Halaman:Sastra Lisan Minangkabau.pdf/22

Halaman ini belum diuji baca

berdiam di daerah pedusunan. Pantun ini telah mendarah daging dalam ke- hidupan masyarakat dan meliputi segala aspek kehidupan mereka. Dapat disebutkan bahwa seseorang Minang itu belumlah dapat dikatakan orang Minang jika ia tidak pandai berpantun. Hal ini terbukti dengan bunyi pantun di bawah ini:

Ka suok jalan ka Sungayang, manurun jaian ka Sumaniak. Kok iyo awak urang Minang, bapantun malah agak ciek.

Ke kanan jalan ke Sungayang, menurun jalan ke Sumaniak, Kalau benar kita orang Minang, berpantun malah agak sebuah.

Sebait pantun yang diungkapkan di atas agaknya akan membawa pengertian kepada kita bahwa seolah-olah anak Minang itu bisa berpantun sewaktu-waktu sesuai dengan situasi dan keadaan seperti Hamka yang lang- sung melahirkan sebait pantun ketika ia berhadapan dengan seorang yang berlagak pandai atau berlagak tahu dari orang lain (Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof.Dr. Hamka 1978):

Kuning menguning cirik di tandas debam berdebam jatuh ke air kejar mengejar ikan pawas akhirnya cirik menjadi cair.

Contoh lain dapat dikemukakan seperti pantun yang dibuat untuk menimbulkan semangat berjuang sewaktu revolusi menghadapi penjajahan Belanda:

Mandaki bukik Kandikia manurun ka Koto Tua habih anggranat jo badia jo tenju dilawan jue.