Jika kita perhatikan akan ternyata bahwa orang Minangkabau adalah orang yang cenderung suka memakai kata-kata kias dan banding ini. Lebih-lebih lagi bila mereka berbicara dengan ipar dan ninik mamak. Mereka harus berbicara menggunakan kias dan banding seperti untaian pepatah di bawah ini:
Takilek ikan dalam aia,
lah tantu jantan batinonyo.
Kilek balivang lah ka kaki,
kilek camin lah ka muko
Takilas ikan dalam air,
sudah tentu jantan betinanya,
Kilat beliung sudah ke kaki,
kilat cermin sudah ke muka.
Perkataan kias dan banding ini nampaknya sudah menyatu dengan tradisi masyarakat Minangkabau. Pepatah menyatakan "manusia tahan kias, binatang tahan palu”.
Pemakaijan pepatah ini pada zaman lampau hidup subur dalam masyatakat Minangkabau. Setelah diteliti terlihatlah bahwa isi pepatah itu mencakup segala aspek kehidupan masyarakat. Tetapi dalam perkembangan dan pertumbuhan akhir-akhir ini, pepatah sudah mulai langka didapatkan hingga sulit kita menemukan pepatah yang baru dan halus. Bahkan, sudah ada sebagian yang telah hilang dj tengah masyarakat. Dari jawaban pertanyaan yang disebarkan kepada sebagian anggota masyarakat ternyata bahwa 50% di antaranya menyatakan minat mereka mempelajari pepatah sudah menurun.
Begitu pula dalam masalah pewarisan: di antara sedikit orang yang masih mengenal pepatah tidak banyak lagi yang mewariskannya kepada anak kemenakan mereka. Hal ini terbukti dari wawancara yang dilakukan dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Dalam usaha pengembangan, 92% menyatakan tidak ikut lagi mengembangkannya, Hanya 8% saja lagi yang metakukanaya.
2.3 Hakikat Pantun dan Perkembangannya
Pantun sebagai sastra lisan sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Minangkabau. Pada umumnya tidak ada penduduk yang tidak mengenal pantun baik mereka yang menetap di kota-kota maupun penduduk yang
7