Kemudian berbitjara Sekretaris Umum Kongres Wanita Indonesia, Mr. Maria Ullfah Santoso jang meriwajatkan pula sedjarah pergerakan wanita Indonesia sedjak dari langkah-langkah jang pertama hingga kedjaman Kemerdekaan.
Berkatalah beliau:
Menjambut tanggal 22 Desember 1928-22 Desember 1953.
Pada tanggal 22 Desember 1953 Kongres Wanita Indonesia memperingati Seperempat Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Untuk menjambut hari Ibu, maka ada baiknja kita melihat kebelakang untuk mengetahui apa jang telah tertjapai dalam 25 tahun pergerakan Wanita Indonesia. Saja mulai dengan:
1. ZAMAN HINDIA BELANDA.
Dua puluh lima tahun jang lalu pada tanggal 22 Desember 1928 dikota Mataram (Jogjakarta) diadakan Kongres Perempuan Indonesia jang pertama. Pada waktu itu untuk pertama kali 30 organisasi Wanita Indonesia berkumpul untuk membitjarakan soal-soal jang penting bagi Kaum Wanita Indonesia. Pada Kongres itu diputuskan untuk membentuk suatu badan gabungan jang tadinja diberi nama Perikatan Perempuan Indonesia atau dengan singkat P.P.I., tetapi kemudian dirobah mendjadi Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia atau dengan singkat P.P.I.I. P.P.I.I. mendirikan suatu studiefonds untuk gadis-gadis jang diberi nama Seri Dherma mempunjai madjallah bulanan „Isteri”, suatu perumahan untuk Wanita, mendirikan P4 A (Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak) suatu Badan Penolong Kaum Buruh Perempuan Indonesia, berpendapat bahwa tidak tepat djika kaum perempuan mempunjai partai politik sendiri karena semua partai politik terbuka djuga bagi kaum perempuan. P.P.I.I. berdasarkan penghargaan jang sama antara kaum perempuan dan menjatakan mendjadi suatu bagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia. P.P.I.I. pernah mengirim utusannja ke Kongres Wanita Asia di Lahore dalam bulan Djanuari 1931. P.P.I.I. hampir tiap-tiap tahun mengadakan kongresnja. Pada bulan Djanuari 1934 P.P.I.I. mengadakan seruan kepada semua organisasi perempuan Indonesia (ada 160) untuk mengadakan Kongres Perempuan Indonesia jang kedua jang kemudian diadakan dari tanggal 20-24 Djuli 1935 di Djakarta. Pada Kongres itu diputuskan bahwa nama federasi akan dirobah mendjadi Kongres Perempuan Indonesia atau K.P.I. jang tiap-tiap tiga tahun akan berkongres.
K.P.I. mendirikan suatu badan untuk menjelidiki kedudukan kaum buruh perempuan Indonesia, membentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf (B.P.B.H.). menjerukan kepada semua anggauta K.P.I. untuk mempeladjari kedudukan Wanita dalam Hukum Islam, uang studiefonds Seri Dherma diserahkan kepada Badan Pemberantasan Buta Huruf. Pada bulan Djanuari 1937 Pemerintah Hindia Belanda menawarkan kepada Masjarakat Indonesia suatu rentjana „Ordonansi perkawinan tertjatat” dalam aturan mana diberi kesempatan untuk mentjatat suatu perkawinan; karena itu, organisasi perkawinan tertjatat akan berlaku padanja jang berarti melepaskan polygami.
Oleh karena organisasi itu menimbulkan keberatan dari kalangan agama, maka rentjana itu ditjabut. Oleh berbagai organisasi Wanita dirasa perlu untuk mendirikan suatu badan untuk mempeladjari aturan-aturan mengenai perkawinan di Indonesia dan badan itu diberi nama Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-anak Indonesia (K.P.K.P.A.I.). Kemudian setelah Konperensinja di Jogjakarta dalam bulan Djuli 1939 K.P.K.P.A.I. dirobah mendjadi Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (B.P.P.I.P. ) jang chusus mempeladjari masalah perkawinan dengan djuga mendirikan consultasi-bureau jang memberi bantuan kepada semua perempuan Indonesia dalam soal perkawinan, pertjeraian dan warisan.
Pada Kongres Perempuan Indonesia di Bandung dalam bulan Djuli 1938 diputuskan bahwa tanggal 22 Desember akan didjadikan Hari Ibu (Hari permulaan Kongres jang pertama di Jogjakarta dalam tahun 1928) dan pada hari itu akan didjual bunga putih berbentuk melati. Djuga hak pilih bagi Wanita harus mendapat perhatian, kemudian harus diadakan hubungan jang erat dengan organisasiorganisasi pemuda.
Untuk menarik kesimpulan maka pada Zaman Hindia Belanda Pergerakan Perempuan Indonesia telah menjatakan dirinja sebagai suatu bagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia. Disamping tudjuan mentjapai Kemerdekaan Bangsa Indonesia, pergerakan perempuan Indonesia membitjarakan soal-soal menudju kepada perbaikan kedudukan Wanita dalam lapangan pendidikan, perburuhan dan dalam hukum perkawinan, bekerdja untuk pemberantasan buta huruf dikalangan rakjat Indonesia, dan supaja mendapat hak pilih bagi kaum perempuan Indonesia. Pada achir zaman Hindia Belanda maka usaha-usaha pergerakan Wanita Indonesia belum terlihat buktinja, karena pemerintah Hindia Belanda tidak mengadakan perobahan dalam aturan-aturannja ketjuali mendirikan beberapa sekolah-sekolah bagi gadis-gadis kita, memberi hak pilih kepada kaum Wanita untuk dewan-dewan Kotapradja (gemeenteraden).
II. TIBALAH ZAMAN DJEPANG.
Dalam zaman pendudukan Djepang boleh dikatakan bahwa pergerakan Wanita Indonesia tidak dapat bekerdja untuk tjita-tjitanja jaitu memperbaiki kedudukan Wanita dalam segala lapangan, baik lapangan politik maupun pendidikan dan sosial. Jang hanja dapat dikemukakan buat zaman itu, adalah bahwa oleh pemerintah pendudukan Djepang kaum Wanita diharuskan mendirikan satu matjam organisasi Wanita jang diberi nama FUJINKAI jang susunannja sedjalan dengan susunan Pamong Pradja dan jang bertugas membantu garis belakang selama pendudukan Djepang itu; karena pemerintah itu maka sampai diketjamatan-ketjamatan didirikan tjabang dari Fujinkai jang dipimpin oleh seorang isteri Pamong Pradja.