Halaman:Buku peringatan 30 tahun kesatuan pergerakan wanita Indonesia.pdf/225

Halaman ini tervalidasi

Surakarta.
 Dalam bulan Djuli 1945 dibentuklah di Solo suatu organisasi wanita dengan nama Perkumpulan Pekerdja Puteri Surakarta disingkat P.P.P.S. dengan Ketua Saudara Sutijah (sekarang Nj. Sutijah Surjohadi) dan Wakil Ketua Saudara Sumarni.
 Didalam perebutan kekuasaan dari Djepang, anggauta-anggautanja ikut aktip dalam persiapannja, membuat bendera-bendera merah putih, mempelopori barisan jang berbaris kegedung Balai kota, Kenpetai untuk menurunkan bendera Hinomaru, dengan bahaja ditembak oleh tentara Djepang. Segera diketahui, bahwa anggauta-anggautanja harus mempunjai ketjakapan dan keberanian lebih dari pada biasa.
 Oleh karena itu ketua mentjari hubungan dengan pemuda-pemuda jang tergabung dalam B.K.R. (nantinja T.K.R.) untuk mentjari orang jang dapat memberi peladjaran-peladjaran ketangkasan dan ketentaraan. Major Kusmanto menjanggupi men tjari tenaga, dan beberapa hari kemudian Kapten Darjono ditugaskan melatih wanita-wanita muda jang ingin mengetahui dan mempeladjari ketentaraan. Latihan pertama dimulai dengan 14 orang pengikut, pemudi-pemudi jang sudah tjukup umur, 18 tahun keatas, dan kebanjakan dari mereka ialah wanita-wanita muda, berumur 20 tahun keatas. Peladjaran-peladjaran jang diberikan ialah, berbaris, bersembunji, melempar graniat, mempergunakan sendjata (senapan) revolver, lari tjepat dan lain-lain.
 Oleh ketua diusahakan djuga, supaja dapat ditambah dengan satu peladjaran lagi, ialah mengemudi dokar, karena jang penting ialah gerak tjepat, dan mobil tentunja amat kurang. Semua anggauta harus dengan sendirinja dapat naik sepeda. Tudjuan dari latihan itu, supaja kaum wanita tidak asing terhadap bermatjam-matjam sendjata peperangan, dapat bergerak tjepat, membela diri, dan bila perlu ikut memanggul senapan, bertempur melawan musuh.
 Surabaja diserbu. Permintaan bantuan melalui radio. P.P.P.S. mulai dengan mengirimkan dua orang anggautanja jang sudah selesai dengan latihan ke Modjokerto untuk ikut membantu apa jang perlu ditolong. Sesudah itu P.P.P.S. mengambil nama baru, ialah Barisan Penolong, dengan tanda ban putih dan nama Barisan penolong ditulis dengan tjat merah (dipakai dilengan tangan).
 Latihan-latihan diteruskan, dan banjak jang mengadjukan diri untuk ikut serta. Pertolongan diberikan kepada siapa jang perlu pertolongan dalam soal mendjahit, memasak, merawat orang-orang luka. Anggauta-anggauta membanting tulang, membantu pemuda-pemuda jang mengalir dari segala pendjuru untuk mengadakan penjerbuan ke Ambarawa dan Salatiga. Pernah terdjadi, bahwa pada suatu ketika sedjumlah 12 orang anggauta Barisan Penolong, 36 (tiga puluh enam) djam terus-menerus bekerdja (memasak, membantu pemuda-pemuda jang mengalir, merawat mereka jang sakit didjalan) berpusat dimarkasnja, ialah di Lodji Gandrung di Djalan Purwosari Surakarta,

36 djam dengan sama sekali tidak beristirahat sedetikpun. Penduduk Solo mulai melihat dan menghargai Barisan penolong, dan wanita-wanita muda ini, dianggap tidak aneh lagi seperti dahulu, ketika untuk pertama kali mengadakan latihan memanggul senapan. Mereka mengerti, bahwa pengetahuan dan ketjakapan ketentaraan perlu dimiliki djuga oleh wanita-wanita jang membantu tentara didalam masa itu, karena mereka djuga sewaktu-waktu dapat menghadapi bahaja. Divisi Panembahan Senopati membutuhkan tenaga untuk membentuk dapur-dapur umum didekat daerah operasi.
 Permintaan diadjukan kepada Barisan Penolong, dan wanita-wanita itu siap sedia madju kedepan, sampai di Pudakpajung, Ungaran, Mranggen. Tidak djarang terdjadi, bahwa mereka bekerdja dibawah hudjan peluru, dan pengetahuan ketentaraan mereka sungguh ada gunanja. Pasar sering diserbu oleh musuh pada pagi hari, dan wanita-wanita muda, anggauta-anggauta Barisan penolong ini mempraktekkan peladjaran-peladjarannja mentjari siasat menipu musuh, mendapat bahan-bahan makanan jang diperlukan, mengantarkan makanan ke front, semuanja dengan selamat. Disipline dipegang teguh.
 Mereka hanja boleh memimpin dapur umum dalam rombongan sedikit-dikitnja terdiri dari 2 orang, jang lazim ialah rombongagn 4 orang atau 6 orang. Sebelumnja berangkat kefront, mereka dikumpulkan dahulu dimarkasnja di Lodji Gandrung Solo, dan mereka mendapat ekstra nasehat nasehat tentang Budi Pekerti. Tiap-tiap rombong an wanita bekerdja dibawah pengawasan seorang tentara, jang sudah agak tua, jang bertanggung djawab terhadap keselamatan tingkah laku mereka. Untuk seluruh dapur difront ditentukan ketua front, ialah Saudara Sumarni. Saudara Sutijah sebagai ketua umumnja, memimpin terus latihan-latihan dan mengorganiseer pengiriman-pengiriman kefront, berkedudukan di Lodji Gandrung. Bila ada laporan dari Saudara Sumarni mengenai anggauta-anggautanja, ketuanja sendiri, Saudara Sutijah berangkat ke front, menemui dan menjaksikan tindakan-tindakan anggauta-anggautanja. Tidak djarang terdjadi anggauta-anggauta ditarik kembali kekota, karena ada jang agak bebas didalam pergaulan. Sembojan jang didjundjung tinggi ialah: „Harus membuktikan, bahwa wanita dimana-mana dapat membawa peradaban, kesusilaan dan ketenteraman”.
 Rombongan-rombongan wanita-wanita itu tiap-tiap 2 atau 3 minggu diganti, bergiliran mereka kembali kekota, pulang kerumahnja masing-masing.
 Lama-lama ada keinginan, supaja wanita-wanita dari lain kota djuga berorganisasi seperti pekerdja-pekerdja di Solo. Suatu konperensi, djuga di Solo, dengan kundjungan beberapa orang dari Banjumas, Purwokerto, Kediri, Djokja, Blitar, Pekalongan, memutuskan, akan mengadakan kongres di Kediri, dengan laporan dari kota-kota jang mengundjungi konperensi tersebut. Mereka diberi tugas membentuk organisasi sematjam di Solo, dikotanja masing-masing. Kongres Pekerdja Wa-

427/B (14)

209