16
Baru pada Kongres Pemuda II, 1928, maka kebulatan tekad itu mempunyai wujud, waktu mahasiswa Soegondo (ketua Kongres) dari perguruan tinggi Hukum (Rechts Hoge School) memimpin persidangan. Dalam suasana satu Tanah Air, satu Bangsa dan satu Bahasa: INDONESIA itu, diperkenalkanlah hasil ciptaan Soepratman tsb.
Di sini hanya disebut adanya perubahan-perubahan kata-kata dari "merdeka-merdeka" menjadi "mulia-mulia" karena ada larangan dari fihak Belanda. (baca lagunya itu sendiri.)
Mengapa perubahan dari “merdeka” menjadi “mulia” haruslah dihubungkan dengan situasi pemerintah Hindia Belanda yang menguatirkan makin panasnya suasana. Sebab tahun 1926 sudah meletus pemberontakan komunis, yang walaupun dengan dasar Internasional perkataan “merdeka” akan lebih merugikan Belanda lagi. Artinya kemerdekaan nasional Indonesia sama dengan hilangnya jajahannya. Perkataan “merdeka” yang mengandung arti hilangnya jajahan, dirasakan lebih langsung dan lebih kongkrit bagi Belanda.
Langkah-langkah untuk mengamankan siatuasi kolonial dipertegas lagi oleh Belanda dengan dikeluarkannya sirkuler (edaran) Gubernur Jenderal Jhr. De Graeff, yang intinya dikutip oleh majalah PPPI (Indonesia Raya) No. 7–8, th. 1929, dalam bahasa Belanda. Kalimat dalam majalah Indonesia Raya itu terbaca sbb.:
“Berhubung dengan kebiasaan untuk berdiri manakala lagu itu dimainkan atau dinyanyikan, maka Pemerintah menganggap perlu untuk mengirim satu edaran kepada dunia kepegawaian, dimana ditentukan peraturan, sikap apa yang harus diambil oleh pegawai negeri terhadap lagu Indonesia Raya”.
Dalam edaran itu juga dijelaskan, bahwa Indonesia Raya