berjuta? Memanglah. Tiap-tiap perubahan mengandung penuh
rahasia.
- (Suryadi AG., 1987a: 276—277)
Walaupun gejala-gejala alam itu penuh rahasia, manusia tidak mungkin lepas dari alam. Manusia akan selalu berpaling pada alam, larut dalam misterinya, dalam upayanya memahami kehidupan, seperti terungkap dalam prosa liris Maria Amin, "Tuan, Turutlah Merasakan":
Sudahkah pernah tuan melihat awan putih berarak-arak
merupakan tumpukan benda-benda bermacam-macam bentuk,
di langit biru lazwardi?
Perhatikanlah!
Sebentar saja?
Jangan, tuan. Benda putih itu berkaki, berekor, ber-
gigi, berkumis, bergombak. Mata yang galak itu hendak
menerkam. Liliatlah, dia bergerak perlahan-lahan dengan
hati-hati. Terharu jiwa melihatnya.
Aduuh ... janganlah, janganlah, janganlah, menjadi
benda yang berdarah, berdaging, berbulu dan bergigi,
dan akan menjadi sebesar yang dibentukkan awan itu.
....
Tahukah tuan apa yang menjadikan gedung ingatan
tuan?
Tuan, gedung ingatan tuan pada bentukan yang men-
jadikan benda tadi, oleh dan dari alam kenyataan yang
tuan lihat.
Tuhan, aku akan terus-terus melihat dan akan mera-
sakan.
- (Suryadi AG., 1987a: 178—279)
Larik terakhir sajak di atas, 'Tuhan, aku akan terus-terus melihat dan akan merasakan', seakan-akan suatu janji si aku lirik untuk senantiasa berpaling pada alam, menjadikan alam itu sebagai sumber inspirasi sekaligus bahan introspeksi dalam menjalani hidup. Jadi, citra manusia yang terbaca di sini adalah manusia yang peka terhadap gerak dan isyarat alam—kepekaannya terhadap gerak dan isyarat alam itu akan mewarnai laku kehidupannya.
Obsesi untuk peka terhadap gerak dan isyarat alam barangkali pula yang melahirkan sajak alegoris "Dengar Keluhan Pohon Mangga" dari penyair yang sama, Maria Amin. Dalam sajak itu, pohon mangga yang dipersonifikasikan,
Manusia dan Alam
43