Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/147

Halaman ini tervalidasi

perkumpulan itu. Pemerintah tidak keberatan terhadap pendirian perkumpulan2 setempat jang dapat bekerdja-sama melalui suatu badan sentral.

Bagaimana pandangan pihak S.I. terhadap keputusan ini dengan mudah dapat diduga. Dilihatnja disini suatu taktik politik untuk mematikan benib kesatuan nasional, djadi suatu praktik dari sistim ,,divide et impera".

,,Oetoesan Hindia", suara S.I. di Surabaja, menulis bahwa penolakan bukanlah suatu bentjana bagi S.I., dengan atau tanpa badan hukum kesatuan diantara bangsa Indonesia mendjadi kuat, S.I. hanja merupakan nama dari kesatuan itu. S.I. tidak akan mati, sebab rakjat sudah bangun dan berdjuang untuk memperbaiki posisinja. Ekses-ekses dapat diumpamakan penjakit kanak2, suatu hal jang inhaerent dari gerakan baru, dan akan hilang. Demikianlah menurut Oetoesan Hindia.

Gagasan jang mendjadi landasan bagi keputusan Idenburg ialah bahwa rakjat dalam masjarakat dengan perbedaan2 ekonomi, kebudajaan dan politik memerlukan saluran untuk menghindari eksplosi. Pemerintah mempunjai kesempatan untuk mengawasi gerakan dan dapat mentjegah segala ekses2 dan dengan demikian dapat diarahkan mendjadi evolusi. Meskipun demikian arus pergerakan tidak dapat dibendung lagi: dimana-mana berdirilah S.I. lokaal berdasarkan Anggaran Dasur baru. Dalam S.I. berkembanglah aksi nasional jang kuat terdorong oleh perasaan nasional jang didukung oleh religi. Dengan giat diadakan gerakan membrantas ,,tudjuh M", a.l. pemadatan, perdjudian, pelatjuran dsb. Dilakukan aksi terhadap concubinaat wanita Indonesia dengan bangsa Eropah, menuntut perlakuan jang lajak terhadap kaum buruh.

Dengan tidak ragu² S.I. memprotes adanja peraturan penghormatan menurut adat-kuno, sedang terhadap ,,Zondags-circulaire" diadakan reaksi jang hebat. Pendeknja sudah mendjadi suatu kenjataan bahwa suara S.I. jang mengeluarkan pendapat rakjat banjak, tidak dapat diabaikan lagi dan perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah. Politik Kolonial perlu selalu memperhitungkan faktor S.I., dengan benar disini "the victim became an actor".

Sesuai dengan saran Pemerintah mulai diusahakan pembentukan suatu Centrale S.I. Dari tanggal 18 s/d 20 April 1914 bertempat dirumah Gondoatmodjo, Pakoe Alaman, Jogjakarta, diadakan rapat untuk menetapkan Anggaran Dasar C.S.I. itu. Pada waktu itu hadir Hadji Samanhoedi, Oemar Said Tjokroaminoto, Dwidjosewojo, Hasan Djojodiningrat, dll. Dalam rapat itu juga dibentuk suatu Pengurus jang diketuai oleh Oemar Said Tjokroaminoto. Sebagai wakil ketua dipilih R. Goenawan. ketua S.I. Djakarta dan sebagai sekretaris R. Achmad dari Surabaja. Hadji Samanhoedi diangkat sebagai anggauta kehormatan, sedang Hadji Moh. Dahlan sebagai penasehat.

Keputusan Pemerintah mengenai persetudjuannja terhadap Anggaran Dasar diberikan pada tanggal 13 Maret 1915. Lebih kurang satu tahun kemudian C.S.I. menjelenggarakan ,,Kongres Nasional jang pertama" di Bandung dari tanggal 17 s/d 24 Djuni 1916. 80 S.I. lokaal dari seluruh Indonesia dengan djumlah anggauta L.k. 360.000 mengirimkan wakiloja. Sungguh mendjadi suatu kongres Nasional; disebut nasional, menurut keterangan Tjokroaminoto, oleh karena gerakan rakjat bertudjuan pada pembentukan kesatuan crat dari semua suku bangsa di Indonesia, untuk bersama-sama mendjundjung bangsa sebagai suatu „nation". Diutarakan djuga alat-alat jang dipergunakan dengan djalan sah dan evolusioner untuk mentjapai hak suara dalam pemerintahan dan hak memerintah sendiri.

Ketjuali rapat raksasa di aloon-aloon, djuga diadakan rapat2 tertutup, dimana dibahas usul2 mengenai ordonansi sewa-tanah, praktik pengerahan kuli, kekatjanan berhubung dengan penungutan padjak, hak berkumpul dan berapat, sikap pegawai