yang sekarang masih dipergunakan untuk mengasah pisau, menidakperlukan lagi penjelasan lebih lanjut mengenai keadaan yang mengecewakan itu. Memang adanya sekarang sungguh tidak sepadan benar dengan pentingnya benda-benda purbakala dari zaman Sriwijaya dan Kesultanan Palembang yang dipercayakan kepada asuhan museum ini! Pagar halaman tinggal sisa-sisa saja, sehingga setiap orang dan binatang dapat keluar masuk dengan sekehendaknya. Rumput di halaman sudah menutupi sebagian dari arca-arca dan fragmen-fragmen, rupanya sudah beberapa bulan belum dipotong. Di kolong museum terdapat berbagai macam batu, sebagian telah hampir seluruhnya terpendam dalam tanah. Tidak mustahil bahwa batu-batu itu adalah benda-benda purbakala!
Demikianlah keadaan museum yang satu-satunya di Sumatra Selatan itu! Hal yang menyedihkan ini telah kami bicarakan dengan Walikota Palembang. Minat yang diperlihatkan beliau memberi harapan baik. Soalnya ialah bahwa Kota Praja tidak cukup keuangannya untuk mengurus museum itu
40