Babad Panjalu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 128:
Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu: 1) Sanghyang Lembu Sampulur II, 2) '''Sanghyang Borosngora''', 3) Sanghyang Panji Barani, 4) Sanghyang Anggarunting, 5) Ratu Mamprang Kancana, dan 6) Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda). Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa taerdapat di Cipanjalu.
 
Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg panditopendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi Patih dan Senapati Kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.
 
Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tatto) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.
 
Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan '''''Anggon-anggon Kapanjaluan''''' (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu'' mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya''. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari ''"Ilmu Sajati"'' yaitu ilmu yang benar, ilmu yang suci, ilmu yang lurus, ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ''ilmu sajati'' atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ''ilmu sajati'', maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.
 
Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekah dalam sekejap mata.