ngai Saling juga "mengiris" lapisan-lapisan bumi tersebut di atas.
Mungkinkah bahwa di sekitar aliran sungai-sungai tersebut ada juga teras-teras sungai yang lama dan yang pernah merupakan nederzetting-nederzetting manusia purba masih harus diselidiki.
Typologi.
Menurut pendapat sementara dari H.R. van Heekeren palaeolith-palaeolith Sungai Saling dan Sungai Kikim typologis sama dengan palaeolith-palaeolith kebudayaan Pacitan, tetapi tidak identik.
Pembagian palaeolith-palaeolith yang sudah terang menurut jenisnya ialah sebagai berikut:
Chopper | : | 2 buah kecil |
Side-chopper | : | 3 buah |
Hand-axe | : | 1 buah |
Flake | : | 3 buah besar |
1 buah kecil. |
Jenis-jenis lainnya yang ditemukan termasuk a-typis; sebuah berupa batu teras (kernsteen) dan selanjutnya pecahan-pecahan.
Temuan palaeolith-palaeolith ini sungguh besar artinya bagi ilmu prehistori. Baru sekarang inilah terdapat kepastian, bahwa pun Sumatra telah memegang peranan di dalam zaman palaeolithikum.
Penyelidikan palaeolithikum yang dilakukan di Asia telah menghasilkan penemuan suatu "pebble-culture" (atau "chopper-celt") di Panyab ("Soan"), Burma ("Anythian"), Peking ("Choukou-tienian"), Siam ('Fingnoian"), Malaka ("Tampanian"), dan Indonesia ("Pacitanian").
Hiaat yang terdapat dalam penyebaran pebble-culture dari tanah darat Asia lewat Malaka ke Indonesia, sekarang telah terisi dengan diketemukan suatu pebble-culture yang baru di Sumatra Selatan. Besarlah kemungkinan bahwa pebble-culture di Sumatra ini dikemudian hari akan terkenal dengan istilah: Salingian.
10. Jepara (daerah Ranau)
Di sini ada didapatkan sisa-sisa sebuah candi dari batu, yang kini tersembunyi di antara pohon-pohon kopi dan hutan. Candi Jepara sudah lama dikenal (Inventaris no. 132 dalam O.V. 1914), tetapi penyelidikan yang sesungguhnya belum dilakukan. Pun Schnitger menyebutkan candi ini dalam Oudheidkundige vondsten in Palembang, bijlage C, hal 7 dan dalam The Archeology of Hindoo Sumatra, hal. 4. Tampang sisinya (profilering) dimuat dalam karangan Schnitger yang pertama tadi, plaat XI. Hanya pendapatnya bahwa yang tinggal dari candi itu hanyalah kaki candinya saja, adalah kurang benar. Sesungguhnyalah bagian terbesar dari kaki itu memang masih utuh (ukuran kira-kira 10 x 10 m), tetapi di antaranya dan di atasnya terdapat pula batu-batu yang lain bentuknya sehingga agaknya termasuk bilangan bagian candi yang lebih tinggi.
Candi Jepara memberi kesan yang jelas sekali, bahwa ia termasuk candi-candi yang tertua di Indonesia. Hiasan-hiasan hampir tidak ada pada batu-batunya, tetapi bentuknya (misalnya ada bingkai-bingkai setengah bulat dan sisi-genta atau oyiet) sangat mengingatkan kepada candi-candi Jawa Tengah atau candi-candi Jawa Timur yang tertua (misalnya Songgoriti, Gunung Gangsir, dan Sumbernanas).
Penyelidikan lebih lanjut mungkin dapat menentukan ada tidaknya hubungan candi ini dengan Sriwijaya. Pun letak di dekat prasasti Bawang (25 km) menimbulkan berbagai pertanyaan.
11. Prasasti Bawang (daerah Ranau)
Batu bersurat ini terdapat di dekat Dusun Simpang Sebelat kira-kira 13 km dari Liwa. Di sekitar batu itu terdapat pula batu pahatan (batu candi?) berserak-serak, yang mungkin berasal dari sebuah bangunan. Sayang sekali bahwa keadaan alam tidak memberi kesempatan untuk meneliti batu tersebut sebaik-baiknya, karena baru saja kami tiba di sana, hujan telah turun dengan lebatnya. Adapun pembacaan-pembacaan yang sudah lalu, yang masih menimbulkan keragu-raguan, didasarkan atas abklatsch yang tersimpan di Dinas Purbakala. Dan peninjauan rombongan kami sekali ini pun tidak membawa hasil yang diharapkan, karena keadaan tersebut di atas.
Tetapi ada juga beberapa hal yang sudah dapat kami kemukakan di sini. Diantaranya ialah angka tahunnya. Dari angka tahun itu yang terang dapat dibaca ialah angka ratusannya, ialah 9, sedangkan angka puluhan dan satuan tidak terang. Dengan demikian hanya dapat dikatakan bahwa pertulisan itu berasal dari abad ke-10 atau permulaan abad ke-11. Hal itu tidaklah bertentangan de-
48