Halaman:Tjinta dan Hawa Nafsoe.pdf/194

Halaman ini tervalidasi

194

ngis lagi, karena matakoe soedah kering. Hanjalah sekali-kali saja tersedoe, kerena hatikoe jang piloe itoe menangis djoega. Saja tiada menoléh kepada iboekoe, akan tetapi saja merasa, bahwa ia masih penooeh dalam pertjintaan. Sedih serta soenji rasanja dalam kamar itoe, sedih dan rioeh djoega pemandangan diloear. Soeara hoedjan jang lebat itoe ditoeroeti boenji angin jang meraoeng amat merajoekan hatikoe jang bimbang dan goelana. Bimbang memikirkan nasib kami berdoea, si iboe dan sianak. Boeloe romankoe berdiri, apabila kilat memantjar sekali-sekali dilangit jang gelap itoe.

„Soer, Soer...” berkata iboekoe. Saja terkedjoet, meskipoen soearanja itoe amat lemah lemboet, penoeh dengan tjinta jang tiada tolok bandingnja, tjita jang dikandoeng seorang iboe bagai anaknja.

„Ja, mak” menjahoet saja dengan memandang moeka jang tiada koeloepakan itoe.

„Bagaimanakah sedihnja hatimoe mendengarkan apa jang boenda akan tjeriterakan padamoe. Tetapi tiadalah patoet saja menahan dia, karena tiadalah tahoe saja apa dia itoe dapat saja tjeriterakan dibelakang hari. Maoet datang dengan tiada disangka-sangka, sebagai pentjoeri ditengah malam. Apa lagi sekarang saja merasa jang kita tà lama bersama-sama.”