Pembacaan di tempat tak dapat dilakukan dengan sempurna karena sempitnya waktu. Foto-foto yang dibuat ternyata tidak memungkinkan pembacaan seluruhnya. Untunglah masih ada salinan tulisan itu. Salinan ini tak dapat kami percaya betul-betul, namun dapat pula membantu pembacaan foto yang kurang memuaskan itu.
Hasil penelitian lebih lanjut berdasar atas bahan-bahan yang tidak sempurna itu adalah untuk sementara sebagai berikut:
Piagam ini diberikan oleh Kanjeng Sultan Ratu dari Palembang kepada Ki Dipati Murttana pada tahun 1729 A.J. = 1802 M. Isinya sebagian terbesar persis sama dengan piagam yang diberikan oleh Sultan Ratu itu kepada Dipati Rupit dan yang didapatkan di Rawas (untuk ini lihat Brandes, Nogeenige Javaansche piagems etc . . . . . . . . dalam T.B.G. XXXI, 1886).
Karena persamaan itu dapatlah dengan membandingkan kedua piagam tadi keping ke-5 dari Mandiangin diketahui pula isinya.
Adapun yang diuraikan dalam piagam itu ialah mengenai hutang-piutang yang disebabkan oleh perdagangan, judi, sabung ayam, antara orang-orang Palembang dan penduduk desa. Bila ada orang melanggar hukum maka ditentukan orang itu akan dikirim oleh "prawatin" ke Palembang. Pencuri harus mengembalikan barang curiannya kepada yang empunya dalam jumlah/harga yang digandakan, sedangkan ia harus melakukan kerja paksa.
Menarik perhatian pula ialah aturan, bahwa anak-anak yang bungkuk, kerdil, kembar, atau mempunyai keanehan lain lagi, harus diserahkan kepada Sultan.
9. Daerah Pasemah
a. Megalithikum.
- Keban:
Di dusun ini terdapat 2 buah batu yang dipahat, tetapi bentuknya tidak jelas. Sebuah di antaranya berbentuk teras bersusun tiga. Teras bawah berbentuk persegi empat, yang tengah berisi delapan dan yang atas berbentuk lingkaran. Di atas lingkaran ini terletak pecahan-pecahan batu yang diikat pada "batu teras" ini dengan tali rotan.
Batu-batu ini dibungkus dalam kain putih panjangnya sembilan depa dan di letakkan dalam Rumah-Dewa, yaitu rumah kecil di atas tiang yang tingginya kl. 2 m. Rumah ini oleh penduduk dusun disebut juga "Tapak Ngawak", yang berarti "tempat tinggal yang pertama kali dari Dewa". Bentuk langit-langit sebagai lingkaran dan atap dibuat dari pada alang-alang. Keseluruhan rumah ini menyerupai bentuk "sanggah kemulan" (rumah pemujaan roh nenek moyang) di Bali.
Menurut Jurai-tua, maka batu-batu ini dipergunakan sebagai "senjata pertanian" atas perintah wali-wali yang berdiam di hutan di dekat dusun. Sehabis "nogal" (masa menanam benih padi) batu-batu ini di turunkan dari Rumah-Dewa dan di mandikan dengan air yang dicampur dengan jeruk nipis dan minyak. Setelah batu di mandikan dan berganti kain pembungkus baru, diadakan selamatan oleh penduduk di surau dusun. Menurut cerita turun-menurun batu-batu ini berasal dari 2 ekor macan kumbang yang berganti rupa batu, setelah oleh penduduk berhasil ditangkap dengan 2 lembar kain putih.
Karang indah:
Arca orang naik gajah dinamakan penduduk "Putri". Menurut cerita arca ini asal mulanya seorang adik perempuan si Pait Lidah yang dikutuknya menjadi batu.
Kepala arca yang terlepas dari badannya, sekarang sudah dilekatkan kembali pada badannya dengan semen. Di tempat arca ini dua tahun yang lalu telah dibuat oleh penduduk sebuah perumahan. Jadi ternyata bahwa arca masih dipelihara baik-baik dan dipuja-puja pada waktu orang mempunyai keinginan akan sesuatu.
Tinggihari:
Dari kompleks megalith yang terutama harus diperhatikan ialah batu berdiri (menhir) yang diukir. Menhir ini ketika diselidiki oleh Tombrink, Westenenk, dan v.d. Hoop tertelentang di tanah (terjatuh). Pada saat ini menhir telah didirikan kembali. Dalam mengupas gambar-gambar pahatan pada menhir oleh ketiga orang tersebut di atas tadi rupa-rupanya tidak terlihat atau kurang diperhatikan hal sebagai berikut ini: di atas bahu gambar orang masih terlihat dengan jelas dua belah kaki yang besar dari orang yang sikapnya berjongkok. Lutut-lututnya tampak jelas. Kedua belah tangan melekat pada betis. Pantat sebelah kiri ditahan oleh mulut "buaya". Badan (romp) dan
45