subur, berkat bantuan "Kartini fonds" di Nederland dan subsidi dari Pemerintah Hindia-Belanda.
Karena orang-orang tua mulai merasa perlu anak-anak perempuan disekolahkan, maka bukan sadja sekolah-sekolah Kartini, bahkan H.I.S. dan Europese-scholenpun dibandjiri oleh gadis-gadis Indonesia, meskipun pada waktu itu tidak semua anak perempuan boleh masuk sekolah H.I.S. atau Europeesch-Lagere-School, tadi.
Paling tidak mesti anak Wedana keatas. Anak saudagar, meskipun sanggup membajar ƒ 100,– atau f 200,– untuk uang sekolah sebulan, tidak diterima, bila ajahnja tidak mempunjai titel Raden, Datuk, Tengku, Sutan dan sebagainja.
Maka dengan sendirinja sekolah-sekolah tadi mendapat sebutan "standen-school", sekolah-sekolah untuk anak-anak orang-orang jang berpangkat dan bangsawan. Tentu gadis-gadis tjilik kita dimasa itu dapat pula memasuki sekolah-sekolah desa, jang lebih dikenal dengan sekolah nomor dua dan sebagainja. Tetapi.... tentu bagi saudagar-saudagar dan orang-orang tua jang berduit, tetapi tidak masuk "ningrat", sekolah-sekolah ini tidak memuaskan.
Maka karena itu, timbullah sekolah-sekolah dari fihak kaum partikelir, baik jang berdasarkan kebangsaan, (Taman-Siswa, Perguruan Rakjat), maupun Agama (Mohamadijah, Djamiatul Waslijah, Islamiah, sekolah-sekolah Katholiek) dan masih banjak lagi untuk disebut satu demi satu. Dan boleh dikatakan, sekolah-sekolah partikelir ini, menerima murid-murid perempuan, baik dari golongan ningrat, maupun dari kalangan rakjat.
Dan dari sekolah-sekolah ini semuanja, asalnja dr. Marie Thomas, dr. Anna Warrouw, dr. Mudmem, Mr. Leila Russad, Mr. Henkelare, Mr. Maria Ulfah Santoso, Mr. Iwanah, njonja dr. Mursadik, Mr. Nannie Suwondo,
97