persetubuhan diluar perkawinan, tetapi bangsa Eropah diabad kesembilan belas lebih tahu dari Tuhan Jesus. Mereka berpendapat, bahwa kaum lelaki harus diberi kesempatan bersetubuh dengan perempuan bila ia menghendakinja. Kalau ia melakukan itu lebih baik ia bersetubuh dengan perempuan jang tidak menderita penjakitperempuan. Kalau tidak, tentu kesehatan rakjat akan terganggu. Akibatnja banjak negara-negara menetapkan sebuah "peraturan", artinja semua perempuan djalang diwadjibkan mendaftarkan diri dan diperiksa oleh tabib pada waktu tertentu. "Pelatjuran" memang sukar dipahamkan. Dikota besar didunia, seperti Paris, polisi-kesusilaan berpendapat, bahwa semua wanita jang pernah bepergian bersama dengan laki-laki, sekalipun tidak ada kedjadian persetubuhan, harus mentjatatkan dirinja. Malahan ada pula komisaris polisi jang memandang tiap-tiap wanita jang tak bersuami sebagai perempuan djalang, meskipun kehidupan mereka sutji. Sebaliknja keadaan sosial di Paris amat buruk. Kaum buruh pernah mengakui, bahwa tak seorang djuga wanita sanggup memperoleh nafkahnja dengan djalan jang sutji, sehingga ia terpaksa mendjual kehormatannja pada orang asing (kota Paris waktu itu tempat berbagai-bagai musafir bangsa asing) supaja ia dan keluarganja djangan mati kelaparan.
Dibeberapa negara banjak orang jang memandang ini sebagai keadaan jang buruk dan berusaha memberantasnja. Jang amat mengganggu perasaan mereka ialah, bahwa pada kaum lelaki diberi kesempatan memaksa kaum wanita mendjadi bunga raja "dirumah pelatjuran" mereka. Dengan sendirinja timbul perdagangan "wanita budak kulit putih". Gadis-gadis jang elok parasnja dibudjuk meninggalkan rumah dan kaum keluarganja dan dibawa kerumah-rumah pelatjuran, dimana mereka sebenar- benarnja terkurung. Bahkan ada polisi jang membawa
83