Halaman:Buku peringatan 30 tahun kesatuan pergerakan wanita Indonesia.pdf/234

Halaman ini tervalidasi

–– Sudahkah nanti kalau dibuka sekolah di desa-desa tiap-tiap ibu tentu akan memasukkan anak perempuannja? –– Sudahkah tiap-tiap ibu –– kepala rumah tangga mengerti akan kewadjibannja membrantas/penjakit menular dengan mendjalankan sjaratsjarat kebersihan umum untuk mendjaga kesehatan rakjat? ––


–– Sudahkah organisasi wanita mengerdjakan usaha membangun ekonomi rakjat, sekalipun setjara kooperasi ketjil-ketjilan, setjara gotong-rojong rakjat didesa-desa? ––


Banjak, banjak sekali kewadjiban kita jang menunggu. Tak sempat menjebutkannja disini.


Bilakah akan dapat kita mendjawab dengan tegas atas segala pertanjaan itu:


,,Jah, semua itu telah kami kerdjakan dengan beres!"


Bilakah kita akan puas???


Kita tidak akan merasa puas. Apa sebab? Sebab, kita akan terus madju terus berusaha supaja dapat lebih madju dari pada semulanja, kita harus terus mentjari djalan baru, mengambil langkah baru ! Kita tidak boleh berhenti!


Mari kita bersama-sama, dimana kita berada, mengambil bagian kita dari pada beban dari pada kewadjiban jang diletakkan atas pundak kita, mendjalankan bukan hanja tjita-tjita Kartini, tetapi tjita-tjita kita semuanja: Mengangkat deradjat rakjat kita seluruhnja, mendjadi anggauta jang penuh dari pada kekeluargaan dunia jang sedjahtera!!!


Inilah djalan kita menunaikan kewadjiban terhadap tanah air dan bangsa.


PERANAN WANITA DALAM REVOLUSI 17 AGUSTUS 1945.

Oleh: Setiati Surasto.


Apa jang saja kemukakan ini hanja sebagian sadja dari facta-facta jang dialami selama dan sesudah 17 Agustus 1945 dan jang merupakan peranan dari kaum wanita Djakarta.


Banjak sekali masih kedjadian-kedjadian dimana kaum wanita pegang peranan tetapi telah terlupakan dan hanja merupakan goresan sadja bagi mereka jang mendjalankan.


Djika pada saat meletusnja revolusi, kaum lakilaki memegang peranan jang gagah perkasa, memanggul senapan, bambu runtjing, gunakan „kaplaarzen dan beenkap", maka kaum wanitalah jang membuat bendera-bendera sang Merah Putih, besar ketjil, untuk gedung-gedung, untuk mobil, sepeda, betja dan untuk dipasang dimana-mana, kaum wanitalah jang mempertahankan garis belakang.


Tjoretan-tjoretan dan tempelan-tempelan dimana-mana, adalah banjak sekali hasil kerdja tangan dan djari-djari wanita-wanita muda.


Seruan Palang Merah Indonesia setelah pertumpahan darah di Bekasi, disambut oleh banjak wanita, djuga wanita-wanita peladjar (mahasiswa), jang dengan serentak mentjatatkan diri dalam P.M.I.


Dokter-dokter jang sudah habis waktunja karena kesibukan sehari-hari sampai djauh malam melatih serta mengadjar kaum wanita ini mendjadi pembantu-pembantu djururawat darurat.


Banjak wanita-wanita mengganti ruangan sekolah atau ruangan kerdja dengan ruangan rumah sakit, klinik atau pos-pos P.M.I.


Dipusat P.M.I., wanita-wanita muda seperti Saudara Jo Abdurachman, Dalimah dan kawan-kawannja adalah tenaga jang merupakan „spil". Mereka inilah jang menghubungkan Palang Merah Indonesia dengan dunia internasional.


Kedatangan tentara Inggris dan Gurka mengakibatkan Pemerintah Republik Indonesia dibawah pimpinan Bung Karno untuk pindah ke Jogjakarta. Mulai itu keganasan „serdadu” Belanda jang ikut serta dengan tentara Inggris, terhadap penduduk Djakarta.


Orang-orang Belanda ini mau menduduki kembali perusahaan-perusahaan, kantor-kantor dan djawatan-djawatan. Pegawai-pegawai dan kaum buruh sudah bersumpah setia kepada Pemerintah Republik Indonesia, dan menolak kedatangan Belanda.


Pertempuran-pertempuran dimana-mana, dikantor-kantor perusahaan-perusahaan tidak dapat dihindarkan, pegawai-pegawai jang penting harus mengungsi atau sementara tinggal dirumah.


Demikian djuga djawatan tilpun kehabisan pegawai. Semua dari kepala djawatan mendapat sambutan baik dari wanita-wanita peladjar. Hampir semua jang bekerdja mengganti pegawai-pegawai itu adalah wanita-wanita peladjar. Sering mereka itu diganggu oleh tentara gurka, meskipun sedikit banjak mereka itu dilindungi karena djawatan tilpun pada waktu itu penting djuga bagi tentara Inggris.


Bagi djawatan-djawatan jang masih tetap bertahan, seperti djawatan pos, tilpun, listrik, sosial, pengadjaran, kotapradja dan lain-lain perlu dipikirkan bekal hidupnja sehari-hari.

Berdirilah kemudian „WANI" (Wanita Negara Indonesia, jang diketuai oleh Nj. Suwarni Pringgodigdo), jang banjak berdjasa sebagai dapur umum. Disamping ,,Wani”, diketjamatan-ketjamatan, didirikan pula dapur umum ketjil-ketjilan jang mengurus makannja pengungsi-pengungsi dari suatu kampung jang terkena serangan mortir dari tentara Inggris/Belanda.


,,WANI" dipimpin dan diurus oleh kaum wanita, sebagaimana djuga dapur umum lainnja. Dapur umum ini lebih penting lagi peranannja sebagai „pos republiken", pos mendapat kabar, pos untuk menjelamatkan diri bagi kaum extremis". Banjak sekali tipu daja kaum wanita pendjabat-pendjabat dapur umum untuk menjimpan dan menjelamatkan putera-puteranja jang sedang mendjalankan tugas kemerdekaan.

Disamping dapur umum, wanita-wanita di Djakarta mendirikan tempat „pendjahit umum”, jaitu tempat dimana kaum wanita dari semua golongan menjumbangkan bantuannja dengan mendjahit 218